• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #62: Elis dan Berasnya

CERITA ORANG BANDUNG #62: Elis dan Berasnya

Hidup Elis memang tak mulus. Usahanya ludas dalam kebakaran besar di Pasar Kosambi, menghadapi pandemi, dan kini ditekan harga beras yang tinggi.

Elis (51 tahun) berjualan beras di Pasar Kosambi Kota Bandung. Elis meneruskan usaha keluarganya untuk menghidupi dua anaknya. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau23 Februari 2023


BandungBergerak.id – Sudah sejak pagi Elis (51 tahun) dengan sabar menunggu pembeli yang datang. Ia sempat tertidur. Tak terasa siang itu sudah pukul 14.20 WIB, matahari sudah condong ke barat. Dagangannya tampak sepi. Sejak pertengahan Januari 2023 harga beras melambung tinggi, hingga saat ini. Hal ini berpengaruh pada dagangan beras Elis. Pembeli jadi semakin sedikit.

Jika biasanya sehari ia bisa menjual satu kuintal beras, kini ia hanya bisa menjual 50 kilogram beras. Biasanya tiap pembeli bisa membeli sampai 10 kilogram, kini hanya setengahnya. Kebanyakan pembeli mulai berhitung dengan kondisi harga bahan pangan yang serba naik.

Jenis beras yang dijual Elis di antaranya beras Jembar dengan harga Rp 13 ribu per kilogram, beras Pandan Wangi Rp 14 ribu rupiah, Setra Ramos Rp 12 ribu, dan Rojo Lele Rp 12.500. Harga beras saat ini sudah tidak ada lagi yang seharga Rp 10 -11 ribu per kilogramnya. Harganya kini naik cukup tinggi menjadi Rp 13-14 ribu per kilogram.

Elis merasakan kenaikan harga beras tahun cukup tinggi dengan menembus harga seribu rupiah per kilogram. Biasanya meski harganya naik tidak pernah setinggi saat ini. Dulu harga beras naik hanya di kisaran 300-600 rupiah saja.

“Naiknya terlalu tinggi,” ujar Elis saat ditemui Bandungbergerak.id di kiosnya tepat di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Rabu (22/2/2023).  

Elis mengatakan, stok beras tak kurang tapi harganya melambung tinggi. Situasi tersebut membuatnya serba bingung karena membuat dagangannya sepi.

“(Yang) beli cuman jadi sedikit, biasa 10 kilo jadi 5 kilo, biasa beli banyak karena mahal jadi di-pas-in lah, di turunin mereka belinya.”

Tak hanya itu, Elis juga mengeluhkan kenaikan harga beras tak sebanding dengan kualitas beras yang dijual. Terkadang ia sampai bingung, dengan harga yang mahal, namun kualitas berasnya tak begitu bagus. Ia tak sampai hati kepada pembeli. Tapi mau tak mau, ia mesti tetap berjualan.

“Karena kenaikan beras, berasnya jelek juga, udah mahal berasnya jelek. Jadi jualnya gak enak, kadang kasian juga (ke pembeli), kalau gak gitu ibu gak bisa jualan,” ujar Elis.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #61: Kisah Yadi Menjelajahi Ribuan Kilometer dengan Sepeda Ontel
CERITA ORANG BANDUNG #60: Imas dan Warung Kecilnya, Seorang Diri Menghidupi Keluarga
CERITA ORANG BANDUNG #59: Buruh TPS Gedebage yang Pernah Ditempa Kerasnya Lautan
CERITA ORANG BANDUNG #58: Tek, Tek, Tek, Mengadu Nasib dengan Lato-lato

Bak Jatuh Tertimpa Tangga

Elis berjualan seorang diri di kios yang ukurannya kurang lebih tiga meter kali dua meter. Sudah sejak lama keluarganya berjualan beras, dimulai dari sang kakek. Ia generasi ketiga di keluarganya yang ikut berjualan beras. Ia mulai berdagang menggantikan kedua orang tuanya yang meninggal tahun 2013.

Selama berjualan, banyak hal yang dialami Elis. Ia sempat mengalami langsung peristiwa kebakaran hebat di Pasar Kosambi yang berlangsung tiga hari tiga malam pada tahun 2019 lalu. Seperti pedagang lain yang menjadi korban kebakaran tersebut, dagangannya ludes di lahap si jago merah.

Ia ingat betul ketika itu bulan Ramadhan, menjelang Lebaran. Elis sudah menyiapkan stok beras di dua kios yang disewa. Kedua kios tersebut ikut terbakar berikut semua isinya karena berada di lantai dasar Pasar Kosambi. Kerugian yang ditanggungnya saat itu menembus Rp 150 juta.

Untuk kembali berjualan Elis mesti meminjam modal dari bank. Ia mendapatkan pinjaman modal dari dana Kredit Usaha Mikro (KUR) sebesar Rp 50 juta. Modal tersebut ia pergunakan memulai usahanya kembali dengan membangun kios tepat di samping area bangunan Pasar Kosambi.

Saat usahanya belum sepenuhnya pulih, bak jatuh tertimpa tangga, datang badai pandemi Covid-19 di awal tahun 2020.

Kini pandemi sudah mereda. Peraturan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) belum lama dicabut pemerintah. Belum sempat menarif nafas sejenak, Elis dan pedagang lainnya harus  menghadapi situasi kenaikan harga beras yang melambung tinggi. Seperti tak ada habisnya, cobaan datang silih berganti.

Kini ia mesti ngos-ngosan membayar uang sewa kontrakan area kios yang dibangunnya, seharga Rp 15 juta per tahun. Sebelumnya harga sewa dapat tertutupi, namun kini ia mesti putar otak untuk membayar sewa kios, bahkan mesti minus pendapatan.

“Kalau sekarang mah susah ditebak harganya, mau dinaikin kasian ke yang beli, gak dinaikin ibu untungnya dikit. Emang dari beras untungnya dikit gak kayak barang barang lainnya. Dilemanya di situ.”

Elis (51 tahun) sedang melayani pembeli di kiosnya di Pasar Kosambi Bandung. Ia meneruskan usaha keluarganya berjualan beras untuk menghidupi dua anaknya. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Elis (51 tahun) sedang melayani pembeli di kiosnya di Pasar Kosambi Bandung. Ia meneruskan usaha keluarganya berjualan beras untuk menghidupi dua anaknya. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Menjadi Orang Tua Tunggal

Elis menjadi orang tua tunggal bagi kedua anaknya. Sudah sejak tahun 2020 lalu ia bercerai dengan sang suami. Ketika semua hal menjadi sulit baginya, ia justru ditinggal sang suami. Ia memilih bercerai dari sang suami karena sang suami dianggap egois, tak memikirkan anak dan istri ketika sedang di masa sulit. Namun, Elis tak menceritakan lebih lanjut alasan ia berpisah.

“Mungkin ga cocok, kalau dibilang banyak ga cocok, kadang satu sama lain saling ngerti, cuman karena dianya egois ya udah. Jadi lihat kondisi istri dan anak kena musibah dia tidak peduli. Yaudah cerai aja. Terpaksa. Mending biayai anak-anak sendiri,” ujar perempuan yang lahir pada 25 Desember 1973 itu.

Kini ia membiayai dirinya dan kedua anaknya. Anak pertamanya sudah lulus SMA sejak setahun lalu, namun belum melanjutkan pendidikannya lagi. Menurut Elis, sang anak masih sibuk membangun bisnis digitalnya dengan berjualan desain grafis di internet.

Kini sedikitnya sang anak sudah dapat membiayai kehidupannya, sang anak bahkan sudah berhasil memberangkatkan Elis untuk umrah di November 2022. Sementara anak keduanya masih duduk di bangku kelas tiga SMA.

“Ibu selalu berdoanya minta disehatkan juga anak-anak, sampai jadi anak yang pintar. Harapan dikasih kelancaran lagi, harga standar stabil barang selau ada.”

Cita-cita Menjadi Polwan

Elis merupakan bungsu dari lima bersaudara. Ia asli suku Sunda. Sejak dulu orang tuanya bekerja sebagai pedagang beras, khususnya sang ibu. Sementara sang ayah pensiunan dari kantor pajak yang kemudian ikut berjualan beras. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Sang ayah meninggal pada 2014 lalu karena sakit diabetes basah yang dialami, sang ayah bahkan sampai harus diamputasi. Sementara sang ibu meninggal dunia pada 2017 lalu karena stroke.

Dulunya sebelum berjualan beras, Elis bekerja di salah satu toko serba ada  di jalan Sunda. Kurang lebih 20 tahun ia bekerja di sana sejak tahun 1992an.

Elis mengenyam jenjang pendidikan sampai tingkat SMA. Setelah lulus, ia tadinya berencana untuk menjadi polisi wanita (Polwan). Namun, kedua orang tuanya tak mengizinkan karena ia anak perempuan satu-satunya.

Ia pernah mencoba tes untuk menjadi PNS di TNI Angkatan Darat. Dua kali ia tes dan lulus. Sayangnya, ia gugur karena persoalan biaya. Ia kemudian mengurungkan niat menjadi PNS.

Saat itu ia mulai melamar bekerja di toko serba ada. Ia lalu diterima dan bekerja selama 6 tahun menjadi kasir. Lalu diangkat menjadi bagian administrasi di tahun berikutnya sampai ia berhenti. Gajinya kala itu mulai dari Rp 400 ribu, naik menjadi Rp 500 ribu hingga terakhir sebesar Rp 3.9 juta.

Ia tidak pernah menyesalkan hal yang belum tercapai selama hidup. Ia mengungkapkan dengan tenang, tak ada hal yang disesali.

“Tidak ada yang disesali. Hidup gak boleh ada yang disesali, jalani. Udah diatur jalannya seperti kayak gini, tapi ibu Alhamdulillah dinikmati aja. Jadi ga dibikin bingung, stres, dijalani aja,” ujarnya.

Siang menjelang sore itu, Elis masih setia menunggu pembeli yang datang. Dengan penuh harap.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//