CERITA ORANG BANDUNG #61: Kisah Yadi Menjelajahi Ribuan Kilometer dengan Sepeda Ontel
Achyadi (57 tahun) bersama Si Elok, nama sepeda ontel miliknya, pernah menjajal ribuan kilometer mengayuh sepeda dari Bandung menuju Kota Malaka, Malaysia.
Penulis Awla Rajul18 Februari 2023
BandungBergerak.id – Menempuh perjalanan ribuan kilometer menggunakan sepeda ontel yang ia beri nama Si Elok pernah dilakoni Achyadi (57 tahun). Ia pernah ngontel dari Bandung lantas menyeberangi Sumatera, kemudian dilanjutkan menggunakan kapal dari Dumai menuju Kota Malaka di Malaysia. Perjalanan dua negara menggunakan Si Elok tersebut ia lakukan seorang diri.
Ia kerap disapa Yadi. Namun teman-temannya sesama penggila sepeda ontel memanggilnya Yadi Karung. Ia lahir di Bandung tanggal 25 November 1965, hari lahirnya gampang di ingat karena bersamaan dengan peringatan Hari Guru. Tapi Yadi bukan guru.
Yadi sempat bekerja sehari-hari sebagai tukang sablon. Pekerjaan tersebut yang selalu mengingatkannya pada bau menyengat bahan-bahan sablon.
“Kecium bau kalau dulu. Beda sama sekarang, tinggal masukin ke komputer, pencet-pencet langsung sablon,” ujar Yadi saat ditemui BandungBergerak.id di kawasan Jalan Braga, Rabu (15/2/2023).
Ia kemudian berhenti menjadi tukang sablon di tahun 2008. Ia mengaku bersyukur dikaruniai tubuh yang masih lebih bugar di usia 50 tahun dibandingkan teman-temannya yang sama-sama bekerja sebagai tukang sablon yang nafasnya sudah tersengal-sengal.
Yadi memulai ngontel sejak membeli sepeda ontel langsiran tahun 1939 selepas berhenti menjadi tukang sablon. Sepeda tersebut yang kini sudah menemaninya menjelajah hingga puluhan ribu kilometer. Ia kemudian bergabung dengan salah satu klub sepeda di Bandung.
Perjalanan jauh menggunakan sepeda dimulainya tepat 10 hari setelah memiliki sepeda ontel di penghujung tahun 2009. Ia Ia menaklukkan penjelajahan pertamanya dari Bandung menuju Bali.
Yadi berangkat dari titik nol Bandung pada 14 Desember 2008 dan tiba di Denpasar, Bali tepat di malam Natal. Tahun berikutnya, tahun 2009, ia mencoba napak tilas rute Daendels dari Anyer menuju Panarukan, dari ujung Jawa Barat menuju ujung Jawa Timur. Perjalanan napak tilas tersebut ditempuh dengan mengayuh sepedanya selama 15 hari hingga tiba di Pulau Madura.
“Itu ceritanya juga ngeri-ngeri sedap ya, karena pada saat itu saya direkomendasikan untuk menapak tilas berempat. Tapi pada kenyataannya yang tiga itu KO baru sampai Ciburuy, baru masuk kota Bandung sudah tidak kuat. Akhirnya adalah di pundak bapak, jadi bapak melanjutkan sendiri Anyer-Panarukan plus Madura itu,” kenang Yadi yang kini tinggal di Jalan Pagarsih.
Yadi hampir setiap tahun melakukan penjelajahan dengan sepeda ontelnya. Perjalanan tersebut, untuknya merupakan perjalanan spiritual. Ia telah melintasi berbagai macam daerah, melewati pinggiran pantai, hingga perbukitan. Selama di perjalanan ia juga mengaku bertemu dengan orang-orang yang kadang ikut membantu perbekalan perjalanannya.
“Kitab itu tidak selalu di dalam buku. Ternyata kitab itu alam semesta, yang di perjalanan pun kalau dibaca, diteliti, ditelaah adalah kitab. Di sana ada tentang kebaikan, silaturahmi, seni dan budaya,” ujar Yadi.
Yadi memiliki satu ketakutan besar dalam hidupnya, jika kedua putrinya tidak bisa melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Ia pun bersyukur, sebab putrinya yang bungsu kini sudah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan biaya dari beasiswa. Putri satunya lagi lulusan dari sekolah tinggi di bidang fashion design.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #60: Imas dan Warung Kecilnya, Seorang Diri Menghidupi Keluarga
CERITA ORANG BANDUNG #59: Buruh TPS Gedebage yang Pernah Ditempa Kerasnya Lautan
CERITA ORANG BANDUNG #58: Tek, Tek, Tek, Mengadu Nasib dengan Lato-lato
CERITA ORANG BANDUNG #57: Pelik Hidup Hardiman, Tukang Sampah Tanpa Upah
Melintasi Negara Tetangga dan Perhelatan Internasional
Yadi mengaku sempat dijadikan duta Museum Asia-Afrika di tahun 2010 dan melakukan perjalanan Bandung-Bali-Lombok saat itu dalam rangka Tahun Kunjungan Museum. Ia mengaku dilepas dari Museum Asia-Afrika untuk memulai perjalanan tersebut. Dari kegiatan ini juga ia memberikan edukasi dan sosialisasai untuk mengajak orang-orang datang berlibur ke museum,sebab banyak nilai edukasi jika berkunjung ke museum.
Dalam perjalanan tersebut ia juga singgah di museum-museum nasional. Di Bali ia diterima di salah satu museum oleh Putu Rudana. Ia merupakan Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI).
“Pak Putu itu kaget, ternyata saya datang untuk menyampaikan surat dari kepala museum. Kan waktu itu bisa aja dari telepon. Tapi ini surat penting yang harus disampaikan dari tangan ke tangan. Di sana sangat luar biasa penerimaannya,” kenang Yadi.
Di tahun berikutnya, sekitar bulan April 2011 ada kegiatan sepeda dua negara, Malaysia-Indonesia yang dilakukan di Bandung. Pesepada dari Malaysia ini tidak membawa sepeda dari negara asalnya, tapi meminjam sepeda di Bandung untuk bergowes bersama pesepeda Indonesia di Bandung.
“Bapak bilang begini, hey pak cik, kelak kemudian hari saya nak pusing-pusing ke kampung pak cik, ke Malaysia pakai bycicle tua ni. Mereka gak respons, omong kosong mungkin, masa sih ke Malaysia dengan kayuhan sepeda,” ujar Yadi menirukan logat Melayu.
Yadi kemudian membuktikannya. Ia mempelajari peta perjalanan untuk tiba di Kota Malaka. Sekitar lima bulan berselang, tepat di tanggal 19 September 2011, Yadi memulai perjalanannya menuju Malaysia.
Ia berangkat dari Bandung menuju ujung Pulau Jawa di Pelabuhan Merak, di sana ia melanjutkan perjalanan menuju Sumatera dengan menyeberangi Selat Sunda dan kemudian mengayuh sepedanya di sepanjang Jalan Trans Sumatera. Dari Lampung ia menuju Dumai, Riau untuk menyeberang ke Malaka di hari ke-15. Ia tiba di Malaka di hari ke-18. Sampai di Malaka, ia diterima di kantor polisi sekelas Polisi Sektor, kemudian dihubungkan dengan Klub Basikal Tua Batu Berendam Malaka.
“Bapak mandi, makan, lalu dijemputlah dengan klub Basikal Tua Batu Berendam Malaka. Itu ceritanya Bandung-Malaysia 18 hari bapak tempuh di 2011,” ujar Yadi.
Di tahun 2012 ia absen. Setahun kemudian, ia kembali memulai dengan melakukan perjalanan Bandung-Surabaya untuk memperingati Hari Pahlawan.
Pada tahun 2015 Yadi mendapatkan lencana sayap pada perhelatan Wingday Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) di Pangandaran. Ia mengaku merupakan satu-satunya pesepeda ontel yang mengayuh sepeda dari Bandung ke Pangandaran pada kegiatan tersebut.
Yadi menceritakan, ia bisa ikut pada kegiatan tersebut berawal dari kisah perjalanannya ke Malaysia. Di negeri tetangga, ia bertemu dengan salah satu tim dari Indonesia yang melakukan ekspedisi Toyota Fortuner ke Eropa. Orang tersebut juga merupakan anggota HDCI. Dari situlah ia kemudian diajak untuk mengikuti kegiatan besar lima tahunan klub motor gede (Moge) tersebut.
“Bapak seorang pesepeda yang beruntung karena diundang. Bapak satu-satunya pesepeda tua di Indonesia bahkan di dunia yang berkesempatan mendapatkan wing Harley Davidson. Itu tanpa deal-dealan rupiah, bapak kayuh tidak dekat hanya untuk mendapatkan wing ini, 235 kilometer hanya mendapatkan ini,” ujar Yadi bangga sambil menunjukkan wing yang ia kenakan di bajunya.
Tahun-tahun berikutnya ia juga melakukan perjalanan dengan Si Elok. Saat pandemi ia juga melakukan perjalanan. Ia bahkan menyebutkan bahwa dirinya merupakan salah seorang relawan yang mengikuti uji coba vaksin di Jawa Barat di tahun 2020.
Di tahun 2023 ini, Yadi mengaku belum mempunyai rencana penjelahan dengan sepeda ontelnya. Tapi ia berkeinginan menjelajah dari Bandung sampai tiba ke lokasi pembangunan Ibukota baru di Kalimantan.
“Tahun ini bapak berkeinginan jika ada yang mensupport, dari perusahaan-perusahaan atau siapa pun yang mau dikibarkan benderanya di IKN, bapak siap untuk mengayuh sepeda dari Bandung ke Surabaya, lalu menyeberang ke Kalimantan. Di Kalimantan bapak akan habiskan Kalimatan Tengah, Selatan, hingga Timur,” ujar Yadi.
Berharap Dukungan dan Apresiasi
Usai berhenti bekerja di tempat sablon, Yadi tidak memiliki pekerjaan yang pasti. Ia mengaku apa saja ia kerjakan. Misal ada temannya yang mengajak menjadi kuli bangunan, ia akan ikut bekerja. Belakangan Yadi lebih sering berkegiatan di sekitaran Jalan Braga dan Gedung Merdeka. Di Braga kadang ia membantu temannya mengerjakan kerajinan dari kulit, atau melukis.
Yadi menyebutkan, jika diundang oleh teman-teman komunitas sepeda di Bandung, ia harus mengenakan kostum kebesarannya dan sepeda ontel, dua hal yang sudah menjadi ciri khas yang melekat dari dirinya.
“Sama kawan-kawan MTB (mountain bike) bapak gak boleh pakai MTB, harus pakai sepeda ini dan pakaian kebesaran,” ujarnya sambil terkekeh.
Yadi mengaku fotonya pernah dipajang di PLN sebagai apresiasi dari pemerintah daerah dan Bandara Husein. Namun ia menyayangkan, meski tidak mempermasalahkan karena tidak mendapatkan royalti.
Di tahun 2020, ia mengayuh sepeda ke Lombok pada peringatan Hari Guru Nasional dan PGRI dan mengaku dilepas oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung. Yadi mengaku perjalanan ini merupakan salah satu bentuk kado tak berbentuk kepada guru-guru. Namun dari perjalanan ini ada yang membuatnya kecewakan.
“Ternyata kegiatan bapak di Hari Guru itu diekspos, dieksploitasi, dicantumkan di kalender dengan wajah yang jelas. Dibuatkan kalender dan kalendernya dijual. Itu bapak ditampilkan tanpa izin, tanpa pemberitahuan, tanpa royalti,” ungkap Yadi.
Ia juga menyayangkan saat tiba di Bandung dari Lombok, ia tidak disambut lagi. Dalihnya masa pandemi, padahal ia hanya seorang diri. Yadi mengungkapkan bahwa dirinya tidak memiliki harapan yang terlalu besar. Ia pun mengaku tidak banyak berharap dari pemerintah. Namun sedikitnya ia berharap dari siapa pun untuk bantuan pendidikan dan bentuk apresiasi, salah satunya sebagai ikon Bandung atas apa yang ia lakukan.
“Bapak berharap ada sedikit ada uluran tangan dari pemerintah daerah mana pun dan bapak bersedia untuk diundang pemerintah mana pun untuk kayuh sepeda ke suatu kecamatan, kota atau kabupaten siap sedia. Karena keinginan bapak untuk ingin tahu indah dan buruknya NKRI seluruhnya,” pungkas Yadi Karung.