• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #58: Tek, Tek, Tek, Mengadu Nasib dengan Lato-lato

CERITA ORANG BANDUNG #58: Tek, Tek, Tek, Mengadu Nasib dengan Lato-lato

Asep hidup menjual lato-lato di Alun-alun Ujung Berung. Penghasilannya tak menentu. Ia harus berusaha keras menjalani kehidupan sekeras lato-lato.

Asep, penjual lato-lato di Alun-alun Ujung Berung, Kota Bandung, Sabtu (7/1/2023). Sebagai PKL, penghasilan Asep tak menentu. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul10 Januari 2023


BandungBergerak.idSuara-suara tek-tek-tek lato-lato yang diiringi deru kendaraan seakan menjadi orkestra bagi pengunjung Alun-alun Ujung Berung, Kota Bandung, Sabtu (7/1/2023) sore. Anak-anak asyik bermain skuter, para pedagang menjajakan dagangannya sambil berharap pembeli menghampiri mereka.

Pengunjung Alun-alun Ujung Berung terlihat ramai. Didominasi oleh orang tua yang membawa anak-anaknya bertamasya, terlihat juga remaja-remaja yang menongkrong dengan teman sebaya.

Konon, pengunjung Alun-alun Ujung Berung kini tidak ramai seperti biasanya. Sebab, banyak pengunjung yang lebih memilih lokasi wisata baru di Bandung timur, yaitu Mesjid Al-Jabbar yang kini sedang menjadi sorotan. Posisi Al Jabbar berada di Kecamatan Gedebage, kecamatan yang berbatasan dengan Ujung Berung.

Mainan lato-lato cukup digandrungi belakangan ini. Asep, 47 tahun, salah seorang pedagang lato-lato di Alun-alun Ujung Berung merasakan sedikit dampak mainan yang awalnya viral di media sosial Tiktok.

Dagangan Asep lumayan laku. Selain lato-lato, ia menjual mainan lampu dan balon air. Hari itu ia baru bisa menjual dua buah balon air, dan sebuah mainan lampu. Selebihnya adalah lato-lato.

"Ikutin momen kita mah. Kalau enggak ya gimana. Ikutin yang di Tiktok pokoknya, yang lagi ramai," ujar Asep, kepada BandungBergerak.id.

Mainan yang dijual Asep bukan milik sendiri, tapi milik temannya. Sejak akhir tahun 2022 ia mulai menambah lato-lato sebagai dagangannya. 

Penjual mainan seperti Asep mau tidak mau harus mengikuti tren. Termasuk tren lato-lato ini. Ada dua model lato-lato yang dijual, besar dan yang kecil. Lato-lato besar dibanderol 15.000 rupiah sedangkan yang kecil 10.000 rupiah. Dari situ keuntungan yang diraih Asep tak banyak, hanya 3.000-4.000 rupiah per satu lato-lato.

Obrolan Asep dengan BandungBergerak.id sempat terhenti ketika tiba ibu dengan anaknya yang hendak membeli lato-lato. Selepas melayani pembeli, Asep melanjutkan, lato-lato yang besar kadang sulit terjual dengan harga 15.000 rupiah.

Kadang ia harus merelakan menjual lato-lato besar dengan harga 12.000 rupiah. Ini terpaksa ia lakukan agar calon pembeli tidak lari ke pedagang yang lain. Apalagi yang menjual lato-lato kini tak terhitung jumlahnya.

Sebab lain yang membuat Asep menjual lato-lato di bawah harga standar karena pengunjung yang datang ke Alun-alun Ujung Berung adalah penduduk sekitar. Berbeda dengan pengunjung Alun-alun Bandung yang bisa datang dari mana saja sehingga harga lato-lato bisa dibanderol lebih tinggi dari biasanya.

"Di Alun-Alun Bandung mah ini bisa sampai 20.000 rupiah harganya, karena yang datang dari mana saja. Kalau ini kan yang datang ke sini dari dekat-dekat sini, dari Cibiru paling jauh mungkin," jelasnya. Cibiru merupakan kecamatan lainnya yang berbatasan dengan Ujung Berung.

Meski menjual mainan yang paling diburu anak-anak, namun Asep mengeluhkan persaingan menjual lato-lato cukup berat. Selain bersaing dengan sesama pedagang kaki lima, beberapa toko besar juga ikut menjual lato-lato, misal warung kelontong atau pedagang pulsa. Belum lagi dengan para penjual online dengan banting harga gila-gilaan.

Kendati demikian Asep tetap mensyukuri dengan yang dilakukannya selama ini. Setidaknya ia bisa makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya dari hasil keringat sendiri.

Asep menjual lato-lato di Alun-alun Ujung Berung, Kota Bandung, Sabtu (7/1/2023). Sebagai PKL, penghasilan Asep tak menentu. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Asep menjual lato-lato di Alun-alun Ujung Berung, Kota Bandung, Sabtu (7/1/2023). Sebagai PKL, penghasilan Asep tak menentu. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Perjalanan Hidup

Asep mengontrak bersama istrinya di Ujung Berung. Seorang anaknya masih duduk di bangku SMK. Asep memiliki satu anak lagi yang sudah berkeluarga dan kini tinggal dengan suaminya di Sukabumi, Jawa Barat.

Sebelumnya Asep dan keluarga pernah ngontrak di kawasan terminal Cicaheum sampai 2019. Beragam pengalaman telah ia lalui selama menyambung kehidupan. Ia pernah bekerja mengutip uang dari angkot-angkot di Terminal Cicaheum selama 13 tahun; menjadi petugas cargo; sampai bekerja di tempat pembuatan kursi sofa.

Fisik Asep tak selamanya sehat. Ia menderita katarak pada kedua matanya. Untuk membiayai operasi katarak sebesar 10 juta rupiah, ia harus menjual motor dan meminjam uang dari saudaranya. Dengan biaya yang ada ia melakukan operasi mata kanannya di RS Hermina. Mata kirinya masih katarak sampai sekarang.

Usai operasi katarak, pagebluk datang. Wabah global yang menakutkan ini tak menyurutkan semangat Asep untuk bertahan. Ia lantas menjual masker di dekat Masjid Agung Ujung Berung. Tameng mulut dan hidung dari serangan Covid-19 itu ia dapatkan ia peroleh dari temannya. Melalui jualan ini ia bertahan dari terpaan pagebluk yang melumpuhkan roda ekonomi nasional.

"Saya makan 15 ribu rupiah, rokok setengah bungkus 12 ribu rupiah, kopi satu, semua 30 ribu rupiah. Kalau sehari saya dapat 50 ribu ribu, 20 ribu rupiah itu yang saya bawa pulang ke rumah," ungkapnya.

Ketika pandemi melandai, dagangannya pun menurun. Terlebih pembeli lebih memilih membeli masker secara online yang harganya lebih murah.

Tetapi semangat tak boleh padam. Asep banting setir menjual mainan, termasuk lato-lato.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #55: Nanawati, Tulang Punggung Keluarga di Usia Senja
CERITA ORANG BANDUNG #56: Mak Ayit Penjaga Makam Marhaen
CERITA ORANG BANDUNG #57: Pelik Hidup Hardiman, Tukang Sampah Tanpa Upah

Asep menjual lato-lato di Alun-alun Ujung Berung, Kota Bandung, Sabtu (7/1/2023). Sebagai PKL, penghasilan Asep tak menentu. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Asep menjual lato-lato di Alun-alun Ujung Berung, Kota Bandung, Sabtu (7/1/2023). Sebagai PKL, penghasilan Asep tak menentu. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Bersyukur dan Bercita-cita

Di usianya yang mendekati separuh baya, Asep dan istrinya berkeinginan untuk bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART). Istrinya bisa mengurusi dapur, Asep bisa membereskan halaman rumah dan mencuci mobil.

Asep terkesima dengan ART artis-artis yang berkecukupan bahkan sampai bisa menghadiahkan rumah untuk keluarga mereka.

"Boro-boro kaya, mas. Yang penting mah bisa makan. Keras kehidupan, asli. Saya pengin (bekerja ART), komo di rumah artis mah," ia terkekeh saat menyebut artis dan sempat menyinggung cerita-cerita pembantu artis nasional.

Selama tinggal di Ujung Berung, kehidupan Asep dan keluarganya masih bergelut dengan kemiskinan. Ia merasakan pahitnya kebijakan pemerintah yang memutus jaringan televisi analog agar berganti ke digital.

Sejak itu, ia belum pernah lagi menonton televisi. Belakangan ia mendengarkan radio sebagai gantinya.

Asep tak mampu membeli Set Top Box (STB) – alat untuk beralih ke tv digital – karena penghasilan hariannya yang kadang hanya cukup untuk makan sehari.

Ia mengaku tidak mendapatkan bantuan STB. Di lingkungan RW-nya hanya 10 warga yang mendapatkan bantuan STB. Bansos lainnya pun belum pernah ia terima. Alasannya karena ia pengontrak, bukan penduduk asli.

"Katanya karena saya pengontrak, bukan asli sini. Coba kalau saya punya rumah sendiri ya gak akan minta saya. Malah saya mau ngasih. Ga apa-apa saya mah, selagi masih bisa dicari, masih bisa berusaha," tandas Asep.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//