• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #63: Kisah Pak Ogah yang Bertahan di Belantara Kemacetan Bandung

CERITA ORANG BANDUNG #63: Kisah Pak Ogah yang Bertahan di Belantara Kemacetan Bandung

Menjadi Pak Ogah tak serta-merta bisa langsung turun ke jalan. Mulyana dan rekan lainnya mendapat pelatihan terlebih dahulu dari pihak kepolisian.

Mulyana warga Cijagra Kota Bandung yang mencari nafkah sehari-hari dengan bekerja sebagai Pak Ogah dengan mengatur lalu lintas di simpang Jalan Suryalaya dan Jalan. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau28 Februari 2023


BandungBergerak.id – Berbekal rompi hijau layaknya petugas kepolisian, Mulyana (42 tahun) berjaga di persimpangan Jalan Suryalaya dan Jalan Buah Batu. Ia menggerakkan tangannya memberi isyarat untuk mengatur kendaraan agar bergantian melintas. Suara peluit yang menempel di bibirnya membantunya mengatur kendaraan. Peluhnya bercucuran.

Matahari yang terik sudah dibayangi awan mendung. Jarum jam menunjuk di angka 11.30 WIB, waktu menjelang bubaran sekolah siang itu, Kamis (3/11/2022). Jalanan tampak ramai. Tak hanya kendaraan, Mulyana sigap membantu menyeberangkan siswa yang melintas, ibu-ibu pejalan kaki, juga pedagang yang melintas. Tak ada petugas kepolisian atau petugas dari Dinas Perhubungan di sana.

Ia bergantian bersama dua kawannya mengatur kendaraan yang melintas di sana. Sesekali senyum merekah ketika ada pengendara roda empat yang menyodorkan uang kertas Rp 2 ribuan. “Pak Ogah” demikian sebutan masyarakat pada Mulyana dan kawan-kawannya yang mencari nafkah dengan mendapat imbalan ala kadarnya dari jasanya mengatur kendaraan.

Setengah jam kemudian, terlihat beberapa petugas kepolisian tiba. Namun mereka membiarkan Mulyana dan kawan-kawannya mengatur kendaraan dan masuk ke dalam pos jaga yang berada tak jauh di sana.

Mulyana,  melanjutkan mengatur lalu lintas yang semakin meriah di siang itu. Sesekali ia memberi jempol kepada pengendara yang mau berhenti mengikuti arahannya demi kelancaran jalan.  Bekerja di jalanan, mengatur lalu lintas membutuhkan ketelatenan khusus. Paling tidak mesti memahami bagaimana harus memberhentikan kendaraan, atau meminta kendaraan yang lain untuk maju.

“Sebelum korona, Bandung macetnya sebelas dua belas sama Jakarta. Sesudah korona gak terlalu, cuman jam jam tertentu aja. Pagi-pagi, sama sore,” ujar Mulyana ditemui saat beristirahat.

Sementara jam paling macet lainnya saat bubaran sekolah di siang menjelang sore sekitar pukul 15.00 WIB. Kemacetan ditambah dengan angkot yang suka berhenti di bahu jalan untuk menunggu penumpang.

Siang itu, Mulyana beristirahat sejenak dan menghitung uang hasil ia dan dua orang Pak Ogah lainnya. Dihitung bersama, lalu dibagi rata.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #62: Elis dan Berasnya
CERITA ORANG BANDUNG #61: Kisah Yadi Menjelajahi Ribuan Kilometer dengan Sepeda Ontel
CERITA ORANG BANDUNG #60: Imas dan Warung Kecilnya, Seorang Diri Menghidupi Keluarga
CERITA ORANG BANDUNG #59: Buruh TPS Gedebage yang Pernah Ditempa Kerasnya Lautan

Kerap Mendapat Omelan Pengendara

Bekerja di jalanan, tentu banyak tantangan yang dihadapi. Selain mesti menguasai cara yang benar untuk mengatur lalu lintas, sebagai Pak Ogah, Mulyana dan rekannya tak jarang berhadapan dengan pengendara yang arogan. Sering bukan senyuman yang ia dapat, namun makian dari pengendara.

Tak jarang, Mulyana juga terserempet kendaraan. Ia juga kerap kali mendapat omelan dari para pengendara yang tidak sabaran. Omelan yang didapat diterimanya dengan lapang dada.

Kadang ada pejabat yang melintas di sana, ia tak berani untuk mengatur jalan.

Ia mengaku heran dengan kelakuan pengendara, banyak dari mereka tak sabaran jika terjadi kemacetan.

Diomelin terima aja, pernah disebut ‘anjing setan’, ‘anjing goblok’, biarin aja gak ngelawan biar Tuhan yang mengadili dia. Yang ngomelin suka yang jalan suka (pakai) bahasa binatang, sama saya gak dibalas, saya rakyat kecil ga bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.

“Hanya berdoa aja ke Allah semoga dia balas Allah aja. Jadi ga dibales. Dengerin (masuk) ke telinga kiri keluar kanan, selewat.”

Mulyana hanya bisa pasrah, dan menerima itu sebagai konsekuensi kerjaannya. Mau tak mau, ia menggantungkan hidup di jalanan. Karena hanya menjadi Pak Ogah menjadi satu-satunya cara menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan isi dapur dan keluarga, serta menyekolahkan anak-anaknya.

“Yang berat ngatur kalo udah macet, jam sekitaran pulang kerja pulang kantor, itu paling berat. Susah.”

Sambil beristirahat, Mulyana bersama rekannya sesama Pak Ogah, sedang menghitung pendapatan yang diperoleh dengan mengatur kendaraan yang melintas di simpang Jalan Suryalaya dan Jalan Buah Batu pada Kamis (3/11/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id
Sambil beristirahat, Mulyana bersama rekannya sesama Pak Ogah, sedang menghitung pendapatan yang diperoleh dengan mengatur kendaraan yang melintas di simpang Jalan Suryalaya dan Jalan Buah Batu pada Kamis (3/11/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Mantan Tukang Becak

Mulyana dulunya bekerja sebagai tukang becak. Pekerjaan itu sudah ia lakoni sejak masih duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA). Kala itu, ia akhirnya tak melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan karena sudah nyaman bekerja menarik becak. Kendati sudah nyaman mendapat uang, ia tetap menamatkan sekolahnya.

Lelaki yang hobi bermain tenis  lapangan itu tak hanya seorang diri bekerja mengatur lalu lintas di simpang jalan Buah Batu dan jalan Suryalaya. Banyak warga lainnya yang ikut menggantungkan hidup dengan menjadi Pak Ogah di sana. Mereka semua adalah warga seputaran Cijagra, Lengkong, Kota Bandung.

Di persimpangan Suryalaya dan Jalan Buah Batu tersebut ada 10 orang yang bekerja sebagai Pak Ogah di sana, dibagi berkelompok dalam 5 grup yang bekerja bergantian. Setiap grup terdiri dari dua orang.

Sistem kerjanya bergantian tiap satu jam. Untuk sif pagi dari jam 6 pagi sampai jam 6 petang. Sementara yang berjaga di malam hari dari pukul 6 malam sampai pukul 10 malam. Per kelompok biasanya berpasangan dua orang, jika ditotal Mulyana berjaga selama 6 jam.

“Dulu mantan tukang becak semua, karena becaknya udah abis sama online, grab gojek jadi penumpang udah gak ada, becaknya dijual,” ungkapnya.

Menjadi Pak Ogah tak serta-merta bisa langsung turun ke jalan. Mulyana dan rekan lainnya mendapat pelatihan terlebih dahulu dari pihak kepolisian.

Pada masa Kapolsek Pak Jaya, beberapa tahun lalu, ia dan kawan-kawannya mendapat pelatihan mengatur lalu lintas. Bagaimana cara memberhentikan kendaraan, cara menyeberangkan orang. Semua itu dilatih.

Bahkan ia dan rekan-rekan lainnya memiliki kartu keanggotaan, sebagai mitra Polsek Lengkong. Itulah sebabnya pengaturan lalu lintas di simpang Jalan Buah Batu dan Suryalaya teratur.

“Misal ada masalah, diutamakan nyebrangin anak sekolah, kayak SMP-SMA, orang, prioritasin ambulans, pemadam kebakaran prioritasin. Dilatih cara menghentikan mobil, kalau macet,” ungkap pria kelahiran Desember 1980 tersebut.

Mulyana mengakui merasa lebih nyaman untuk bekerja sebagai penarik becak. “Mending narik becak. Gak hina, jual tenaga. Kalo parkir Pak Ogah ada ngasih, Alhamdulillah, ada nggak itung amal. Lebih terhormat becak dari Pak Ogah,” keluhnya.

Namun keadaan memaksa Mulyana membanting setir menjadi Pak Ogah yang kerap dipandang sebelah mata oleh kebanyakan pengendara. “Kebanyakan dipandang negatif, parkir ilegal, padahal kita sukarela ngatur lalin. Kan polisi tidak standby 24 jam. Jadi dibantu Pak Ogah,” ungkapnya.

Mulyana menunjukkan Kartu Tanda Anggota Mitra Korlantas Polsek Lengkong. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Mulyana menunjukkan Kartu Tanda Anggota Mitra Korlantas Polsek Lengkong. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Menyekolahkan Anak

Pendapatan yang diperolehnya tidak menentu. Jika sedang beruntung, ia bisa membawa pulang uang Rp 100ribu sampai Rp 300 ribu. Uang yang diperolehnya dari mengatur lalu lintas tersebut dipergunakan untuk mengganjal kebutuhan dapur keluarga.

Ia juga menyekolahkan kedua anaknya dari hanya bekerja sebagai Pak Ogah. Tentu seringnya tak cukup, namun dicukup-cukupkan.

Mulyana mengaku memang sulit untuk menyekolahkan anak dengan kerjaan dari mengatur lalu lintas. Tapi ia tetap optimis untuk menyekolahkan kedua anaknya setinggi mungkin. Ia menginginkan anak-anaknya melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Ia akan berusaha sekeras mungkin agar itu terlaksana. Anak pertamanya kini duduk di bangku kuliah. Sementara si bungsu duduk di bangku kelas 2 SMA.

“Pengen sukses. Insya Allah dengan sekuat tenaga buat anak-anak apapun (dikerjakan) dengan jalan halal Insha Allah kalo ada rezeki Tuhan izinkan, berdoa. Mau sekolahkan tinggi, bukan sombong, siapa tahu rezekinya keterima kerja di BUMN bisa angkat derajat orang tua,” ungkapnya. 

Siang itu, ia beristirahat sejenak, menghitung yang yang didapatnya.

Mulyana punya harapan tersendiri, agar pekerjaan Pak Ogah bisa menjadi pekerjaan yang dilegalkan sehingga tak lagi dipandang sebelah mata. Ia berharap Pemerintah Kota Bandung mau menggaji para Pak Ogah. 

“Kalau di Bandung, pengen kayak di Jakarta digajih UMR Bandung, pengen diresmikan, kita ga maksa minta uangnya, diterima dikasih, masyarakat tahu kalo udah digaji, masyarakat ga perlu keluarin uang receh.”

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//