• Cerita
  • Menyusuri Gunung Coang di Bandung Timur yang Belum Banyak Dilirik

Menyusuri Gunung Coang di Bandung Timur yang Belum Banyak Dilirik

Perjalanan menuju puncak Gunung Coang di Cicalengka, Kabupaten Bandung mengasyikkan. Melintasi rimbun bambu, hutan pinus, sungai, curug, dan tanjakan curam.

Rombongan pegiat LLC melintasi curug di Gunung Coang, Minggu (26/2/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul2 Maret 2023


BandungBergerak.id – Awan mendung serta udara pagi yang sejuk tidak mengurungkan niat 14 orang pegiat Lingkar Literasi Cicalengka (LLC) untuk muncak pada Minggu (26/2/2023). Selepas semuanya dipastikan sudah tiba di titik kumpul di depan Rumah Baca Masyarakat (RBM) Cikahuripan, selanjutnya seluruh peserta diberi pengarahan oleh Teten Nurodin, Ketua RW 09 Desa Nagrog, Cikahuripan yang akan memandu perjalanan menuju Gunung Coang, Cicalengka, Kabupaten Bandung.

Para peserta berdiri melingkar. Teten mengingatkan bahwa nantinya rombongan akan berhenti dulu untuk menanam tiga pohon di salah satu ladang yang masih terletak di kaki gunung. Pohon yang ditanami adalah Jabon (Neolamarckia cadamba). Menanam pohon diniatkan untuk investasi oksigen di masa mendatang serta untuk melestarikan alam. Ia juga membeberkan bahwa bibit jabon tersebut merupakan bantuan kerja sama dari salah satu lembaga.

Perjalanan baru dimulai usai doa bersama. Teten dengan sepatu bot karet berwarna kuning dan topi rimba berwarna krem memimpin perjalanan. Belasan peserta yang terdiri dari pegiat literasi dari berbagai RBM di Cicalengka mengular mengikuti Teten.

Perjalanan awal itu melewati perumahan warga, lantas melintasi persawahan di kanan dan kiri. Hilal, tim dokumentasi LLC lincah mengabadikan momen dengan kamera. Rombongan kemudian berhenti di sebelah salah satu sawah yang belum ditanami padi. Teten meminta bantuan agar dua orang peserta ikut mengambil bibit Jabon yang akan ditanami di kaki gunung.

Dari situlah perjalanan Komunitas LLC ke Gunung Coang dimulai. Tak jauh dari tempat pengambilan bibit, rombongan belok ke kiri dan membelah persawahan. Rombongan mengular di pematang sawah, berjalan berbaris satu persatu. Lepas persawahan, trek mulai menanjak, meski belum curam.

Saat tiba di ladang yang hendak ditanami bibit Jabon, Teten meminta kepada peserta rombongan untuk melihat bagaimana proses penanaman bibit dan mengabadikan beberapa momen. Ternyata, di ladang tersebut memang sedang ditanami bibit-bibit pepohonan lainnya. Salah seorang petani tangkas mengambil beberapa bibit dari tumpukan. Lantas pindah dari satu titik ke titik lainnya yang sudah ditanami. Usai menanami tiga bibit, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan.

Di perjalanan pagi itu, rombongan peserta harus berjalan menyusuri pematang sawah, melintasi jembatan kecil di atas irigasi, jalanan yang becek, hingga masuk ke hutan pinus dan hutan bambu. Di perjalanan, Teten tangkas menunjukkan contoh sebatang pohon Jabon yang mulai berusia dewasa, juga jenis pohon Baltak, maupun lainnya.

Ia ikut membantu peserta yang kesulitan melewati jalanan yang licin. Hujan yang turun semalaman membuat jalur perjalanan itu becek dan air menggenang. Genangan air itu tidak hanya berasal dari sisa hujan, melainkan juga dari pipa yang bocor atau rembesan air dari karet sambungan antar pipa yang tidak kuat.

Di Gunung Coang ada curug yang airnya mengaliri anak-anak sungai. Warga berinisiatif melakukan swadaya untuk mengaliri air dari sungai ke kebun-kebun mereka menggunakan pipa. Di gunung itu juga terdapat irigasi lahan kering yang dibangun oleh pemerintah untuk mendukung kebutuhan masyarakat yang membutuhkan air untuk bertani.

Laila, pegiat literasi LLC menyebutkan bahwa agenda naik gunung tersebut merupakan agenda liburan. Kegiatan ini awalnya diniatkan dilaksanakan di bulan Desember, namun karena beberapa kendala, barulah bisa terlaksana di akhir Februari. Gunung Coang dipilih sebagai destinasinya karena rekomendasi dari Teten serta pegiat literasi lainnya. Gunung Coang merupakan gunung yang memang belum banyak dikenal, tapi menarik untuk dikunjungi.

Laila menjelaskan bahwa belakangan ada gaya hidup sedentary, yaitu gaya hidup yang tidak banyak melibatkan aktivitas fisik. Membaca, salah satu kegiatan yang digalakkan oleh LLC merupakan aktivitas yang cenderung diam. Sehingga penting bagi pegiat literasi untuk bergerak dengan melakukan aktivitas fisik. Sebab literasi tidak hanya berakhir pada aktivitas membaca buku, melainkan juga membaca alam.

“Jadi kalau baca gaya hidup yang cenderung diam. Padahal literasi kan gak ke sana, gak harus baca melulu, tapi kita perlu bergerak, perlu main. Kita punya tubuh yang harus digerakkan,” ujar Laila.

Perjalanan pergi hingga mencapai puncak Gunung Coang ditempuh selama kurang lebih dua jam. Rombongan harus melewati dua tebing yang curam. Melintasi anak-anak sungai dengan meniti bebatuan. Tiba di puncak, rombongan kemudian bersantai, berbincang-bincang, dan makan siang. Sambil beristirahat juga melemaskan otot yang lelah setelah mengarungi perjalanan, mendaki, hingga memanjat bukit yang curam.

Rombongan pegiat LLC menyusuri pematang sawah di kaki Gunung Coang, Minggu (26/2/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Rombongan pegiat LLC menyusuri pematang sawah di kaki Gunung Coang, Minggu (26/2/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Memetik Pelajaran dari 18 Tahun Tragedi Longsor TPA Leuwigajah
Zine, Media Alternatif yang Paling Murah dan Gampang
Surat Cinta dan Dukungan Menjadi Pahlawan Nasional untuk Inggit Garnasih
Main-Mind di Museum: Pertunjukan Inklusif Berbasis Teater Museum

Makam Besar dan Irigasi yang Dirusak

Teten yang memandu perjalanan sudah hafal dengan medan yang dilalui. Ia tangkas memberi peringatan agar berhati-hati jika jalanan yang dihadapi licin, melintasi anak sungai, atau harus menyusuri anak sungai. Suatu waktu dalam perjalanan, Teten juga mengingatkan peserta saat hendak mencapai daerah yang banyak ditumbuhi pohon rotan. Ia meminta rombongan agar berhati-hati, sebab pohon rotan adalah tumbuhan berduri dari batang hingga daunnya.

“Tapi kalau jalur yang ini aman Insya Allah,” ujar Teten saat menyebutkan salah satu kawasan yang sedang dilewati.

Teten mengatakan, penting untuk membaca alam secara langsung dengan melakukan petualangan, tidak hanya melalui buku. Setelah mengetahui alam secara langsung, penting pula untuk mengajarkan dan meneruskannya ke generasi mendatang sebagai upaya pelestarian alam. Sebab tanpa alam, kehidupan manusia akan sengsara. Ia berharap peserta rombongan mendapat pengetahuan tentang alam sehingga bisa ikut menjaga alam dengan menjaga lingkungan, air, serta hutan.

Berjalan menjelajahi alam terbuka meski melelahkan tapi terbayar dengan pemandangan yang indah. Aktivitas tersebut juga membuat tubuh lebih sehat. Tak hanya itu, melakukan perjalanan di alam terbuka juga dapat melatih mental dengan menghadapi rintangan-rintangan. Melintasi jalan trek yang curam, licin, hingga jalan yang tergenang.

“Mungkin bagi sebagian orang sedang bermain air padahal sedang melintasi lintasan yang cukup curam dan terjal. Kedua melatih mental juga. Aliran air itu cukup curam kemudian menguji juga mereka yang kurang mental, sampai di sana mau tidak mau mereka ter-support,” ujar Teten.

Ia menuturkan, dari informasi tetua kampung, hutan pinus di Gunung Coang telah ditanami sejak 50 tahun yang lalu. Di sepanjang perjalanan menuju puncak gunung Coang berjejer pohon-pohon pinus. Warga memanfaatkan pohon pinus dengan mengumpulkan getahnya. Caranya dengan mengikis kulit bagian bawah pohon, lantas memasang batok kelapa untuk menampung getah yang menetes. Getah ini bermanfaat salah satunya sebagai bahan pengencer cat.

Konon, dulunya ada perkampungan di Gunung Coang sebelum masa penjajahan Belanda. Di puncak Gunung Coang juga terdapat sebuah makam besar yang dipercaya merupakan makam kembang desa yang bernama Coang. Banyak spekulasi perihal kematiannya, ada yang menyebutnya meninggal saat masa penjajahan, mati dalam tragedi, dan lainnya. Penamaan Gunung Coang juga diambil dari sini.

Rombongan sempat rehat sejenak di bangunan pintu air irigasi lahan kering. Fasilitas itu diketahuinya dibangun pemerintah pada tahun 2011 dengan menghabiskan dana sekitar Rp 1,4 miliar. Kehadiran irigasi tersebut diharapkan dapat menambah produktivitas lahan pertanian masyarakat di dua wilayah yakni  di Cikahuripan dan Ciseupan.

Aliran air dari irigasi lahan kering tersebut dimanfaatkan untuk mengaliri perkebunan di atas gunung dan di pedesaan. Fungsinya juga sekaligus sebagai penampung air saat musim kemarau agar pasokan air tidak berkurang.

“Sayangnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab mereka merusak sebagian komponen dan itu sebenarnya penting. Pemerintah sayang kepada kita, justru sebagian orang yang tidak bertanggung jawab malah merusaknya,” sesal Teten.

Komponen yang dimaksud Teten adalah plat besi palang pintu air untuk mengatur debit air. Seharusnya ada dua palang pintu di sana untuk mengatur lebih banyak air yang mengalir ke sungai atau ke irigasi. Sayangnya keduanya sudah tidak ada lagi. Namun, sejauh ini aliran air berjalan lancar ke kebun-kebun warga. Sebab petani berinsiatif membuat bendungan agar air tidak langsung masuk ke sungai.

Namun warga juga tidak sepenuhnya bergantung pada irigasi. Warga melakukan swadaya untuk mengaliri air dari sungai di Gunung Coang dengan pipa-pipa. Air dari pipa itu ditampung di bak-bak besar. Dari bak penampung tersebut barulah air digunakan oleh petani untuk menyiram tanaman di perkebunan.

Rombongan pegiat LLC saling membantu saat memanjat tebing curam di lintasan Gunung Coang, Minggu (26/2/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Rombongan pegiat LLC saling membantu saat memanjat tebing curam di lintasan Gunung Coang, Minggu (26/2/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Membaca Alam

Sebagaimana Laila menyebutkan bahwa literasi tidak hanya berhenti di membaca buku. Tapi penting pula untuk membaca alam dan melakukan aktivitas fisik. Laila senang dengan aktivitas mendaki ke Gunung Coang pagi itu. Sebab keinginannya memanjat tebing yang tak kunjung kesampaian, bisa ia lampiaskan.

Ia mengingat lagi momen saat harus memanjat salah satu tebing curam dengan kemiringan sekitar 85 derajat. Seluruh rombongan perlahan-lahan memanjat tebing itu. Rombongan diatur formasinya, agar yang sudah sampai di atas, menunggu peserta lainnya. Membantu naik dengan berpegangan tangan atau berharap pada akar-akar pohon yang muncul keluar. Sebab pijakan kaki cenderung licin.

“Saya kan kalau liat orang panjat tebing gitu pengen. Tapi kapan dan di mana gitu. Jadi pas diajak ke Coang saya senang. Utamanya yang ditunggu pas itu, saya senang menyusuri sungai,” ujar Laila.

Laila menyebutkan, Komunitas LLC ke depannya juga berencana untuk membuat agenda Cicalengka Historical Trip. Meski belum pasti kapan, rencana itu sudah beberapa kali dibincangkan.

Salah seorang peserta lainnya, Halil (19 tahun) mengaku senang dan merasakan keseruan dengan kegiatan perjalanan ke Gunung Coang. Perjalanan tersebut juga pengalaman pertama baginya menyusuri trek yang sulit hingga memanjat tebing yang curam.

“Karena literasi itu tidak hanya membaca tapi juga ke alamnya. Jadi kita juga mengenal alamnya. Pokoknya direkomendasikan banget buat anak-anak yang suka di rumah buat jalan-jalan, lebih mengenal alam sekitar,” ungkap Duta Baca Kabupaten Bandung ini.

Trek perjalanan pergi dan pulang berbeda. Saat pergi, trek perjalanan melintasi pematang sawah, menyusuri sungai, hutan pinus dengan vegetasi hutan yang cenderung rapat dan jalanan yang becek. Perjalanan pulang melintasi hutan bambu, rumput ilalang yang tinggi, diakhiri dengan melihat hamparan pemandangan Bandung dari ketinggian.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//