• Berita
  • Mendiskusikan Sidik Kertapati di Kedai Jante

Mendiskusikan Sidik Kertapati di Kedai Jante

Buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 karya Sidik Kertapati mencatat secara rinci peristiwa dan orang-orang tak populer. Mengajak kita mewaspadai narasi dominan.

Suasana diskusi buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 di Kedai Jante Bandun, Jumat 6 Oktober 1945. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah8 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Sidik Kertapati, nama besar yang dihilangkan dalam sejarah Indonesia, relevan untuk diketahui dan didiskusikan oleh publik. Lewat karya pentingnya Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, kita belajar untuk cermat membaca situasi dan selalu waspada terhadap pendapat-pendapat dominan yang ada dalam setiap peristiwa besar.

“Apapun peristiwa yang kita alami, dan (ada) peristiwa yang besar di dalamnya, pasti ada pendapat-pendapat yang dominan, walaupun terkadang pendapat itu tidak objektif dan akurat. Tugas kita waspada saja membaca situasi. Dan, (buku) ini membangkitkan kita membaca situasi sekian tahun yang lalu,” kata Arief Djati dalam diskusi Jumaahan “Sidik Menyidik Hari Proklamasi”, di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut Nomor 2 Bandung, Jumat, 8 Oktober 2023.

Arief merupakan peneliti dan penulis yang menyunting buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Turut menemaninya dalam diskusi tersebut, Misri Insani, periset media kreatif, dan Adinda Chaniavatov, moderator.

Buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan salah satu buku terbaik yang menceritakan situasi sebelum dan setelah hari terpenting Indonesia. Sebelum diterbitkan ulang Penerbit Ultimus Bandung tahun ini, buku ini pertama kali diterbitkan oleh Jajasan Pembaruan pada tahun 1957. Saat itu Sidik menjadi anggota DPRD Jawa Barat dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dijelaskan Arief, Sidik dalam bukunya memaparkan perspektif setiap pelaku di seputar proklamasi. Tiap orang punya pendekatan berbeda. Tidak sedikit di antaranya bahkan saling bertentangan. Inilah yang membedakan Sidik dari para penulis buku tetang proklamasi kemerdekaan lainnya seperti Adam Malik, Aboe Bakar Loebis, atau Rosihan Anwar. Pengalaman penulis yang banyak bergerak di bawah tanah dan dekat dengan massa turut menambah kekhasan buku ini.  

“Hebatnya Sidik, walaupun ketika menulis sudah menjadi anggota PKI, ia tetap menulis peristiwa penculikan Soekarno-Hatta, menyebutkan nama-nama yang itu bertentangan dengan ideologi dia,” kata Arief.

Mirsi Insani menyebut bagaimana dalam bukunya Sidik Kertapati tak hanya menulis nama-nama besar dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Nama-nama asing yang tak tertuliskan dalam buku sejarah, juga peristiwa-peristiwa tak biasa, termuat di sini. Secara rinci, Sidik menceritakan juga Wikana, Chairil Shaleh, dan DN Aidit.

“Cikal bakal revolusioner itu seperti apa saja, membuat titiknya jadi peta (visual),” ucap Mirsi. “Sangat menarik ketika digambarkan melalui titik tersebut.”

Sekilas tentang Sidik Kertapati

Sidik Kertapati lahir di Bali pada 19 April 1920. Sejak kecil ia menyatu dengan nasib rakyat kecil yang menderita oleh kolonialisme Hindia-Belanda dan fasisme Jepang.

“Kepeduliannya itu membuat Sidik menceburkan diri dalam perjuangan pemuda untuk kemerdekaan, sejak Serikat Buruh Bengkel dan Gerindo di zaman Hindia Belanda, bergabung dalam Gerindom (Gerakan Indonesia Merdeka) zaman Jepang. Hingga aktif berjuang dalam API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang bermarkas di Menteng 31 sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1948,” demikian tulis Penerbit Ultimus.

Ketika Belanda kembali datang ke Indonesia untuk melancarkan agresinya, Sidik bergabung bergerilya bersama rakyat sebagai salah satu pimpinan Laskar Rakyat Jakarta Raya dan Laskar Rakyat Jawa Barat. Di masa bergerilya inilah, ia terkena peluru musuh yang bersarang dalam tubuhnya hingga akhir hayat. Laskar Rakyat menolak Persetujuan Linggarjati maupun Renville dan memilih “untuk melanjutkan perjuangan bersenjata melawan kolonial Belanda di hutan-hutan Jawa Barat.”

Di masa pengakuan kedaulatan lalu perjuangan parlementer, Sidik terlibat mendirikan Sarekat Kaum Tani Indonesia (Sakti) untuk memperjuangkan nasib kaum tani dan hak-hak atas tanahnya. Organisasi ini kemudian berfusi menjadi BTI (Barisan Tani Indonesia).

Sidik juga menjadi anggota DPR-RIS. Ia dikenal dengan Mosi Sidik Kertapati yang menyebabkan Kabinet Wilopo jatuh. Mosi ini “menuntut dikeluarkannya Menteri Dalam Negeri Mohammad Roem dari Kabinet Wilopo karena telah menimbulkan teror Tanjung Morawa di Sumatera Utara, yaitu penembakan petani-petani oleh polisi serta pentraktoran terhadap tanaman kaum tani sehingga ada yang meninggal.”

Dalam Pemilu 1955, Sidik Kertapati terpilih menjadi DPRD dari PKI mewakili Jawa Barat. Letupan Gerakan 30 September (G30S) membuatnya terpisah dari sang istri, Siti Rukiah, keluarga, dan tanah airnya. Rezim Orde Baru menghapus sekian banyak jejak Sidik Kertapati yang meninggal pada 2 Juli 2007.

Para perserta diskusi buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 karya Sidik Kertajati di Kedai Jante, Kota Bandung, Jumat 6 Oktober 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Para perserta diskusi buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 karya Sidik Kertajati di Kedai Jante, Kota Bandung, Jumat 6 Oktober 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Yang Ditulis Sidik

Buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 ditulis oleh Sidik Kertapati ketika ia menjadi anggota DPRD Jawa Barat dari PKI. Umurnya sekitar 37 tahun. Penerbit Pena pernah menerbitkannya pada tahun 2000.

Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 terdiri dari tiga bab utama. Dalam bab pertama Masa Penjajahan dan Fasisme, dijelaskan bagaimana perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Hindia-Belanda dan fasisme Jepang serta jalan ke perjuangan bersenjata. Bab Saat-saat  Bersejarah mengurai jalan-jalan menuju revolusi, mulai dari kekalahan Jepang oleh sekutu, persiapan proklamasi, hingga bagaimana proklamasi di tangan rakyat. Sementara itu bab Perjuangan Merealisasikan Proklamasi memaparkan pembentukan Republik Indonesia, Markas Menteng 31, Sembilan September di Lapangan Ikada, dan bagaimana proklamasi di gelanggang dunia.

Tiga bab utama tersebut memuat sub-sub bab yang menjelaskan peristiwa seputar proklamasi 17 Agustus 1945 secara rinci. Termasuk bagaimana rakyat Indonesia mulai menuliskan slogan-slogan perjuangan mereka sehari setelah proklamasi dibacakan. Demikian tertulis dalam Proklamasi Ditangan Rakyat halaman 94-99:

“Di malam menjelang larut, regu-regu penerangan mulai bergerak mencoret-coret tembok-tembok kiri-kanan jalan raya dengan berbagai macam slogan-slogan revolusioner dan kata-kata mutiara perjuangan yang dikutip dari slogan-slogan perjuangan di seluruh dunia, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Dengan bantuan penerangan seadanya mereka menggambar karikatur-karikatur yang menelanjangi kekejaman kaum fasis dan kaum penjajah. Tembok, tram kota, gerbong kereta api, dan semuanya tak lepas dari coretan slogan-slogan revolusioner: “Merdeka atau Mati”, ”Sekali merdeka tetap merdeka!”, ”Indonesia never again the lifeblood of any nation.”

Baca Juga: https://bandungbergerak.id/article/detail/158603/sidik-kertapati-satu-dari-sekian-nama-yang-dihilangkan
Siti Rukiah, Sastrawan yang Dipaksa Berhenti Menulis

Mempertemukan Anak Rohani Dua Kekasih

“Menyatukan kembali anak rohani dari dua kekasih yang terpisahkan oleh dinding kekuasaan antara Siti Rukiah dan Sidik Kertapati dalam rumah yang sama: Penerbit Ultimus,” begitu tulis Arief Djati, sang editor, dalam Kata Pengantar buku. Arief merujuk pada nasib Sidik Kertapati dan Siti Rukiah.

Dua karya  monumental Siti Rukiah, Tandus dan Kajatuhan Hati, diterbitkan kembali oleh Penerbit Ultimus pada tahun 2017. Menyusul kemudian, digelar juga banyak diskusi untuk mengenalkan kembali tokoh penting dalam sastra Indonesia 1950-an yang, menurut Bilven, sang pendiri Penerbit Ultimus, “sejajar dengan nama-nama besar seperti Pramoedya, Sitor Sitomorang, dan HB Jassin” tersebut.

“Jadi tahun 2017 kita memberanikan diri untuk mencetak ulang dua karya Rukiah itu. Setelah itu kita banyak membikin acara dan berdiskusi, sehingga nama Rukiah kembali dikenal,” ucap Bilven.  

Setelah karya Siti Rukiah, Penerbit Ultimus melirik anak rohani Sidik Kertapati untuk diangkat kembali ke perbincangan publik. Pertemuan dengan Arief Djati membuka jalan itu.

“Bung Arief ini kan selalu mendampingi Ben Anderson yang karya monumentalnya selalu memakai buku ini (Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945) sebagai referensi,” kata Bilven.

Menerbitkan ulang karya-karya yang dihilangkan oleh kekuasaan Orde Baru menjadi misi tersendiri Penerbit Ultimus. Menurut Bilven, ini merupakan sebuah kewajiban bersama. 

*Kawan-kawan dapat membaca  tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau juga artikel-artikel lain tentang buku

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//