• Kolom
  • Siti Rukiah, Sastrawan yang Dipaksa Berhenti Menulis

Siti Rukiah, Sastrawan yang Dipaksa Berhenti Menulis

Siti Rukiah, sastrawan perempuan Lekra yang mencetuskan konsep turba (turun ke bawah) untuk seniman.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Siti Rukiah (Foto: Wikimedia Commons)

5 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Menjelang akhir tahun 1965, penulis perempuan bernama Siti Rukiah (selanjutnya ditulis Rukiah), ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan di Kompleks Corps Polisi Militer (CPM) Purwakarta. Hal itu terjadi, tentu tidak terlepas dari keterlibatannya dalam organisasi kebudayaan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang kerap dianggap sebagai underbow dari PKI.

Seturut Giovanni Dessy Austriningrum dalam Yang Terlupakan dan Dilupakan (2021), tidak lama setelah penangkapannya, pada 30 November 1965, karya-karya yang pernah ditulis Rukiah, seperti Kejatuhan dan Hati, Tandus, hingga Teuku Hasan Johan Pahlawan dinyatakan sebagai karya terlarang oleh Pembantu Menteri P.D. dan K Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf.) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo.

Mengutip majalah Tempo edisi 9 Mei 2021, meski dinyatakan sebagai bacaan terlarang, Kejatuhan dan Hati ditemukan oleh John McGlynn (mahasiswa sastra Universitas Indonesia) pada tahun 1978 di sebuah lapak buku di Lapangan banteng, Jakarta. Buku setebal 96 halaman tersebut, menarik perhatian McGlynn, karena tercatat dalam buku A. Teeuw yang berjudul Sastra Indonesia Modern, tapi tak pernah ditemukan beredar.

Ia sangat menyukai buku berlatar Peristiwa Madiun 1948 tersebut hingga memutuskan untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1981 dengan judul The Fall and The Heart dalam antologi Reflections on Rebellion: Stories from the Indonesian Upheavals of 1948 and 1965. Kemudian pada tahun 2017, Kejatuhan dan Hati serta Tandus, yang merupakan kedua karya terbaiknya juga Pak Supi Kakek Pengungsi diterbitkan oleh Ultimus.

Kembali ke tahun 1967, Rukiah dipindahkan ke Rutan di Bandung. Menurut Windu Pratama (salah satu anak Rukiah) selama itu, kegetiran menyelimuti ibunya, suara jeritan dari penyiksaan terhadap tahanan lainnya di rutan adalah hal yang biasa didengarnya. Meski begitu, kepada keluarganya ia mengaku tidak pernah dipanggil hingga disiksa oleh aparat di dalam rutan.

Sebagai seorang ibu, ia sangat mengkhawatirkan kondisi anak-anaknya. Hal ini setidaknya tergambar dalam surat balasannya yang kedua kepada Annabel Gallop (Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library, London) pada Desember 1985, "Selama di penjara, saya tidak diizinkan untuk melihat anak-anak yang saya cintai. Dan selama saya ditahan, saya tidak tahu bagaimana nasib anak-anak saya: apakah mereka hidup melarat di kolong jembatan, atau apakah mereka mati kelaparan? [...] Jadi, bisa dibayangkan bagaimana saya tersiksa dan menderita di Penjara. Pada akhirnya, kerinduan saya yang sangat besar akan anak-anak saya dan ketakutan saya terhadap mereka memaksa saya untuk menulis surat kepada Pemerintah untuk memohon pembebasan, dalam kondisi apapun."

Setelah itu, Pemerintah membebaskannya pada tahun 1969 dengan syarat, dilarang baginya untuk menulis kembali dan mengancam akan melarang setiap penerbit yang menerbitkan tulisannya, jika ia memaksa untuk menulis kembali. Meski terasa sangat berat, namun kecintaannya kepada keenam anaknya, membuatnya menerima syarat-syarat tersebut.

Sejak saat itu, ia benar-benar meninggalkan aktivitas menulis yang dicintainya. Hari-harinya dihabiskan dengan mencurahkan keterampilannya dalam membuat kue dan sempat bekerja pada sebuah klinik bersalin untuk menghidupi dirinya dan keenam anaknya. Selain itu, hingga ajal menjemputnya pada tahun 1996, ia tidak dapat berjumpa kembali dengan suaminya, Sidik Kertapati, yang menjadi eksil di Cina dan Belanda, pasca meletusnya gemuruh politik 65.

Baca Juga: Bob Anwar, Guru Honorer yang Berumah dalam Musik
MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #6: Jejak Langkah “Si Jalak Harupat” yang Berakhir Secara Tragis
Secuplik Kisah Marx House, Kursus Pendidikan Politik Kiri pada Awal Masa Kemerdekaan

Bersama Lekra dan Penggagas "Turba"

Rukiah lahir pada April 1927. Ia merupakan putri bungsu dari pasangan Muhammad Asik dan Ipok yang tinggal di Jalan Kamboja, Purwakarta. Saat meletusnya revolusi kemerdekaan, ia terdaftar sebagai anggota Palang Merah. Hal ini tentu tidak terlepas dari kondisi Purwakarta yang saat itu menjadi basis dari para pejuang revolusi. Selain itu, ia sempat "bekerja sebagai guru di Sekolah perempuan di kota kelahirannya," tulis Yeri Wirawan dalam Independent Woman in Postcolonial Indonesia: Rereading the Works of Rukiah (Southeast Asian Studies, Vol. 7, No. 1, April 2018, pp. 85-10).

Memasuki tahun 1946, ia mulai menulis puisi yang berjudul "Ilham" dan "Keluhku" untuk majalah Gelombang Zaman. Di samping itu, ia pun kerap mengirim tulisan untuk majalah Mimbar Indonesia dan Godam Djelata yang dikelola oleh Sidik Kertapati. Sejak saat itulah, keduanya "saling berkirim surat dan menjalin hubungan," tulis Giovanni Dessy Austriningrum (2021).

Mengutip kembali Yeri Wirawan (2018), warsa tahun 1948-1949, di samping menulis karya sastra, ia bekerja sebagai koresponden majalah Pudjangga Baru di Purwakarta cum redaktur untuk majalah budaya Irama yang didirikannya. Pramoedya Ananta Toer menyebut kerja Rukiah di majalah Irama sebagai bentuk perjuangan revolusi, sebab selama itu, Rukiah kerap mengunjungi dan menolong para pejuang di Purwakarta.

Pada tahun 1950, ia pindah ke Jakarta dan bekerja dengan jabatan barunya sebagai sekretaris redaksi majalah Pudjangga Baru. Masih di tahun yang sama, novelnya Kejatuhan dan Hati terbit untuk pertama kalinya.

Di samping itu, ia dikenal juga sebagai penulis perempuan yang memberi perhatian pada perkembangan sastra anak. Hal ini terlihat dari karya-karyanya, antara lain, Taman Sanjak Si Kecil (1959) dan Dongeng-dongeng Kutilang (1962). Dan pada tahun 1951, ia mengasuh majalah anak-anak Tjendrawasih yang diterbitkan PT. Ganaco di Bandung.

Mengutip kembali Giovanni Dessy Austriningrum (2021), satu tahun kemudian, tepatnya pada 2 Februari 1952, ia menikah dengan Sidik Kertapati dan mulai menetap di Jakarta. Setelahnya, ia mulai menyematkan "Kertapati" sebagai nama belakangnya di setiap karya-karya yang ditulisnya. Ia tercatat banyak membantu suaminya dalam menyusun buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Keduanya dikaruniai enam orang anak.

Masih di tahun yang sama, kumpulan sajaknya yang berjudul Tandus menerima penghargaan sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Ia adalah satu-satunya penulis perempuan yang berhasil mendapatkan penghargaan tersebut di tengah penulis laki-laki, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Utuy Tatang Sontani.

Sepuluh tahun berikutnya, Tandus menuai kritik dari H.B Jassin. Hal ini  tentu tidak terlepas dari panasnya politik Rukiah dan H.B. Jassin, di mana keduanya terlibat dalam masing-masing kubu yang saling berseberangan, Lekra vs. Manifes Kebudayaan.

Meski sulit dilacak kapan pastinya Rukiah bergabung dengan Lekra, namun, yang pasti ia tercatat hadir dalam Kongres Nasional pertama Lekra di Solo pada tahun 1959 dan terpilih sebagai anggota Dewan Nasional Lekra. Ia adalah sosok yang mencetuskan konsep turba (turun ke bawah) untuk para seniman Lekra. Sebab baginya "seniman progresif harus mengunjungi desa-desa petani dan kamp-kamp kerja paksa," terang Yeri Wirawan (2018).

Namun, menurut Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1976), Rukiah “umumnya setelah masuk Lekra [...] tidak menghasilkan karya-karya sastra yang berarti lagi.”

Pada tahun 1961, ia diutus sebagai perwakilan Lekra dalam kongres penulis di Jerman Timur. Di samping itu, ia "menyunting Lentera bersama Pramoedya Ananta Toer, menjadi staf editorial jurnal kiri Zaman Baru, dan menjadi jurnalis sekaligus editor Api Kartini, jurnal organisasi perempuan kiri Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)," pungkas Giovanni Dessy Austriningrum (2021).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//