• Opini
  • Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda

Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda

Mahasiswa Sastra Sunda memiliki peranan penting dalam perkembangan kesusastraan Sunda saat ini dan nanti karena merekalah ujung tombaknya.

Rifkia Ali

Alumnus Sastra Sunda Universitas Padjadjaran dan Co Founder Bandoeng Waktoe Itoe.

Lokakarya Pengenalan Aksara Sunda bersama Evi Reyna Safari (kanan), di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Kamis (3/8/2023).

8 November 2023


BandungBergerak.id – Sastra daerah menjadikan suatu pembahasan yang menarik. Karena sastra merupakan bagian dari unsur budaya dan identitas suatu bangsa. Tak terkecuali kesusastraan Sunda. Suku bangsa yang penutur bahasanya paling banyak urutan kedua setelah Jawa.

Kata Sunda sudah ada pada naskah Jawa Kuno dan Bali yang memiliki pengertian Bersih atau suci. Bahasa Sunda umumnya dipakai oleh penduduk yang mendiami pulau Jawa bagian barat. Di Indonesia sendiri melansir data dari Sindo News tahun 2018-2019 penutur bahasa sunda berjumlah 36,7 juta orang.

Suatu bangsa tidak bisa terlepas dari karya sastra karena dari karya sastra kita bisa mengetahui karakter, budaya serta cara berpikir suatu bangsa. Begitu pun sastra di tatar Sunda. Menurut Ajip Rosidi seorang sastrawan Indonesia dan Sunda menyatakan bahwa sastra berasal dari bahasa Sangsekerta "castra" yang memiliki arti aturan atau hukum. Sastra dalam bahasa inggris disebut pula literature. Yaitu satu cabang kesenian yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Dapat pula diartikan segala bentuk yang berkaitan dengan kreativitas estetis manusia didalam bahasa.

Ajip dalam buku yang berjudul "Ngalanglang Kasusastraan Sunda" membagi perkembangan kesusastraan sunda dalam tiga periodesasi yaitu:

  1. Zaman buhun: hasil sastra rakyat yang tidak diketahui pengarangnya, baik yang sudah dituliskan dan yang belum dituliskan seperti cerita pantun, cerita-cerita mitologia, cerita fabel, asihan, jangjawokan jampé-jampe, kawih dan lain sebagainya.
  2. Zaman kemarin: yaitu hasil alam Sunda yang dijajah. mulai dari Mataram, Belanda, hingga Jepang. Sebut saja tokoh sastra yang muncul pada masa ini adalah H. Hasan Mustapa, Kalipah Apo, D.K Ardiwinata, Suriadiredja, Juhana, Moh. Ambri, R. Memed Sastrahadiprawira dan lain sebagainya.
  3. Zaman Sekarang: Era setelah merdeka kesusastraan Sunda memiliki tokoh sastrawan yaitu Sajudi, Surachman RM, Rusman Sutiasumarga, Ki Umbara, RAF, Yus Rusamsi, Wahyu Wibisana, Rachmat M. Sas. Karana, Ajatrohaedi, Tini Kartini, Dudu Prawiraatmadja, Iskandarwassid, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Fenomena Merek Bahasa Sunda pada Produk Buatan Kaum Milenial
Banjir dan Tenggelamnya Filosofi Sunda pada Masyarakat Modern
Menanamkan Benih Cinta pada Bahasa Daerah di Festival Drama Basa Sunda 2023

Sastra Sunda

Di Perguruan tinggi negeri jurusan Sastra Sunda setidaknya dapat dijumpai di Universitas Padjadjaran. Satu lagi adalah di Universitas Pendidikan Indonesia. Namun terdapat sedikit perbedaan antara di Unpad dan UPI. Sastra Sunda Unpad lebih berfokus mempelajari budaya, sedangkan di UPI Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Sunda lebih berfokus pada ilmu pendidikan. Dalam tulisan ini Penulis hanya akan membahas Kesastraan Sunda dan Mahasiswa di Universitas Padjadjaran. Tanpa bermaksud melupakan atau mengucilkan kampus lain yang memiliki jurusan serupa.

Ya, tentu saja mahasiswa Sastra Sunda memiliki peranan penting dalam perkembangan kesusastraan Sunda saat ini dan nanti karena merekalah ujung tombaknya. Mahasiswa Sastra Sunda Unpad dibekali ilmu sastra dan budaya, linguistik, dan filologi selama berkuliah di kampus. Yang mana ketiga keilmuan ini saling menopang dalam bahasa dan sastra.

Sedikit berbagi cerita selama menjadi mahasiswa Sastra Sunda Unpad selama empat tahun penulis banyak mendapatkan wawasan baru baik itu dibidang bahasa, budaya dan sastra sunda memulai semua dalam ketidaktahuan tentang kesundaan yang akhirnya berujung pada hal yang menyenangkan dalam mempelajarinya. Di sana penulis mengenal betapa banyak karya dari kesastraan Sunda.

Dalam bidang sastra, Sastra Sunda Unpad memiliki dosen yang ahli dalam berbagai bidang. Dalam sastra sebut saja salah satunya adalah Teddi Muhtadin. Ia dikenal sebagai salah satu  kritikus dalam dunia sastra Sunda saat ini. Kami dianjurkan membaca berbagai karya sastra Sunda, hingga diharuskan untuk memproduksi karya Sastra Sunda sendiri.

Sempat terjadi diskusi dalam kelas antara penulis dan dosen kami Teddi Muhtadin ketika mata kuliah Kritik Sastra. Penulis bertanya kenapa mahasiswa diberi tugas mengkritik karya yang terbilang sudah cukup lama karyanya seperti karya R. Memed Sastrahadiprawira, Ajip Rosidi, Godi Suwarna dan lain sebagainya. Diskusi itu terus terjadi hingga muncul pernyataan bahwa yang membuat karya sastra Sunda ini abadi adalah kemungkinannya dilihat dari jumlah cetakan buku dan majalah seperti Manglé dan lain-lain pada masa itu.

Bukankah sekarang sudah era digital? Yang mempermudah untuk mempublikasi karya dan menghitung data jumlah pembaca karya. Bahkan Hadiah Sastra Rancagé pun masih terus digelar setiap tahunnya, sebut saja sastrawan seperti Eris Risnandar, Dian Hendrayana, dan lain sebagainya.

Kembali ke pembahasan tentang mahasiswa Sastra Sunda Unpad dan perkembangan kesusastraan Sunda. Mahasiswa sendiri selain di kelas pun mendapat wadah untuk mengembangkan kemampuan menulis karya sastra seperti adanya Majalah Tangara Paguyuban Mahasiswa Sastra Sunda Unpad (Pamass UNPAD), yang dikelola oleh mahasiswa dan mewadahi karya mahasiswa. Saat ini Tangara Pamass sudah terbit secara digital, yang memiliki rubrik Carita Pondok, Sajak dan lain-lain. Selain itu juga, hampir setiap tahun ketika sebelum perhelatan Pasanggiri Monolog Basa Sunda Mahasiswa diberikan kelas pelatihan menulis naskah monolog basa Sunda yang nantinya mahasiswa diharuskan untuk membuat naskah monolog basa Sunda untuk ditampilkan oleh peserta lomba kategori SMA dan dibukukan untuk diperjualbelikan. Terakhir adalah buku Kumpulan Naskah Monolog Berjudul "Putih Abu" yang diproduksi oleh Tangara Pamass.

Sebuah metode dilakukan oleh Teddi Muhtadin kepada Mahasiswanya untuk "memaksa" Mahasiswa menulis dalam Bahasa Sunda yaitu dengan memberi tugas menulis Diary dalam mata kuliah Penulisan Kreatif dan Ilmiah. Hal yang harus disadari dari membuat suatu diary akhirnya Mahasiswa mau tak mau menulis apa pun yang dialami dan dipikirkannya. Sebuah cara yang memiliki dampak bagi mahasiswanya. Dalam sebuah diskusi antar mahasiswa dalam Poé Pamass bertajuk "Ngedalkeun Pikiran Dina Tulisan" Ada beberapa Mahasiswa yang masih malu untuk mempublikasi karya sastranya. Namun bagaimana bisa diketahui kualitas karya jika tidak dipublikasi? Ada pula yang masih kebingungan dalam menuangkan ide tulisannya.

Dalam dunia sastra sepertinya penulis tidak bisa tumbuh sendirian. Penting adanya diskusi dan saling mengkritik karya untuk terus berkembang karya bersama penulisnya. Hal ini pernah dilakukan oleh Teddi Muhtadin dengan mendirikan sebuah kelompok diskusi bernama KBS Rawayan. Hal seperti ini sudah seharusnya dilakukan oleh para mahasiswa Sastra Sunda  untuk terus mengembangkan kemampuan membuat karya. Jika tidak dilakukan bukan hal mustahil dikemudian hari hal yang akan punah dari suku bangsa Sunda adalah kesusastraannya yang berhenti diproduksi. Karya sastra pula dijadikan jejak eksistensi suku Sunda.

Mahasiswa sudah sebagai agen perubahan. Ditambah sebagai mahasiswa sastra daerah memiliki tanggung jawab moral lebih untuk suku bangsanya sendiri. Harapannya dengan adanya jurusan sastra daerah terkhusus Sunda dapat terus mempertahankan, melestarikan, dan menjadi ujung tombak bagi suku Sunda dengan bekal ilmu yang dimilikinya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//