• Kampus
  • Fenomena Merek Bahasa Sunda pada Produk Buatan Kaum Milenial

Fenomena Merek Bahasa Sunda pada Produk Buatan Kaum Milenial

Di bidang politik, masyarakat Sunda lebih punya kekuatan yang bersifat lokal. Kekuasaan terbagi secara lokal di beberapa wilayah.

Potret kampus Universitas Pasundan (Unpas), Jalan Taman Sari, Kota Bandung, (28/4/2021). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana20 Mei 2021


BandungBergerak.idBudayawan sekaligus Ketua Lembaga Budaya Sunda Universitas Pasundan (Unpas) Wawan ‘Hawe’ Setiawan melakukan mini riset terkait penggunaan bahasa Sunda di kalangan milenial. Contohnya, tidak sedikit produk yang memakai merek bahasa Sunda. Di balik fenomena ini ada upaya kalangan milenial memberontak pada tatanan kapitalisme.

“Lewat riset ini, saya tahu ternyata bahasa Sunda masih banyak digunakan oleh milenial. Misalnya, untuk label makanan, dibuat desain kaus, bahkan ada yang menamai produk tembakau dengan Kade Bahe dan penggagasnya adalah anak-anak muda,” kata Hawe, di Kampus IV Unpas, Jalan Dr. Setiabudhi No 193, Bandung, dikutip dari laman resmi, Rabu (19/5/2021).

Generasi milenial banyak yang menggunakan bahasa Sunda sebagai elemen lokal dan antipode yang dominan. “Problemnya, kreativitas semacam ini malah sering diabaikan. Begitu terlihat potensial, lalu dikooptasi. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dalam mengapresiasinya, jangan sampai mereka terkooptasi dalam sistem yang sebetulnya perlu dikoreksi,” jelas Hawe.

Ia memandang, bagi milenial, langkah inovatif tersebut menjadi cara untuk mengoreksi hal-hal yang sudah dominan dengan gaya mereka sendiri. Kearifan lokal masih memiliki tempat dalam jiwa-jiwa milenial.

“Ketika ada sesuatu yang bernilai Sunda dari generasi muda, jangan distrukturkan, karena nanti tidak ekspresif lagi. Jadi, ada wilayah yang harus dibiarkan ekspresif,
ada juga yang bisa distrukturisasi,” katanya.

Dengan demikian, kata Hawe, nilai-nilai kesundaan pada generasi milenial termasuk bahasa dan karakter Sunda sebenarnya tidak sepenuhnya hilang. “Di satu sisi, lembaga pendidikan formal memang perlu mengajarkan bahasa Sunda yang terstandardisasi. Tapi, di sisi lain, saat berada di lingkungan non-formal, ekspresi kesundaan yang kekinian harus diapresiasi. Jadi bukan hilang, hanya saja lebih fleksibel,” ujarnya.

Ciri Politik Orang Sunda

Di ranah politik nasional, orang Sunda dipandang kurang representasi. Berbeda dengan orang Jawa Tengah dan Timur. Hal ini dinilai tak lepas dari perbedaan pola masyarakat Sunda dengan Jawa yang sudah tercirikan sejak zaman dahulu.

Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Budi Rajab mengatakan, representasi politik nasional tokoh Sunda tak lepas dari struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat Jawa Tengah dan Timur cenderung memusat. Salah satu yang melatarbelakanginya adalah pola mata pencaharian masyarakat yang cenderung sebagai petani di sawah.

“Masyarakat petani sawah dalam satuan politik masyarakat dunia biasanya muncul satu kekuatan besar yang menyatukan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur kita mengenal kerajaan besar Mataram Kuno sampai Majapahit,” kata Budi dalam Webinar “Politik Sunda: Relasi Kuasa dan Kepemimpinan” yang digelar Pusat Studi Politik dan Demokrasi Unpad, Senin (10/5/2021).

Ciri masyarakat persawahan, kata Budi, adalah mampu terkonsentrasi sehingga bisa disentralisasikan oleh satu kekuatan besar. Hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat Sunda yang cenderung sebagai peladang.

Dengan perbedaan kondisi sosial itu masyarakat Sunda lebih punya kekuatan yang bersifat lokal. Kekuasaan terbagi secara lokal di beberapa wilayah.

Budi mengatakan, meskipun Sunda juga memiliki kerajaan besar, pola kekuasaannya tidak menganut sistem imperium, layaknya kerajaan besar di Jawa. Kepemimpinan kerajaan Sunda lebih terfokus pada penataan masyarakat ke dalam, bukan penaklukan keluar wilayah.

“Kekuatan besar yang mampu menjatuhkan masyarakat itu tidak ada di Sunda, sehingga satuan politiknya lebih bersifat lokal,” tutur Budi.

Hingga saat ini, representasi politik Sunda masih rendah secara nasional. Padahal, kata Budi, orang Sunda kecenderungannya lebih punya visi politik yang populis. Hanya saja, orientasinya lebih lokal, tidak kosmopolitan.

“Konsekuensinya, politiknya kepemimpinan Sunda memang sulit berbicara pada tingkat nasional karena orientasi kepemimpinannya lebih tetap bersifat lokal, tidak luas atau kosmopolis. Populis, tetapi orang Sunda tidak bisa membangun kekuatan populis yang kosmopolis,” papar Budi.

Dosen Psikologi Unpad Yus Nugraha mengatakan, nilai-nilai kesundaan menjadi modal bagi orang Sunda untuk bisa menjadi pemimpin. Nilai-nilai seperti cageur, bener, bageur, pinter, dan singer merupakan nilai jati diri Sunda yang mampu memberikan sumbangsih bagi pembangunan karakter bangsa.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//