• Opini
  • Refleksi atas Kebudayaan Sunda dalam Era Digital

Refleksi atas Kebudayaan Sunda dalam Era Digital

Penggunaan teknologi untuk melestarikan kebudayaan Sunda adalah langkah penting, tetapi yang tak kalah penting adalah menjaga serta merawat budaya ini.

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Pementasan wayang golek Rahwana Gugur oleh unit Kesenian Daerah Sunda (KDS) Lisma Unpas di Plaza Kampus II, Tamansari, Bandung, Sabtu (24/6/2023). (Sumber: Unpas)*

16 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Dalam era modern yang diwarnai oleh pesatnya kemajuan teknologi dan arus budaya global, masyarakat Sunda dihadapkan pada tantangan besar untuk mempertahankan identitas budayanya. Di satu sisi, kita dihadapkan pada perkembangan yang luar biasa dari teknologi seperti internet, kecerdasan buatan, dan aplikasi-aplikasi canggih yang membuat dunia terasa lebih kecil dan terhubung. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa budaya-budaya lokal seperti kebudayaan Sunda akan semakin terpinggirkan. Dalam konteks ini, di manakah posisi kita saat ini dalam upaya menjaga dan mengkaji kebudayaan Sunda?

Mengikuti perkembangan zaman memang penting, tetapi sering kali kita lupa bahwa warisan budaya lokal juga perlu diperhatikan dan dipelajari. Kebudayaan Sunda, salah satu kebudayaan terbesar di Indonesia, dengan segala kekayaan bahasanya, keseniannya, serta nilai-nilai tradisionalnya, telah sampai pada tahap yang cukup kritis dalam mempertahankan relevansi di era globalisasi ini. Sudah ada upaya untuk meneliti, menelaah, dan melestarikan kebudayaan Sunda, tetapi sejauh mana hasilnya dan apakah upaya ini cukup? Pertanyaan ini masih terus menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan pemerhati budaya.

Baca Juga: Lomba 17 Agustusan, Kenapa Ada yang Menjijikkan?
Kesenian dan Literasi untuk Kota Cimahi
Melupakan Sejarah, Satu Langkah Menuju Kehancuran Bangsa

Kebudayaan Sunda

Kebudayaan Sunda memiliki banyak aspek yang bisa menjadi daya tarik tersendiri, mulai dari seni tradisional seperti tari, musik, hingga upacara adat yang sarat dengan makna filosofis. Namun, perhatian terhadap kebudayaan ini di tengah-tengah masyarakat modern sering kali kurang intens. Upaya pengkajian dan pelestarian kebudayaan Sunda banyak dilakukan oleh akademisi, budayawan, dan komunitas tertentu, tetapi peran mereka terbatas jika tidak diiringi oleh dukungan dari masyarakat luas.

Sebenarnya, kita sudah melihat beberapa langkah positif dalam melestarikan kebudayaan Sunda. Misalnya, di beberapa sekolah di Jawa Barat, bahasa Sunda masih diajarkan sebagai bagian dari kurikulum. Selain itu, beberapa seniman muda juga terus mencoba menghidupkan kembali musik dan seni tari tradisional Sunda dengan memadukan elemen-elemen modern, seperti kolaborasi musik tradisional dengan alat musik elektronik. Namun, inisiatif-inisiatif ini masih sporadis dan sering kali belum mendapat perhatian yang luas.

Selain itu, teknologi digital sebenarnya juga dapat menjadi alat yang kuat dalam melestarikan kebudayaan Sunda. Akses internet yang luas memungkinkan orang-orang di seluruh dunia untuk belajar tentang budaya Sunda melalui video, blog, atau media sosial.

Namun, apakah kita benar-benar memanfaatkan teknologi ini untuk menjaga budaya kita sendiri? Ironisnya, kebanyakan dari kita justru lebih tertarik pada konten global yang lebih menarik atau trendi dibandingkan mengangkat konten lokal.

Globalisasi Budaya

Globalisasi budaya yang didorong oleh teknologi memang menghadirkan tantangan serius bagi kelestarian budaya lokal. Platform-platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram dipenuhi dengan konten-konten dari seluruh dunia, dan banyak di antaranya mendominasi perhatian generasi muda. Ketertarikan terhadap budaya pop global, mulai dari musik, film, hingga gaya hidup, sering kali menenggelamkan budaya lokal.

Namun, budaya global juga tidak harus selalu dilihat sebagai ancaman. Justru, kemajuan teknologi dapat menjadi peluang untuk memperkenalkan kebudayaan Sunda ke dunia internasional. Penggunaan internet dan kecerdasan buatan, seperti yang dilakukan oleh aplikasi-aplikasi canggih seperti ChatGPT, dapat menjadi sarana untuk mendokumentasikan dan menyebarkan kebudayaan lokal. Misalnya, teknologi dapat digunakan untuk menciptakan database digital yang berisi cerita rakyat Sunda, naskah kuno, atau lagu-lagu tradisional yang bisa diakses oleh siapa saja. Bahkan, aplikasi berbasis kecerdasan buatan bisa dilatih untuk mempelajari bahasa Sunda dan membantu melestarikannya dalam jangka panjang.

Namun, semua ini hanya mungkin jika ada kemauan yang kuat dari berbagai pihak, terutama dari masyarakat sendiri. Kita harus berhenti hanya melakukan apa yang baik untuk orang lain dan mulai melihat apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga kebudayaan kita sendiri. Mengikuti arus teknologi dan budaya global memang penting, tetapi kita juga harus cerdas dalam memanfaatkannya untuk kepentingan budaya lokal.

Menuju Masa Depan

Di tengah derasnya arus budaya global dan kemajuan teknologi, kita perlu merenung dan meninjau kembali langkah-langkah kita dalam melestarikan kebudayaan Sunda. Apakah upaya yang dilakukan sudah cukup kuat untuk menghadapi tantangan global ini?

Hasilnya masih belum jelas, dan sering kali kita masih berada pada tahap “membicarakan” tanpa tindakan nyata yang signifikan. Sudah saatnya kita bergerak lebih jauh dari sekadar kajian atau diskusi. Kebudayaan Sunda perlu dihidupkan dan diapresiasi oleh generasi muda, bukan hanya sebagai bagian dari sejarah, tetapi juga sebagai identitas yang hidup dan dinamis di era modern ini.

Akhir kata, kita tidak bisa hanya berharap teknologi akan melindungi kebudayaan kita tanpa ada upaya proaktif dari kita sendiri. Penggunaan teknologi untuk melestarikan kebudayaan Sunda adalah langkah penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita, sebagai masyarakat Sunda, tetap bangga dan terlibat aktif dalam menjaga serta merawat budaya ini. Jika tidak, di tengah pesatnya perkembangan budaya global, kita mungkin akan kehilangan sesuatu yang tak ternilai harganya

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Didin Tulus, atau artikel-artikel lain tentang literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//