• Opini
  • Lomba 17 Agustusan, Kenapa Ada yang Menjijikkan?

Lomba 17 Agustusan, Kenapa Ada yang Menjijikkan?

Lomba 17 Agustusan yang seharusnya menjadi ajang kebersamaan dan kegembiraan, malah berubah menjadi tontonan yang mempertontonkan hal yang tidak pantas.

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Mural anak SD mengibarkan bendera putih di Jalan Sudirman, Bandung. Mural ini muncul pada Agustus 2021, ketika Bandung luluh lantak karena pagebluk. (Foto-foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

16 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Tiap tahun, 17 Agustus selalu ditunggu-tunggu. Di setiap sudut negeri, perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan meriah. Namun, di tengah euforia ini, muncul tren lomba-lomba 17-an yang makin hari makin aneh dan tidak pantas.

Kali ini, saya ingin menyoroti beberapa jenis lomba yang, bukannya membawa keceriaan, malah memunculkan rasa jijik. Lomba yang seharusnya menjadi ajang kebersamaan dan kegembiraan, malah berubah menjadi tontonan yang mempertontonkan hal-hal yang tidak senonoh dan tidak pantas.

Baru-baru ini, saya melihat sebuah reels di media sosial yang menampilkan lomba makan pisang. “Apa yang aneh dengan lomba makan pisang?” mungkin itu pertanyaan yang langsung muncul di benak. Awalnya, saya juga berpikir demikian. Pisang dikupas, digantung di tali, mirip dengan lomba makan kerupuk yang sudah biasa kita lihat. Namun, yang membuat saya geleng-geleng kepala adalah ketika panitia lomba datang membawa kaleng Susu Kental Manis (SKM) putih dan mencelupkan pisang yang tergantung ke dalam kaleng tersebut. Seketika, ibu-ibu peserta lomba itu tertawa terbahak-bahak. Namun, di mana letak kelucuan itu?

Bukannya terhibur, saya merasa jijik. Mungkin ada yang berpikir, "Ah, cuma pisang! Kamu aja yang pikirannya kejauhan!"

Tapi, mari kita pikirkan lagi. Jika memang tidak ada yang salah dengan lomba tersebut, mengapa mereka tertawa? Apakah tawa itu berasal dari rasa senang atau justru dari kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak pantas di balik perlombaan itu? Tawa itu bukan tanda kebahagiaan, melainkan cerminan dari sesuatu yang tidak layak ditunjukkan, apalagi di depan umum.

Lomba lainnya yang saya lihat juga tidak kalah menjijikkan. Dulu, ketika saya masih kecil, ada lomba memasukkan pensil ke dalam botol. Namun, lomba serupa yang saya saksikan sekarang jauh berbeda. Lomba ini melibatkan pasangan dewasa, laki-laki dan perempuan. Laki-laki menggantungkan terong di depan tubuhnya dengan tali di pinggang, sementara perempuan diikatkan benda seperti gelas di bagian depan tubuhnya. Selama perlombaan berlangsung, tawa pecah di mana-mana. Tapi, sekali lagi, saya tidak melihat apa yang lucu di sana. Apakah kita sudah sampai pada titik di mana hal-hal semacam ini dianggap sebagai hiburan yang wajar?

Baca Juga: Indonesia Membutuhkan Rute Jelas untuk Mencapai 100 Tahun Kemerdekaan
Menelaah Makna Kemerdekaan, Kecerdasan, dan Kekuatan
Sebetulnya Masa Revolusi Kemerdekaan itu Penting Enggak Sih?

Soal Moralitas yang Makin Kabur

Gerakan yang ditampilkan peserta sudah bisa ditebak, dan ini bukan lagi soal "pikiran kejauhan," tapi soal moralitas yang semakin kabur. Hal yang serupa juga saya temukan pada lomba memecahkan balon. Lagi-lagi, peserta berpasangan, laki-laki dan perempuan dewasa. Namun, balon yang harus dipecahkan diletakkan tepat di depan area vital mereka. Awalnya mungkin terlihat sebagai lelucon, tapi semakin lama saya menyaksikannya, semakin tidak nyaman rasanya. Kenapa balonnya tidak diletakkan di tempat yang lebih netral, seperti di punggung atau di kepala? Kenapa harus di depan?

Lomba-lomba seperti ini mungkin dianggap seru dan menyenangkan oleh sebagian orang. Tapi, sebagai panitia, haruskah kita mengorbankan nilai-nilai kesopanan hanya demi memancing tawa? Apakah tidak ada cara lain untuk membuat acara menjadi meriah tanpa harus menyisipkan unsur-unsur yang tidak pantas? Hal yang paling mengkhawatirkan adalah ketika anak-anak ikut menonton. Apa yang mereka pelajari dari tontonan seperti ini? Kita sering berbicara tentang adab dan moral, tapi ketika dihadapkan dengan hiburan semacam ini, kita malah menyodorkan hal-hal yang jauh dari nilai-nilai tersebut, dan dibungkus dalam alibi "seru" dan "lucu."

Untuk panitia lomba 17-an di manapun, cobalah untuk lebih bijak dalam memilih jenis lomba. Tidak perlu terlalu kreatif sampai mempertontonkan hal-hal yang tidak pantas. Kembalilah ke lomba-lomba tradisional yang lebih sederhana namun tetap menghibur, seperti balap karung, lomba tarik tambang, atau lomba kelereng. Lomba-lomba ini mungkin terkesan jadul, tapi setidaknya mereka tetap memegang nilai-nilai yang pantas dan bisa dinikmati semua kalangan, termasuk anak-anak.

Setuju atau tidak, terserah. Tapi saya berharap pesan ini bisa sampai kepada mereka yang menjadi panitia lomba 17-an, baik itu bapakmu, pamanmu, atau siapa saja anggota keluargamu. Karena yang saru tetap saru, meskipun dibungkus dengan kata seru. Jangan sampai yang saru itulah yang akhirnya ditiru oleh anak cucumu. Di tengah semangat kemerdekaan, mari kita juga merdeka dari hiburan-hiburan yang menjijikkan dan tidak bermoral.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Hari Kemerdekaan 17 Agustus

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//