• Opini
  • Melupakan Sejarah, Satu Langkah Menuju Kehancuran Bangsa

Melupakan Sejarah, Satu Langkah Menuju Kehancuran Bangsa

Penghapusan budaya sering kali disertai dengan penciptaan ulang sejarah oleh penguasa. Sejarah baru dirancang untuk mempromosikan narasi yang menguntungkan kekuasaan

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Ilustrasi buku dan literasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

8 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Milan Kundera, dalam bukunya The Book of Laughter and Forgetting, mengungkapkan pemikiran yang tajam dan menggelisahkan tentang ancaman yang dihadapi oleh setiap bangsa. Kutipan yang paling berkesan dari karya ini berbunyi, "Langkah pertama untuk menghancurkan suatu bangsa adalah menghapus ingatannya. Hancurkan buku-bukunya, budayanya, sejarahnya. Kemudian suruh seseorang menulis buku-buku baru, menciptakan budaya baru, menciptakan sejarah baru. Tak lama kemudian bangsa itu akan mulai melupakan siapa dirinya dan apa yang telah terjadi... Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan kelupaan." Kalimat ini mengandung kebenaran mendalam tentang bagaimana ingatan kolektif suatu bangsa berperan penting dalam mempertahankan identitas, martabat, dan kemerdekaannya.

Sejarah tidak hanya mencatat apa yang telah terjadi, tetapi juga mengajarkan kita siapa kita. Dari mana asal kita, nilai-nilai apa yang kita perjuangkan, dan jalan apa yang telah kita tempuh. Ketika ingatan ini dihapus atau diputarbalikkan, sebuah bangsa kehilangan arah. Mereka mulai meragukan masa lalu mereka, yang pada akhirnya membuat mereka tidak tahu apa yang harus diperjuangkan di masa depan. Ingatan sejarah adalah fondasi penting yang menjaga identitas kolektif bangsa tetap utuh. Ketika fondasi ini runtuh, bangsa itu mulai goyah.

Baca Juga: Lomba 17 Agustusan, Kenapa Ada yang Menjijikkan?
Kota Cirebon dan Arti Daun Jati
Kesenian dan Literasi untuk Kota Cimahi

Menghancurkan Buku, Menghancurkan Identitas

Buku, sebagai penjaga pengetahuan, adalah target utama bagi kekuasaan yang ingin menguasai bangsa. Sejarah telah berulang kali mencatat contoh di mana buku-buku dibakar atau dilarang demi menekan ingatan kolektif suatu masyarakat. Salah satu contohnya adalah peristiwa pembakaran buku besar-besaran di Tiongkok pada masa Dinasti Qin. Kaisar Qin Shi Huang memerintahkan pemusnahan buku-buku filsafat dan sejarah yang dianggap mengancam kekuasaannya. Tujuannya jelas, untuk menghapus masa lalu dan menciptakan narasi sejarah baru yang lebih menguntungkan kekuasaan. Ketika buku-buku dihancurkan, rakyat kehilangan akses terhadap warisan intelektual mereka dan menjadi lebih mudah dikendalikan.

Langkah yang sama dapat dilihat dalam berbagai rezim totaliter di abad ke-20, seperti Nazi di Jerman atau rezim komunis di Uni Soviet. Buku-buku yang dianggap subversif, yang menantang narasi kekuasaan, dimusnahkan atau dilarang. Penulisan sejarah pun disesuaikan untuk mendukung agenda politik. Ini adalah bentuk manipulasi ingatan yang efektif, karena tanpa buku-buku yang merekam kebenaran, masyarakat tidak memiliki referensi untuk mempertanyakan narasi yang dipaksakan oleh penguasa.

Manipulasi Budaya dan Sejarah

Selain penghancuran buku, budaya juga sering menjadi target. Budaya suatu bangsa merupakan cerminan dari pengalaman, nilai, dan aspirasi masyarakatnya. Ketika budaya dihancurkan, bangsa kehilangan jati diri mereka. Contoh yang tragis adalah upaya kolonialisme untuk menghapus budaya lokal di banyak negara yang mereka jajah. Bahasa lokal digantikan oleh bahasa penjajah, dan tradisi-tradisi asli dianggap primitif atau tidak layak dipertahankan. Hasilnya, masyarakat yang terjajah mulai kehilangan kebanggaan atas budaya mereka sendiri dan, secara bertahap, mulai mengadopsi budaya penjajah.

Penghapusan budaya sering kali disertai dengan penciptaan ulang sejarah. Sejarah baru yang ditulis oleh penguasa dirancang untuk menghilangkan perlawanan masa lalu dan mempromosikan narasi yang menguntungkan bagi kekuasaan. Orang-orang dipaksa untuk melupakan pahlawan masa lalu, tokoh-tokoh yang telah memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan. Mereka digantikan oleh figur-figur baru yang diangkat sebagai simbol kekuatan dan dominasi kekuasaan. Proses ini menciptakan bangsa yang bingung, yang kehilangan rasa percaya diri dan martabatnya.

Perjuangan Melawan Lupa

Kundera dengan tegas menyatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan kelupaan. Ketika kekuasaan mencoba untuk menghapus sejarah, budaya, dan ingatan kolektif, perjuangan yang sebenarnya adalah mempertahankan kebenaran. Masyarakat yang sadar akan sejarah dan budaya mereka lebih sulit untuk dikendalikan. Mereka memiliki rasa identitas yang kuat dan mampu mempertanyakan narasi yang dipaksakan oleh penguasa.

Inilah mengapa penting bagi kita untuk terus memelihara dan merawat ingatan kolektif kita. Pendidikan yang baik, akses terhadap buku dan literatur sejarah, serta kebebasan berekspresi adalah kunci dalam menjaga agar ingatan ini tidak hilang. Dalam dunia yang semakin terhubung, ancaman terhadap ingatan ini mungkin datang dalam bentuk baru, seperti distorsi informasi melalui media sosial atau sensor digital. Namun, esensi perjuangan ini tetap sama.

Kita harus terus mengingat siapa kita, dari mana kita berasal, dan apa yang telah kita perjuangkan. Dengan begitu, kita bisa melawan upaya untuk menghancurkan ingatan kita dan menjaga identitas bangsa tetap hidup.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Didin Tulus, atau artikel-artikel lain tentang literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//