Mencegah Politisasi Lembaga Penyiaran Selama Pilkada
Profesionalisme lembaga penyiaran seperti televisi dan radio lagi-lagi diuji di masa Pikada Serentak 2024. Di Pilpres 2024 terungkap 108 indikasi pelanggaran.
Penulis Hanifa Paramitha Siswanti26 November 2024
BandungBergerak.id - Di tengah euforia pesta demokrasi daerah dalam Pilkada 2024, layar televisi dan gelombang radio menjadi medan yang penuh dinamika. Pilkada serentak 2024 tidak hanya menjadi panggung bagi kandidat untuk meraih simpati masyarakat, tetapi juga godaan bagi lembaga penyiaran untuk menjaga integritasnya. Sebagai salah satu pilar demokrasi, media penyiaran memegang peran krusial dalam menyediakan informasi yang adil dan berimbang. Namun, di balik layar, risiko politisasi bisa terjadi dan membawa dilema antara keberpihakan dan netralitas.
Penelitian Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat bersama Universitas Padjadjaran pada 2022-2023 menemukan indikasi kuat penggunaan lembaga penyiaran oleh pemilik modal untuk menggiring opini publik. Bahkan pada Pilpres 2024 terungkap sebanyak 108 indikasi pelanggaran terkait penyiaran yang sebagian besar melibatkan sistem penyiaran jaringan yang 40 persennya adalah jaringan televisi dan radio lokal.
Terkait hal tersebut, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat Adiyana Slamet mengatakan sejumlah indikasi pelanggaran tersebut bukanlah angka yang sedikit. Ia mencontohkan beberapa di antaranya dari kontestan yang melakukan blocking time hingga frekuensi penayangan berita yang dua kali lipat dari kontestan lainnya dalam program acara yang sama.
Adiyana menegaskan bawah lembaga penyiaran harus profesional, berimbang, dan tidak memihak. Selain berpedoman pada UU No.32/2022 tentang penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P2SPS), KPID Jabar telah bersepakat melalui surat pernyataan bersama KPU, KPU, dan Dewan Pers dalam melakukan pengawasan pemilu dan pilkada.
“KPID Jabar adalah KPID pertama di Indonesia yang mendeklarasikan gugus tugas pada Agustus 2023. Tentunya demokrasi tidak boleh dicederai karena lembaga penyiaran adalah motor pilar keempat demokrasi. Kalau dilihat aspek lain, lembaga penyiaran tidak lepas dari hubungan antaraktor yang memengaruhi pembiayaan media, konten, dan regulasi. Kami sadar betul bahwa kompleksitas itu yang dihadapi di Jabar. Apalagi di Jabar ada 476 lembaga penyiaran,” papar Adiyana.
Ia menyebutkan esensi demokrasi adalah tentang bagaimana masyarakat berdaya dalam konteks partisipasi politik. “Dalam UU 32 tahun 2002 itu jelas ada peran serta masyarakat untuk membangun penyiaran yang baik. KPID menangkap regulasi itu. Dari tahun 2021 ada program pengawasan semesta dalam bentuk literasi pendengar radio,” tambahnya.
Area pengawasan KPID Jabar berupa tiga hal yakni pemberitaan, iklan, dan penyiaran secara umum. Dalam hal ini, KPID melakukan literasi dan kolaborasi dengan menggandeng berbagai komponen harus digandeng seperti kampus, ormas, dan kreator konten. Adiyana pun berharap ada perluasan kolaborasi untuk mendorong keberanian agar dapat bersama-sama mengawasi penyiaran.
“Kami sudah mewanti-wanti lembaga penyiaran untuk tetap jadi institusi kepentingan publik. Dalam teori ekonomi politik media ada sebutan ideological state apparatus. Jangan sampai jelang Pilkada bergeser menjadi ideological owner apparatus. Ini yang harus dilihat utuh. Kita dudukkan lembaga penyiaran untuk kepentingan publik, bukan golongan tertentu,” sambungnya.
Adiyana mengakui bahwa dari tahun ke tahun, problemnya adalah hubungan aparatur yang memengaruhi regulasi. Apalagi dalam revisi UU 32/2002, urusan kepemiluan hanya diatur dalam satu pasal. Selain itu, Bawaslu juga hanya berwenang mengawasi iklan. Permasalahan lain pundatang dari media berbasis internet.
“Di revisi ada detail iklan kampanye, dan lain-lain. Artinya bahwa permasalahan lembaga penyiaran karena positioning-nya strategis. Kemudian masalah terbesar lainnya adalah media berbasis internet banyak yang bermain di wilayah itu, tetapi tidak ada institusi negara yang berwenang mengawasinya. Negara harus ikut pikirkan, harus mengatur holistik. Media berbasis internet tidak hanya berbahaya dalam penggiringan komunikasi politik, tetapi juga disintegrasi sosial dan teritori. Ini jadi pembelajaran untuk semua,” ucap Adiyana.
Menurutnya, keberpihakan lembaga penyiaran tidak hanya terlihat dari penayangan kandidiat tertentu, tetapi juga sudut pengambilan kamera. Ia mendorong lembaga penyiaran melakukan verifikasi dari banyaknya informasi.
“Bicara demokrasi adalah bicara untuk semua. Kerja bersama adalah modal untuk pembangunan demokrasi,” tukas Adiyana.
Sementara itu, Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jawa Barat Joesoef Siregar menegaskan pihaknya selalu berupaya agar seluruh radio anggota di bawah naungannya menjalani tata aturan yang berlaku dan mengarahkan untuk menjaga netralitas.
“Kami jaga dan monitor 108 radio anggota bersama setiap koordinator wilayah (korwil) yang turut mengawasi. Selama ini tidak ada teguran dari KPU atau KPID. Para anggota mematuhi pedoman UU 32/2002 dan P2SPS,” kata Joesoef.
Meskipun hingga saat ini tidak ada laporan pelanggaran, Joesoef menandaskan setiap korwil di enam wilayah se-Jabar akan menindak dan mengarahkan untuk menghentikan siaran sampai ada penyelesaian lanjut secara hukum. Koordinasi juga terus dilakukan bersama Diskominfo Jabar dan KPID Jabar dalam melakukan pengawasan dengan turut melibatkan KPU.
“Anggota PRSSNI Jabar tidak ada yang terkait dengan partai. Kalau mantan penyiar ada, tapi yang bersangkutan sudah tidak di radio dan tidak memanfaatkan tempat berkiprah lamanya itu untuk memengaruhi,” tambah Joesoef.
Ia mengungkapkan, saat ini terdapat enam korwil PRSSNI di Jabar yang setiap hari menerima laporan dari setiap radio anggota di bawahnya. Dalam upaya menjaga netralitas, seluruh konten siaran pun harus terlebih dahulu melalui koreksi sekretariat PRSSNI Jabar agar tersaring dengan baik dan layak siar.
Mengawal Demokrasi yang Sehat
Catatan pemantauan dari Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia mengungkapkan ada lima media saat Pemilu 2024 yang terindikasi memihak kepada salah satu paslon. Ia berharap hal serupa tidak terjadi dalam Pilkada Serentak 2024.
“Peran media penting sebagai penyeimbang dan penyambung lidah masyarakat karena merupakan pilar keempat demokrasi. Sikapnya harus tegas. Tidak bisa dipungkiri bahwa posisi kapitalisasi media juga terjadi. Beberapa riset juga menyampaikan hal ini. Saya pernah diundang ke stasiun TV yg cenderung memilih pasangan tertentu karena faktor pemilik. Di sana diminta untuk memotong pernyataan kritis. Ini kan membelenggu kebebasan berbicara narasumber,” ucap Direktur DEEP Indonesia Neni Nur Hayati.
Neni memandang regulasi yang ada belum mengakomodir hal itu. Namun ia mengakui kekurangan sumber daya manusia menjadi tantangan di lapangan, apalagi PKPU yang ada tidak mengatur secara spesifik berkaitan hal tersebut, termasuk iklan kampanye. Ia pun menyoriti diversitas media yang masuk ke ranah media sosial, sehingga pemantau lapangan kesulitan mengawasi, apalagi saat masa tenang.
“Bawaslu sudah melakukan pencegahan, tetapi pelanggaran tetap ada dan sulit ditindak ke ranah pidana karena untuk memenuhi syarat formil dan materil sangat kompleks. KPID juga perlu merangkul organisasi sipil untuk terlibat langsung dengan pengawasan media,” tambah Neni.
Menurutnya, lembaga penyiaran tidak boleh tersandera kartel politik. KPID perlu membuat pula langkah preventifnya. Ia pun mengapresiasi tiga perspektif pengawasan KPID yang tidak hanya baik, tapi juga berkeadilan dan menjunjung kesetaraan. Hal ini karena sering terjadi ada lembaga penyiaran yang cenderung menyiarkan dan memberitakan salah satu paslon tertentu.
“Lembaga penyiaran harus tegas dan ada titik etika keutamaan moralitas di jurnalistik. Informasi adalah kekuatan. Kalau merujuk ke Habernas, ada deliberative democracy yang syaratnya dua, yaitu masyarakat yang kritis dan ikut partisipasi. Nah bagaimana masyarakat mau kritis dan berpartisipasi ketika informasi yang disampaikan lembaga penyiaran tidak sesuai dengan harapan. Apalagi ditambah problem literasi digital lemah,” papar Neni.
Terkait hal tersebut, Neni mengaku DEEP Indonesia juga telah membuat program edukasi politik termasuk sosialisasi berbagai regulasi pilkada yang harus diketahui masyarakat akar rumput, terutama kelompok perempuan yang sering jadi korban hoaks dan komodifikasi info politik serta agama.
Diakui Neni, politisasi lembaga penyiaran akan memiliki dampak terhadap demokrasi itu sendiri. “Tentu ini akan menciptakan polemik. Pilkada berintegritas bukan hanya hasil, tapi juga prosesnya. Politisasi lembaga penyiaran menjadi pembodohan kepada masyarakat. Apalagi sekarang era post truth di mana kebenaran dan ketidakbenaran itu tipis sekali. Kalau kita tidak betul-betul jadi pemilih cerdas dan kesadaran mencermati pasti akan mudah dikelabui,” jelasnya.
Netralitas Jurnalis dan Ruang Redaksi
Lembaga penyiaran harus memegang teguh nilai independensi dan tidak terpengaruh oleh berbagai tekanan. Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jabar Iqwan Sabba Romli menegaskan netralitas pun harus dipegang teguh oleh para jurnalisnya.
“Pers adalah pilar keempat demokrasi dan jurnalis merupakan profesi dengan kode etik. Gunakan prinsip keberimbangan. Sebagai jurnalis, kontrol sosial harus dikedepankan. Dalam menciptakan demokrasi yang baik, jurnalis harus menciptakan produk konten yang mendorong partisipasi masyarakat lebih peduli kepada demokrasi,” ujar Iqwan.
Pihaknya juga berkolaborasi dengan lembaga bantuan hukum dan unsur advokasi lainnya untuk memberikan literasi kepada jurnalis supaya memiliki etika berkeadilan. “Sejak jauh hari sudah diingatkan agar liputan dengan unsur keberimbangan. Jurnalis itu corong masyarakat. Kami terus gali agar tidak ada jurnalis yang berafiliasi dengan paslon. Jurnalis itu ada di koridor independen,” papar Iqwan.
Dalam upaya turut menjaga stabilitas pilkada, IJTI Jabar juga telah membuat komitmen dengan KPU dan Bawaslu agar memberikan info tepat guna kepada masyarakat sekaligus melakukan pengawasan.
“Keberagaman dan pluralisme di Jabar itu luas. Heterogenitasnya banyak dari kultur, agama, budayanya berbeda dari Depok sampai Banjar. Potensi kericuhan dan perbedaan pendapatnya ada. Nah tugas jurnalis juga untuk berupaya memberikan nilai manfaat lewat pemberitaannya,” jelas Iqwan.
Tantangan netralitas bagi media penyiaran adalah penggunaan frekuensi milik publik, sehingga semua karya yang muncul harus bermanfaat untuk masyarakat. Iqwan pun mencontohkan suatu kasus penyalahgunaan frekuensi dalam Pilkada 2018 saat salah satu paslon memanfaatkan frekuensi di daerah pesisir kabupaten yang masih menikmati siaran audio.
Namun, ia menilai pesta demokrasi sekarang berbeda dengan tahun 2014 dan 2018 saat masyarakat masih fokus kepada pemberitaan di media arus utama. Sekarang mereka fokus kepada informasi di media sosial, lalu melakukan konfirmasi ke media utama.
“Internet itu ruang kosong yang siapa pun bisa menciptakan dan memiliki. Jurnalis harus paham ini. Memang jadinya kerja jadi lebih berat dan sedetail mungkin. Harus ada amplifikasi dari media konvensional secara konvergensi ke media sosial,” ujarnya.
Iqwan mengakui minat masyarakat terhadap konten audiovisual sangat tinggi seperti format video pendek vertikal di Instagram, Tiktok, dan Youtube. Namun hal tersebut kadang memunculkan polemik dan opini publik yang liar karena banyaknya produk jurnalistik televisi yang dipotong tanpa konteks di media sosial.
“Kami pernah disomasi dengan berita yang dibuat karena ternyata ada yang memotong produk jurnalistik kami ke media sosial untuk kepentingan seseorang. Konteks disrupsi informasi yang berasal dari media luar ruang yang menciptakan isu tertentu juga harus kita klarifikasi,” tuturnya.
Dalam mencegah politisasi lembaga penyiaran sekaligus menjaga stabilitas selama pilkada, Iqwan berharap ruang redaksi bersih dari unsur politik. “Mungkin kepentingan tetap ada, tapi kami berusaha berimbang.Terus gaungkan jurnalisme positif,” tukasnya.
*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.