Han Kang dan Sastra untuk Perdamaian
Han Kang tidak menceritakan kembali peristiwa kelam untuk menanamkan dendam. Dalam Mata Malam, dia menyampaikan pesan menyampaikan pesan tersirat tentang perdamaian.
Mohammad Sidik Nugraha
Penyunting dan penerjemah buku. Tinggal di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Instagram @kidis.nugraha
29 November 2024
BandungBergerak.id – Nobel Sastra 2024 mungkin adalah hadiah ulang tahun terindah bagi Han Kang, penulis Korea Selatan yang lahir pada 27 November 1970. Namun, alih-alih menikmatinya sebagai prestasi pribadi, dia menjadikannya kesempatan untuk terus menggaungkan pesan tentang kemanusiaan.
Setelah diumumkan sebagai pemenang Nobel Sastra pada 10 Oktober 2024, Han Kang tidak merayakannya dengan berpesta di menara gading. Secara halus, dia mengingatkan kita untuk merenungkan keadaan dunia yang semakin genting.
Dia memanfaatkan sorotan khalayak kepadanya untuk menyampaikan pesan tersirat tentang perdamaian. Dia enggan menyikapi penghargaan bergengsi itu secara berlebihan. Ketika diwawancarai lewat telepon oleh staf Yayasan Nobel Jenny Rydén, Han Kang mengatakan bahwa dia hanya akan “merayakan dengan hening” bersama anak laki-lakinya di rumah mereka yang berada di Seoul. Dia pun tidak mau menggelar konferensi pers.
Begitulah cara Han Kang menunjukkan keprihatinannya atas konflik bersenjata yang terjadi di Ukraina dan Timur Tengah, khususnya Palestina.
Saat sebagian besar dunia, khususnya peminat sastra dan buku, merayakan pencapaian Hang Kang, dia sendiri seperti bersembunyi dari pusat perhatian. Selain kepada Jenny Rydén, dia menyampaikan pernyataannya lewat bapaknya, Han Seung-won, yang juga seorang novelis terkenal di Korea Selatan.
“Dengan perang yang semakin berkecamuk dan banyak orang tewas setiap hari, bagaimana mungkin kita membuat perayaan atau konferensi pers?” Han Seung-won mengulang ucapan Han Kang, dikutip The Korea Times (11/10/2024).
Han Kang bahkan meminta bapaknya membatalkan rencana jamuan makan bersama warga setempat di Sekolah Sastra Han Seung-won yang terletak di Jangheung, Provinsi Jeolla Selatan.
“Tolong jangan merayakannya, sementara kita menyaksikan peristiwa tragis ini (merujuk pada perang di Ukraina dan kekejaman di Gaza). Akademi Swedia memberi saya penghargaan ini bukan untuk bersenang-senang, melainkan supaya kita tetap berpikir jernih,” kata Han Kang yang kemudian disampaikan oleh bapaknya kepada wartawan.
Han Kang hanya muncul dan berbicara satu kali di depan umum setelah pengumuman pemenang Hadiah Nobel oleh Akademi Swedia. Tepatnya, saat dia menyampaikan pidato dalam penganugerahan Pony Chung Innovation Award di Seoul, Korea Selatan, 17 Oktober 2024. Dia menghadirinya semata-mata karena acara ini sudah dijadwalkan sebelum pengumuman pemenang Hadiah Nobel 2024.
Baca Juga: Literasi untuk Perdamaian DuniaMenjaga Kehidupan Literasi dan Seni di Bandung Melalui Festival Braga Bulan Purnama
Antara Gaza dan Gwangju
Tidak mengherankan jika Han Kang merasa prihatin dengan apa yang terjadi di Ukraina dan Palestina, khususnya Gaza. Dalam novel-novelnya, dia coba menyelami penderitaan manusia.
Meski Han Kang dikenal luas berkat The Vegetarian, saya lebih dahulu mengenal karyanya yang lain, Mata Malam. Novel ini berjudul Sonyeoni Onda dalam bahasa Korea, sementara edisi bahasa Inggris bertajuk Human Acts. Saya terlibat sebagai proofreader ketika versi terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh penerbit Baca pada tahun 2017.
Lewat Mata Malam, Han Kang menceritakan pemberontakan dan pembunuhan massal di kampung halamannya, Gwangju. Novel ini berlatar lokal, tetapi mengangkat masalah kemanusiaan yang universal dan relevan dengan keadaan dunia kiwari. Di halaman 158, dia mengajak pembaca merenungkan pertanyaan:
Apakah manusia memang kejam? Apakah pengalaman kekejaman adalah satu-satunya hal yang kita miliki bersama sebagai spesies?
Bencana kemanusiaan di Gaza mungkin mengingatkan Han Kang pada peristiwa kelam di Gwangju yang mengilhaminya mengarang Sonyeoni Onda. Apa yang terjadi di sana merupakan gambaran nyata kekejaman. Bisa jadi, itulah alasan dia tidak mau merayakan Hadiah Nobel Sastra yang diperolehnya dengan keriaan, tetapi cukup dalam keheningan.
Han Kang menggunakan sastra untuk mengolah dan mengasah rasa kemanusiaan. Dengan bercerita, dia membawa pembaca mendalami suatu peristiwa atau persoalan dari berbagai sudut pandang.
Sebagaimana dinyatakan oleh Panitia Nobel, Han Kang berani mengangkat trauma sejarah dalam karyanya. Namun, dia melakukannya bukan untuk mengorek luka masa lalu supaya semakin parah, melainkan agar pulih.
Han Kang tidak menceritakan kembali peristiwa kelam untuk menanamkan dendam. Dalam Mata Malam, misalnya, dia menyampaikan pesan tersirat tentang kesetiakawanan, keberanian, ketabahan, cinta, dan harapan.
Dendam masa lalu sering diwariskan ke generasi selanjutnya dan menumbuhkan kebencian yang kuat mengakar. Namun, ingatan kolektif dirawat sejatinya untuk melawan lupa, bukan melanggengkan luka. Pengalaman pahit dari sejarah sepatutnya dijadikan pelajaran berharga, bukan bahan bakar konflik berkepanjangan. Dalam hal ini, karya sastra berperan penting sebagai sarana untuk menyemai benih perdamaian.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang literasi