• Opini
  • Literasi untuk Perdamaian Dunia

Literasi untuk Perdamaian Dunia

Literasi diperlukan untuk menjaga kerukunan dan ketertiban dunia. Namun ketika perang terjadi, perpustakaan pasti dihancurkan dan buku-buku dimusnahkan.

Mohammad Sidik Nugraha

Penyunting dan penerjemah buku. Tinggal di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Instagram @kidis.nugraha

Foto ilustrasi. Pedagang menyiapkan buku sebelum dipamerankan. Hari Buku Sedunia di The Hallway Space, Kosambi, Bandung, digelar pameran dan bincang tentang literasi, 22 - 24 April 2022. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

10 September 2024


BandungBergerak.id – Ketika dunia dilanda berbagai konflik, buku berperan penting sebagai alat perdamaian. Saat tulisan-tulisan di media sosial cenderung memperpanas keadaan dan memperuncing permusuhan, kita membutuhkan bacaan yang menjadi penyeimbang narasi kebencian. Literasi sangat diperlukan untuk menjaga kerukunan dan ketertiban dunia.

Bukan sebatas meningkatkan minat baca, gerakan literasi harus mengasah kemampuan untuk memahami dan memecahkan masalah. Buku merupakan salah satu media untuk menyampaikan solusi.

Misalnya, saat terjadi konflik karena sentimen suku atau agama di suatu daerah, masyarakatnya perlu diberi bacaan yang menyuburkan toleransi dan welas asih. Dalam skala lebih luas, karena perang terjadi di beberapa kawasan dan mungkin akan menyebar ke wilayah lain, masyarakat dunia membutuhkan buku-buku yang menumbuhkan solidaritas di antara sesama manusia.

Baca Juga: Gerilya Literasi di Pinggiran Kota
Pasang Surut Gerakan Literasi di Bandung, dari Rumah Baca Buku Sunda hingga Pohon Buku
Indeks Literasi Jawa Barat Kurang Menggembirakan

Perang Padamkan Cahaya Literasi  

Perang berdampak pada hak rakyat untuk mendapatkan bacaan bermutu. Banyak buku dibakar dan perpustakaan dihancurkan.

Nazi secara sistematis menghancurkan perpustakaan dan cagar budaya di sepenjuru Eropa pada Perang Dunia II. Serangan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 meluluhlantakkan Perpustakaan Nasional Baghdad. Kelompok teroris ISIS membakar Perpustakaan Pusat Universitas Mosul. Yang terbaru, serangan Rusia dan Israel menghancurkan perpustakaan di Ukraina dan Palestina. 

“Merujuk pada penelitian kami, selama dua tahun serangan skala penuh, 131 perpustakaan umum hancur sepenuhnya di Ukraina. Selain itu, 746 perpustakaan mengalami kerusakan dengan kadar berbeda-beda dan perlu diperbaiki secara besar-besaran,” kata Valentina Zdanovska, pustakawan senior Perpustakaan Nasional Yaroslav Mudryi, dikutip dari situs web Chytomo, media independen seputar penerbitan, buku, dan kebudayaan di Ukraina (26/2/2024).

Sementara itu, The Washington Post (1/12/2023) menyebutkan sejumlah perpustakaan di Gaza rusak sebagian dan hancur sepenuhnya akibat serangan Israel sejak Oktober 2023. Puluhan ribu buku dan dokumen kebudayaan musnah.

Bom tidak punya mata hati dan tidak kenal agama. Serangan Israel tidak hanya menghancurkan perpustakaan berisi buku-buku keislaman di Palestina. Sebuah foto yang ditayangkan di situs Los Angeles Times menunjukkan gedung Pusat Kebudayaan dan Sosial Ortodoks di Gaza hancur dibom pasukan Israel. Dewan Gereja Dunia (WCC) mengutuk serangan itu. Menurut Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, sengaja menyerang gedung-gedung pendidikan, seni, dan ilmu pengetahuan merupakan kejahatan perang. 

Ketika terjadi konflik bersenjata, tidak peduli apa pun agama pihak yang bertikai, perpustakaan pasti dihancurkan dan buku-buku dimusnahkan. Begitulah perang memadamkan cahaya literasi.

Anak-anak sedang memilih buku. (Foto: Dokumentasi Mohammad Sidik Nugraha)
Anak-anak sedang memilih buku. (Foto: Dokumentasi Mohammad Sidik Nugraha)

Buku sebagai Alat Perdamaian

Buku bisa digunakan sebagai media untuk membangun dan merawat kerukunan, terutama di wilayah konflik.

Dalam hal ini, Indonesia memiliki pengalaman sangat berharga ketika terjadi konflik antara umat Islam dan Kristen di Maluku pada tahun 1999-2002. Sebagai upaya rekonsiliasi agar tragedi serupa tidak terulang di sana, Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) bekerja sama dengan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina. Mereka menerbitkan buku Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku pada tahun 2014.

Buku itu berisi 26 tulisan karya 26 orang lintas agama dan dari berbagai latar belakang profesi, seperti jurnalis, dosen, pendeta, dan ulama. Sebagian besar mereka merupakan saksi hidup kerusuhan itu. Namun, tidak hanya menceritakan bagaimana peristiwa kelam itu terjadi, mereka juga mengisahkan upaya-upaya yang dilakukan untuk menciptakan kembali kedamaian setelahnya.

Konflik geopolitik saat ini diperburuk dengan perang narasi penuh kebencian lewat media sosial, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, umat manusia secara umum sangat membutuhkan buku-buku yang mengusung narasi perdamaian.

Kenapa buku? Sebab, mutu tulisan dalam buku, khususnya versi cetak, cenderung lebih terjaga dibandingkan dengan tulisan yang dibuat sesukanya di media sosial. Buku juga menghadirkan pengalaman berbeda bagi pembacanya. Dengan membaca buku, kita bisa lebih mendalami suatu persoalan sehingga memiliki pemahaman yang lebih utuh ketimbang hanya membaca sepotong informasi di media dalam jaringan (daring).

Perhatian khusus perlu diberikan pada bacaan untuk anak-anak di negara yang sedang bertikai atau kawasan rawan konflik. Mereka lebih membutuhkan buku-buku bertema persahabatan, tolong-menolong, dan kerja sama di antara manusia yang memiliki keberagaman suku, agama, dan ras. Dengan demikian, kebencian yang diwariskan generasi sebelumnya akan terkikis. Benih perdamaian pun akan tumbuh perlahan-lahan.

Literasi Tumbuhkan Budaya Damai

Selain waktunya berdekatan (8 dan 21 September), tema peringatan Hari Literasi Internasional (HLI) dan Hari Perdamaian Internasional (HPI) 2024 saling berkaitan. HLI mengusung tema "Menggalakkan Pendidikan Multibahasa: Literasi untuk Saling Pengertian dan Perdamaian". Sementara, HPI bertema "Menumbuhkan Budaya Damai".

Pemilihan kedua tema itu sangat tepat jika menimbang situasi dunia saat ini. Budaya damai tidak akan tercipta tanpa adanya saling pengertian. Sikap mulia ini merupakan modal dasar kerukunan umat manusia. Oleh karena itu, kita perlu terus menyuburkan dan menyebarkannya.   

Memang mustahil menciptakan dunia yang benar-benar terbebas dari konflik, kekerasan, atau perang. Namun, selama buku-buku yang mengasah rasa kemanusiaan terus diterbitkan dan dibaca, kedamaian secara umum akan tetap terjaga. Jangan sampai cahaya literasi padam.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang literasi dan perdamaian

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//