Melarang Jalsah Salanah Ahmadiyah di Kuningan, Negara Mengabaikan Amanat Konstitusi
Masyarakat minoritas Ahmadiyah terus didera diskriminasi. Pelarangan Jalsah Salanah Ahmadiyah di Kuningan oleh negara memanen kecaman.
Penulis Yopi Muharam6 Desember 2024
BandungBergerak.id - Tindakan diskriminasi terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) kembali terjadi. Acara Jalsah Salanah atau kegiatan rutinan JAI Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat mendapatkan pelarangan dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) setempat. Akibatnya, ribuan warga JAI terlantar karena tidak bisa masuk ke Manislor. Jalan menuju Manislor diblokade aparat.
Dalam laporan LBH Bandung disebutkan, Jalsah Salanah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manislor rencananya akan dihadiri oleh 6.000 peserta yang terdiri dari 3.000 perempuan dan 1.000 anak-anak. Sejak Kamis malam, 11 Desember 2024, para peserta sudah menempuh perjalanan menuju lokasi. Akan akses menuju lokasi telah ditutup atau diblokade aparat keamanan setempat.
LBH Bandung menyebut, para peserta terlantar karena empat jalan utama menuju lokasi telah ditutup. Padahal acara ini sudah mendapat dukungan dari kepala desa setempat dan tanda tangan 2.000an warga.
Pelarangan tersebut menuai reaksi kecaman dari organisasi masyarakat sipil. Konsorium Inklusi yang terdiri dari INFID, Setara Institute, Maarif Institute, Yayasan Inklusif, Medialink, Unika Soegijapranata, Fatayat NU Jawa Barat, dan Fatayat NU Jawa Timur menyebut pelarangan ini bertentangan dengan hak konstitusional warga.
Terlebih upaya pelarangan acara ini melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjamin sepenuhnya kebebasan dan kemerdekaan setiap penduduk dan warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan.
Pada Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Konsorium Inklusi menyebut negara harusnya hadir untuk melindungi warganya untuk memeluk kepercayaanya.
“Oleh karena itu, sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) negara harus menjamin dan melindungi penikmatan (enjoyment) hak tersebut,” demikian keterangan resmi Konsorium Inklusi, Jumat, 6 Desember 2024.
Konsorium menegaskan agar negara tidak tunduk terhahap masyarakat intoleran yang menolak pelaksanaan Jalsah Salanah 2024. Konsorsium juga menilai bahwa pelarangan Jalsah Salanah oleh Forkopimda Kuningan yang dibingkai dalam narasi menjaga kerukunan dan ketertiban umum merupakan sebuah alibi yang semakin melanggengkan tindakan diskriminatif pemerintah terhadap kelompok minoritas.
Baca Juga: Asa di Masjid tak Berkubah Parakansalak
Jemaat Tanpa Masjid, Nestapa Warga Ahmadiyah di Nyalindung dalam Belenggu Penyegelan
Pelanggaran HAM
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Forum Masyarakat untuk Toleransi (Formassi) Jawa Barat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, dan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) juga megecam pelarangan Jalsah Salanah 2024.
Organisasi-organisasi tersebut menegaskan, pelarangan terhadap kegiatan JAI merupakan bentuk pelanggaran hak azasi manusia (HAM) dalam hal keyakinan beragama. Tindakan Forkopimda bukan sebuah tindakan penyelesaian konflik yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya, tindakan ini akan memicu praktik-praktik yang sama di tempat lain.
Organisasi masyarakat sipil pun mendesak Presiden, Kapolri, Pj. Gubernur Jabar, dan seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk menjamin kebebasan berkumpul dan beragama bagi Jemaat Ahmadiyah, serta membatalkan keputusan Forkopimda Kuningan yang inkonstitusional.
Tidak hanya itu, mereka juga menilai kegiatan Jalsah Salanah merupakan pertemuan tahunan untuk berdiskusi dan belajar bersama. Tidak ada kegiatan yang melanggar secara hukum dan tidak mengganggu kegiatan masyarakat lain.
Mereka juga menegaskan bahwa seharusnya negara hadir untuk melindungi kebebasan warganya, bukan sebaliknya. “Tindakan Pelarangan dan pembubaran merupakan tindakan yang mengangkangi dan mengkhianati tujuan negara yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”,” demikian pernyataan resmi YLBHI, Formassi Jawa Barat, LBH Bandung, dan Jakatarub.
Kecaman serupa juga datang dari Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI). Menurut MPH-PGI, pelarangan terhadap jemaat Ahmadiyah seharusnya tidak terjadi. Bahkan tidak patut dibenarkan bahwa yang menjadi pelaku pelarangan adalah pihak Forkopimda.
“Indonesia, sebagai bangsa yang menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan, sudah seharusnya menjamin kebebasan itu dapat terlaksana kepada semua masyarakat tanpa terkecuali,” terang MPH-PGI.
MPH-PGI juga menyayangkan sikap pemerintah yang abai terhadap hak-hak kebebasan warganya. “Pemerintah wajib memfasilitasi jalannya pertemuan Jalsah Salanah Jamaah Ahmadiyah Indonesia, bukan malah melarang pelaksanaan Jalsah Salanah dengan alasan keamanan dan ketertiban,” lanjut.
Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida melihat pelarangan terhadap acara Jalsah Salanah JAI sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan agama yang seharusnya dilindungi pemerintah.
“Harusnya negara melindungi jemaat Ahmadiyah saat melakukan ibadah, bukan malah menghentikan seperti dengan alasan menjaga ketertiban,” kata Nany, dalam siaran pers.
*Kawan-kawan yang baik, solakan tengok berita-berita yang ditulis Yopi Muharam, atau tentang Intoleransi