Asa di Masjid tak Berkubah Parakansalak
Kaum ahmadi Parakansalak, Sukabumi mengisi hari-hari mereka dengan aktivitas kemasyarakatan selain beribadah. Terkendala merenovasi masjid.
Penulis Yopi Muharam6 Desember 2024
BandungBergerak.id - Sebuah mobil Avanza hitam terparkir pararel di pelataran Masjid Bilal, Kota Sukabumi, Minggu, 29 September 2024. Di tembok berwarna merah bata dan oranye, tertulis ‘Love for All, Hatred for None’ tertampang besar; di bawahnya tulisan “Jemaat Ahmadiyah Sukabumi” ditulis lebih kecil.
Tidak seperti hari biasanya, banyak orang berdatangan dari luar daerah pusat kota ke masjid Bilal. Mereka adalah jemaat Ahmadiyah dari berbagai cabang di Sukabumi yang akan menggelar rapat rutinan setiap tiga bulan sekali di lantai dua sebuah perpustakaan. Mengingat tahun depan, akan diadakan milad Ahamadiyah Indonesia yang ke-100 tahun; kaum ahmadi kini sedang sibuk menyambut seabad miladnya.
Tidak sedikit pula, anak-anak berlarian di halaman masjid. Di lantai dua masjid Bilal, terdengar suara tek-tok bola ping-pong. “Para jemaat memang terbiasa bermain ping-pong di lantai dua majid,” ujar salah satu jemaat menyambut BandungBergerak, 29 September 2024, siang. Bahkan banyak masyarakat sekitar masjid sering bermain bersama jemaat juga.
Di sebuah tembok deretan perpustakaan, tertempel banner yang sudah usang dengan warna yang memudar termakan waktu. Banner ini menampilkan kegiatan rutin Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) cabang Sukabumi melakukan donor darah dan kornea mata.
Ketua Ahmadiyah cabang Parakansalak, Sukabumi, Asep Sapudin menerangkan kegiatan tersebut sudah menjadi program rutin yang dilakukan JAI Sukabumi per satu bulan sekali. Nantinya, kata Asep darah yang didonorkan akan diserahkan ke Palang Merah Indonesia (PMI) Sukabumi. Untuk kornea mata akan diserahkan ke Bank Mata Sukabumi.
“Itu harus ada persetujuan dari pendonor, nanti KTPnya dicatat sama kami,” ujar Asep, menerangkan terkait prosedur donor mata. Donor mata akan dilakukan ketika pendonor sudah meninggal dunia.
Jam di gawai menunjukkan pukul 14.00 wib. Selepas makan siang, Asep menaiki mobil Avanza tadi yang bersama rombongan lain hendak menengok jemaat sakit. “Bada ashar entar kita ketemu di Parakansalak, ya,” tuturnya, kepada BandungBergerak sebelum mobil berpelat F itu tancap gas meninggalkan masjid.
BandungBergerak sampai di kawasan kampung Parakansalak sekitar pukul 16.30 WIB dan langsung dijamu oleh salah satu jemaat. Hujan gerimis seketika membasahi perkampungan.
“Istirahat dulu di sini. Pak ketuanya (sebutan untuk Asep sebagai ketua cabang Parakansalak) masih di perjalanan, terjebak macet kayanya,” sambut Tatep Sirojudin, jemaat tersebut, bersama sang istri di rumah yang memanjang ke belakang.
Perjanalan dari masjid Bilal ke Parakansalak menempuh waktu sekitar satu jam setengah atau 32,5 kilometer. Dari jalan raya Sukaraja-Sukabumi, jalan menanjak dan rusak mesti dilalui saat hendak memasuki kawasan Parakansalak. Perbaikan jalan pun terlihat baru dilakukan 1/8 saja. Di sepanjang jalan pula, banyak warga meminta sumbangan untuk perbaikan jalan.
Untuk aksesnya pun sangat minim. Hanya ada satu angkot berwarna oranye jurusan Parungkuda-Parakansalak yang hilir-mudik di jalan terjal dan berbatu. Angkutan online seperti ojol, minim dijumpai di area sini. Hanya beberapa saja yang terlihat.
Hujan rintik pun mulai mereda. Semburat layung memayungi kampung Parakansalak. Tatep mengabari, Pak Ketua -begitu Tatep memanggil Asep- sudah sampai di rumah setelah melewati kemacetan. Azan magrib bersambut setelah Tatep mengabari Pak Ketua akan menemui BandungBergerak selepas isya.
Selepas azan maghrib berkumandang, Tatep mengantar BandungBergerak menuju Masjid Al Furqon, satu-satunya masjid dimiliki jemaat Ahmadiyah Parakansalak. Bangunannya lebih mirip gudang tua tak terurus daripada masjid. Catnya memudar. Keramik bolong. Tidak ada jendela. Bahkan kubah.
Di sebuah rumah seberang masjid, seorang pria paruh baya berdiri. Pria itu adalah Suryatna (69 tahun). Yatna adalah jemaat yang bertugas sebagai sekretaris ummur ammah yang tugasnya menyambut tamu dari luar.
Selain itu, Yatna juga bertugas sebagai penjaga masjid. Dengan wajah semringah ia langsung mengeluarkan kunci dan membuka pintu rumah yang akan ditinggali BandungBergerak empat hari ke depan. Rumah itu katanya tempat tinggal para mubaligh – istilah yang mengacu pada orang yang menyebarkan ajaran Ahmadiyah.
Di dalam, Yatna menerangkan sejumlah fasilitas rumah. Seperti menunjukkan saklar lampu, toilet, hingga dapur yang bisa digunakan. “Biasanya rumah ini digunakan para mubaligh untuk nginep di Parakansalak,” jelasnya, sembari menunjukkan kamar tidur dengan kasur yang luas.
Di luar, sayup-sayup terdengar suara langkah orang yang hendak salat di masjid. Yatna berpamitan setelah dirasa cukup menerangkan sejumlah fasilitas rumah untuk langsung menuju ke arah masjid. “Kalau mau wudu di toilet sini aja, ya. Di masjid enggak ada tempat wudu soalnya,” ujarnya, melangkah keluar.
Di dalam masjid berukuran 13x14 meter persegi sudah berkumpul para jemaat. Terhitung ada belasan orang termasuk dewasa, remaja, dan anak-anak yang bersiap akan melaksanakan salat berjamaah.
Selepas salat maghrib, sejumlah jemaat langsung meninggalkan masjid. Beberapa orang masih menetap untuk bercengkerama menunggu isya. Ada empat anak kecil dan dua remaja langsung mengarah ke sebuah rak di pojokan masjid. Mereka akan melakukan kegiatan rutin membaca al Quran.
Dua orang jemaat mengobrol dengan BandungBergerak. Dua orang lainnya tengah tiduran di shaf kedua setelah imam. Asep Saepuloh, salah satu jemaat sekaligus adik ipar dari ketua cabang Parakansalak Asep Saepudin bercerita, kenapa masjid ini terlihat seperti gudang tidak terurus.
Tragedi 27 April 2008
Di masjid yang lenggang itu, Asep Saepudin mengorek ingatannya 16 tahun lalu. Tepatnya pada Minggu malam Senin, 27 April 2008. Saat itu Masjid Al Furqon masih memiliki kubah. Bapak-bapak JAI Parakansalak melaksanakan kegiatan rutin mengaji. Tidak pernah terpikirkan di benak Asep malam itu akan jadi malam panjang penuh ketegangan dan berakhir menyedihkan.
Azan isya berkumandang. Para jemaat langsung melaksanakan salat sunnah qobla. Ada pula beberapa jemaah yang baru datang, air wudu masih menetes dari wajah mereka.
Pak ketua Asep Saepudin menjadi imam. Mereka belum menyadari salat tersebut akan menjadi yang terakhir di masjid berkubah. Sedangkan di luar sana, aparat kepolisian mulai berdatangan, namun tidak banyak.
Lamat-lamat tersiar kabar bakal ada sekelompok massa yang akan berdatangan ke masjid. Para jemaat sudah dikerubungi kecemasan. Pada pukul 21.00 WIB, Asep pulang terlebih dahulu. Asep akan mengecek kondisi keluarganya. Anaknya yang bungsu sedang sakit. Saat itu usianya baru menginjak dua tahum. Asep khawatir. Kecemasan Asep terbagi menjadi dua.
Setibanya di rumah, setelah memastikan kondisi anaknya baik-baik saja, tidak lama, Asep kembali menuju masjid. Untuk jalur menuju ke masjid, Asep memilih jalan alternatif lain. Lewat gang sempit. Jalan saat itu, ujar Asep sangat gelap. Kesepian menyelimuti sepanjang jalan. Warga menutupkan rapat-rapat pintu rumahnya.
Sementara, di jalan utama, massa sudah kelihatan ujung hidungnya. Suaranya sangat riuh memecah keheningan. Diperkirakan menurut Asep ada sekitar 400an orang. Mereka menaiki sejumlah mobil bak terbuka, truk, hingga angkutan umum (angkot).
“Karena agak riuh juga, makanya saya jalan pinggir,” ujarnya. Pemilihan jalan itu juga merupakan saran dari rekannya yang masih berada di masjid untuk menghindari risiko yang akan terjadi.
Sesampainya di area masjid. Rasa mencekam makin terasa. Dari arah atas belakang masjid atau di area perkebunan suara sorak-sorai massa kian terdengar. Suit.. suittt.. terdengar beberapa kali. Entah kode untuk siapa, tapi suaranya cukup mengganggu. Sedangkan dari arah pagar masjid yang berjarak 20 meteran dari masjid, satu dua massa mengecek keadaan masjid. Nampaknya mereka merasa ragu untuk masuk ke area masjid.
Di sisi lain para jemaat berkumpul di sekitaran masjid. Pintu masjid telah ditutup dan lampu sudah dimatikan. Jemaat hanya mengawasi tidak jauh dari area masjid. Para pemuda jemaat tampaknya sudah bersiap untuk menghalau massa jika terjadi sesuatu.
Asep dan para bapak telah mewanti-wanti pemuda agar tidak melakukan tindakan implusif. Ada sekitar 40an jemaat di lingkungan masjid. Mereka mulai mundur menjauh dan berkumpul di samping rumah mubaligh. Seketika juga, massa yang sudah terlihat tak sabaran segera merangsek ke area masjid. Kali ini jumlahnya puluhan.
Rekan Asep, Gunawan Wardi berkoordinasi dengan ketua cabang, Asep Saepudin, melalui telepon. Dia dan dua orang lainnya yaitu Iwan dan Harun ditugaskan untuk membuka ruang neogisasi dengan massa. Gunawan menyanggupi arahan ketua.
Sekitar pukul 23.00 WIB ketiga neogisator itu berjalan di tengah gelap gulita melewati pekarangan masjid mengampiri massa yang sudah masuk melewati pagar. Gunawan membuka obrolan dengan muspika. “Ada apa ini, pak?” Gunawan membuka obrolan.
Di sana sudah berkumpul Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) Parakansalak bersama massa. Muspika adalah gabungan dari camat, polsek, dan koramil yang bertugas untuk membuka musyawarah antarwarga. Awalnya muspika meminta papan nama harus diturunkan. “Itu permintaan dari massa,” katanya.
Tidak ingin bertindak gegabah, di tangannya masih menggenggam ponsel yang terhubung dengan ketua cabang Asep Saepudin. “Ya, silakan turunkan,” ujar Asep kepada Gunawan. Asep juga meminta muspika sendiri yang menurunkan. Namun muspika enggan menurunkan papan nama itu.
Setelah berdebat panjang, akhirnya Gunawan menurunkan papan nama. Itu pun atas perintah dari Asep. Gunawan menuruti lantaran dijanjikan bahwa massa akan dipukul mundur setelah menurunkan papan nama.
Namun, permasalahan tidak berhenti di situ saja. Massa melalui muspika mendesak JAI Parakansalak menghentikan seluruh kegiatan. Gunawan tak paham maksud desakan itu mengingat kegiatan JAI adalah salat dan zikir. Bagi Gunawan jemaat hanya melaksanakan kewajiban sebagaimana rukun yang sudah diperintahkan agama Islam. Akan tetapi, massa keukeuh agar JAI Parakansalak menghentikan seluruh kegiatan. Atas arahan ketua pula, Gunawan akhirnya menyanggupi.
Maka kesepatakan harusnya berakhir pikir Gunawan. Maka dari itu Gunawan, Iwan, dan Harun pun segera meningalkan massa. Mereka kembali masuk barisan jemaat di pinggir rumah mubaligh. Alasannya? Karena dirasa sudah memenuhi permintaan massa.
Malam Mencekam
Di saat yang sama, Ketua JAI Cabang Parakansalak Asep Saepudin yang pulang dari masjid sehabis isya, sama seperti jemaat lainnya tidak menduga jika masjidnya akan diserang. Di dalam rumah ada istri dan anak bungsunya yang sedang libur sekolah.
Kabar tak mengenakkan akhirnya sampai ke telinga mantan ketua RW tersebut sekitar pukul 21.00 WIB. Dia dikabari jemaat bahwa banyak massa di Jalan Parakansalak.
Dengan wajah cemas, dia berkoordinasi dengan jemaat yang berada di sekitaran masjid melalui telpon seluler, termasuk dengan Asep Saepuloh. Setiap gerak massa terus dilaporkan jemaat kepada Asep. Jemaat selalu siap menuruti perintah dari pensiunan dapartemen agama itu.
Selepas penurunan papan nama organisasi, pihak muspika berjalan ke rumah Asep. Jaraknya sekitar 50 meteran dari masjid. Di rumahnya yang lenggang itu, terdengar suara ketukan pintu. Istri Asep mengecek lewat hordeng yang menutupi jendela. “pak camat,” kata istrinya memberi tahu pria yang mengetuk pintu rumah Asep.
Di luar sana, rombongan muspika dipersilakan masuk ke ruang tamu. Asep masih dihantui rasa was-was.
“Ada apa lagi pak camat?” tanya Asep membuka obrolan.
“Gini Pak Asep masyarakat akan menyegel masjid,” jawab singkat kepala kecamatan.
“Pak urusan menyegel tidak susah, cuma mau aturan mana yang dipake? Ini kan massa yang mau nyegel. Emang massa punya hak untuk menyegel itu?” Asep lanjut bertanya kepada kepala kecamatan.
Belum sempat menjawab pertanyaan Asep, suara dering telpon bergetar dari ponsel kepala kecamatan. “Pak camat-pak camat, massa merusak masjid,” deru suara panggilan itu. “Des, massa suruh mundur,” perintah kepala kecamatan kepada si penelepon. Asep menduga Des itu adalah kepala desa.
Tak berlangsung lama muspika langsung keluar terburu-buru tanpa berpamitan. Istri Asep segera menutup dan mengunci pintu. Hordeng ditutup rapat-rapat. Di saat itu juga, Asep menerima telpon dari jemaat. Mereka mengabari bahwa masjid sudah dibakar. Sedangkan para jemaat sebenarnya siap untuk menghalau massa. Namun Asep melarangnnya.
“Terus gimana, pak ketua?”
“Mundur kata saya 50 meter dari lokasi. Biarkan mereka membakar masjid. Jangan ada yang melakukan perlawanan. Mundur 50 meter,” ujar Asep memerintahkan para jemaat untuk mundur.
Sementara, Asep Saepuloh, Gunawan, dan 40an jemaat lainnya mundur ke salah satu rumah jemaat yang tidak jauh di sekitar masjid. Mereka naik ke lantai dua rumah jemaat. Di sana mereka menyaksikan langsung masjid mulai dihancurkan.
Suara riuhnya hingga memecah suara keheningan kampung Parakansalak. Sorak-sorai hingga takbir terus menggema. Dari kejauhan para jemaat mulai melihat percikan api. Massa merangsek gedung madrasah yang berada di depan masjid untuk diambil bangku-bangkunya lalu dibakar.
Tepat tengah malam, draakkk... suara kubah masjid ambruk. Di mata Asep, Gunawan, dan puluhan jemaat lainnya nampak memantulkan warna merah. Asap pekat mengepul ke atas. Hawa dingin Parakansalak seketika berubah jadi panas.
Di sisi lain, sejumlah massa mulai berdatangan ke rumah ketua jemaat, Asep Saepudin. Mereka meneror Asep dengan alat semacam tongkat yang diseret sepanjang aspal. Suaranya membuat linu di telinga. Di sisi lain, massa memukul-mukul dan menyeret tongkat itu ke pagar Asep. Trekk... trekk...
“Saya bilang ke istri saya, ‘wah malam ini rumah bakal dirusak’,” ujarnya. “Istri saya ngomong ‘bapak ke belakang. Siapa tahu mereka mau masuk ke rumah. Kalau nanti ada apa-apa jadi tinggal lari lewat belakang’ saya ke belakang,” lanjutnya bercerita.
Saat Asep berlindung ke belakang rumah, istri Asep dan anaknya yang baru duduk di sekolah menengah tetap mengawasi. Diintiplah massa lewat hordeng. Menurut kesaksian istrinya, massa tidak ada yang terlihat mukanya. “Mereka pake kain penutup muka ada yang pake sorban juga,” terang Asep menurut kesaksian istrinya.
Tidak berselang lama, massa mulai mundur menjauh dari rumah Asep. Sebelumnya mereka memanggil-manggil ketua cabang Parakansalak itu. Namun Asep sukar untuk menjawab. Percuma ujar Asep, emosi massa sedang tidak terkontrol. Sulit untuk diajak musyawarah. Toh masjid sudah dibakar juga.
Kebakaran masjid itu diiringi suara takbir. Massa seakan telah berhasil merebut teritorial musuh. Sedangkan para jemaat pasrah melihat masjid yang dibangun secara swadaya itu dihancurkan semalam saja. Ada perbedaan yang sangat kontras malam itu.
Malam itu api terus berkobar. Menjelang subuh massa mulai bubar secara mandiri. Azan subuh berkumandang. Sementara pemadam datang terlambat selepas ayam berkokok. Masjid sudah habis terbakar. Api melahap seisi masjid termasuk Al Quran, buku, arsip, karpet, hingga perabotan memasak. Subuh ini jemaat tidak bisa melaksanakan salat berjamaah di masjid. Masjid itu kini telah menjadi bongkahan. Yang tersisa hanya tembok saja. Jemaat sedih bukan main.
Pagi harinya, sekitar pukul 7 pagi, Asep mendatangi masjid yang sudah menjadi puing-puing. Di sana sudah berkumpula warga, aparatur camat hingga desa, Satpol PP, dan pemadam kebakaran yang baru menyelesaikan tugasnya.
Barulah permintaan massa semalam untuk menyegel masjid dilakukan. Garis kuning bertuliskan ‘dilarang masuk’ sudah tertempel mengelilingi puing-puing masjid. Muspika menyegel masjid yang telah porak poranda!
Sepucuk Surat Ancaman
Dua hari sebelum pembakaran masjid, Jumat siang, 25 April 2008, terhelat sebuah acara yang dinamakan istigosah di sebuah masjid berjarak 250 meter dari lokasi masjid Al Furqon. Di masjid jami itu, sekitar puluhan massa melakukan musyawarah setelah salat Jumat terkait kegiatan Ahmadiyah di Parakansalak.
Kegiatan itu bertemakan “Melalui Istighosah, Kita Perkuat Ukhuwah Islamiyah untuk Mengembalikan Jemaat Ahmadiyah Kepada Aqidah yang Benar”. Tidak hanya itu, mereka mendesak agar Ahmadiyah dibubarkan.
Asep Saepudin selaku ketua JAI cabang Ahmadiyah dipanggil muspika ke kantor kecamatan. Tujuannya antara lain ialah untuk menyampaikan isi istigosah tersebut. Dalam memenuhi panggilan muspika, Asep tidak sendiri. Selepas salat mahrib, dirinya dan dua orang pengurus yang menjabat sebagai sekretaris yang berurusan dengan pihak luar atau Umur Karijiyyah datang memenuhi panggilan itu.
Sesampainya di sana, di ruangan yang cukup luas dan lenggang sudah berkumpul anggota muspika. “Pak saya dipanggil ini ada apa?” Asep bertanya.
Namun anggota muspika saling lempar untuk menjawab pertanyaan Asep. Asep tertawa kecil. Tidak satu pun dari mereka yang menjelaskan secara detail maksud dan tujuan pemanggilan Asep. Asep hanya disodorkan berkas yang disebut berita acara yang dibungkus map. Ada 10an lembar kertas berukuran A4 yang berisi tuntutan hasil istigosah dan ditandatangani massa berjumlah 44 orang.
Dalam keterangannya massa yang menandatangi surat tersebut mengatasnamakan berbagai organisasi keagamaan dan intansi. Ada limat poin di dalamnya untuk menuntut JAI Parakansalak. Adapun lima poin yang ditujukan kepada jemaat, ialah:
- Mengajak [Jemaat Ahmadiyah] untuk kembali kepada ajaran Islam;
- Menghentikan segala aktivitas ibadah di tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (dengan melakukan penutupan sarana ibadah);
- Melakukan taubat terbuka di hadapan para ulama di wilayah Parakansalak;
- Sebagai bukti taubat atau kembali kepada ajaran Islam dan penghentian aktivitas di tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia maka dalam melaksanakan Ibadah berbaur kembali dengan umat Islam di parakansalak (tidak melakukan ibadah tersendiri);
- Menurunkan setiap papan nama yang berlabel Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Asep membacanya dengan tekun. Ada hal yang menggelitik bagi Asep saat membaca poin tuntutan nomer satu. “Tapi memang kalau itu suatu tuntutan, kami akan berusaha mengikuti,” ujar Asep.
Bukan hanya di poin satu saja yang menggelitik. Ada yang parah dari itu, di kutipan terakhir surat tersebut tertulis pesan dengan nada ancaman: “Apabila dalam kurun waktu dua hari (2 x 24 jam) tidak mengindahkan himbauan ini, maka kami tidak bertanggungjawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan”. Asep tercengang membacanya.
Bukan tanpa alasan, menurutnya pihaknya belum pernah bertemu untuk berkomunikasi secara langsung dengan massa. “Ngobrol juga enggak, ketemu juga enggak. Tiba-tiba seperti itu,” tutur Asep terheran-heran.
Lalu dia mendesak ke pihak kepolisian yang berada di sana terkait surat bernada ancaman itu. Tetapi Asep tidak mendapatkan jawaban pasti.
Dalam surat itu massa mendesak agar Asep menyetujui permintaan massa. Di bawah surat tersebut sudah tersedia kolom tanda tangan. Artinya jika Asep menyetujui, maka dirinya harus menandatanginya.
Tetapi Asep tak ingin gegabah dengan langsung menandatanginya. Dia harus terlebih dahulu memusyawarahkannya dengan anggota jemaat. Terkhusus jemaat pusat Sukabumi. Lantaran waktu yang diberikan singkat hanya 2 x 24 jam, mana sempat dirinya harus berkoordinasi langsung dengan pengurus pusat.
Setelah membaca dan mengobrol dengan pihak muspika, Asep segera bergegas pulang untuk bermusyawarah dengan pengurus. Asep kemudian menandatangi surat tersebut dengan persetujuan pengurus yang lain. “Kita menandatangani tuntutan itu supaya mereka redalah,” ungkapnya.
Di samping itu, Asep juga bermaksud mengirim surat balasan untuk massa yang intinya menyatakan: “Kami ini bagian dari jemaat Ahmadiyah Indonesia, dan untuk menjawab tuntutan ini kami harus ada rekomendasi dari pusat”.
Esok harinya, Sabtu 26 April 2008, Asep mendatangi kantor kecamatan dengan maksud mengirimkan surat yang baru diambilnya pada Jumat malam. Namun sesampainya di kantor, dia menemui gedung itu tutup. Maklum Sabtu-Minggu jadwal libur pekerja ASN.
Asep mengungkapkan seharusnya dengan keadaan mendesak itu pihak kecamatan tanggap. Sebab ini mempertaruhkan keselamatan jemaat. “Pas mau dikasihkan, kan hari Sabtu dan Minggu, hari libur. Walaupun udah didatangi kan, merekanya tidak ada,” keluhnya.
Dia langsung menelpon kepala kecamatan, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang jelas. Asep tak patah arang, dia berusaha menghubungi muspika lainnya. Hasilnya tetap nihil. Padahal ia telah berusaha merespons desakan massa dalam tempo 2 x 24 jam.
Entah bakal ada kejadian apa yang akan menimpa jemaat jika surat tersebut belum dikirim ke pihak muspika. “Tapi saya berpikir enggak mungkin lah kalau umat Islam melakukan persekusi,” pikirnya berperasangka baik.
Mengutip dari majalah Tempo, pascapembakaran masjid terjadi, polisi menemukan botol bekas minuman suplemen bersumbu. Akan tatapi polisi menampik bahwa botol itu digunakan sebagai alat penyulut kebakaran. “Itu lampu minyak untuk berjaga-jaga jika listrik padam,” ujar Kepala Polisi Resor Kabupaten Sukabumi, Ajun Komisaris Besar, Guntor Gaffar.
Saksi mata dari jemaat juga menduga bahwa pelaku pembakaran masjid berasal dari luar daerah Desa Parakansalak. Sebagian besar massa menaiki mobil milik Kepala Desa Bojongasih Heri. “Benar, itu pikap saya,” ungkap Heri. Akan tetapi Heri menyangkal sebagai provokasi pembakaran. Dia menegaskan bahwa dirinya hanya memfasilitasi warganya yang hendak menegakkan akidah. “Itu tanggung jawab saya kepada warga,” terangnya.
Atas persitiwa tersebut, Polisi menahan sedikitnya 10 orang pelaku pembakaran masjid, termasuk Heri. Dari ke-10 orang itu, hanya satu orang yang berasal dari Parakansalak.
Di sisi lain, kepala Desa Prakansalak, Yayat Supriyatna mengatakan bahwa Ahmadiyah berbaur dan aktif dalam kegiatan masyarakat. Mereka bertetangga baik dengan masyarakat lainnya di desa seluas 2.000 hektar. Yayat juga menyayangkan masyarakat di desanya tersulut amarah. “Kami menyesal,” jelas Yayat.
Baca Juga: Jemaat Tanpa Masjid, Nestapa Warga Ahmadiyah di Nyalindung dalam Belenggu Penyegelan
Membincangkan Ahmadiyah untuk Menumbuhkan Empati dan Mematahkan Bias
Penyegelan Masjid Ahmadiyah Garut Menambah Catatan Panjang Praktik Diskriminasi oleh Aktor Negara
Rentetan Diskriminasi Setelah Masjid Dibakar
Sekitar dua minggu pascapembakaran Masjid Al Furqan atau pada 9 Juni 2008, sebuah diskriminasi menimpa jemaat Ahmadiyah cabang Sukabumi. Diskriminasi ini diawali Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang dibuat oleh: Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Keputusan bersama dengan nomor 3 Tahun 2008/KEP-033/A/JA/2006/199 Tahun 2008 tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat ini menetapkan tujuh poin peringatan dan perintah. Intinya dalam SKB yang menetapkan tujuh poin tersebut berisi tentang larangan jemaat untuk menyebarkan pemahaman Ahmadiyah.
Sehari setelah terbitnya SKB 3 menteri, orang-orang yang tidak suka Ahmadiyah menempelkan stiker betuliskan ‘Keluarga Besar Muslim Ahli Sunnah waljamaah Non Ahmadiyah’ di sejumlah rumah-rumah di Parakansalak.
Tiga hari berikutnya, pada jumat, 13 Juni 2008 kira-kira bada ashar, wartawan dari Belanda menemui Asep untuk meliput pascapembakaran masjid. Asep pun dimaki-maki oleh perangkat desa karena dianggap mengundang wartawan asal Belanda.
Hari Kamisnya, tanggal 26 Juni 2008, sebanyak tujuh orang ahmadi dari cabang Lebaksari akan melaksanakan tobat di masjid Nurul Huda Parakansalak. Dari ketujuh orang, hanya satu yang datang untuk melaksanakan pertobatan. Acara itu disaksikan langsung oleh MUI Parakansalak dan Muspika kecamatan Parakansalak. Pertobatan mereka ialah karena imbas dari SKB tiga menteri.
Hari Minggu, 29 Juni 2008 tersebar sebuah pesan berantai melalui SMS dari anggota Jemaat Lebaksari bahwa sekelompok orang bergeriliya mencari dukungan berupa tanda tangan yang tujuannya untuk mengintimidasi 12 jemaat yang bekerja sebagai PNS. Intinya mereka meminta dukungan agar ke-12 jemaat tersebut dimutasi.
Di hari yang sama juga, tiga anggota keluarga jemaat Parakansalak menghadiri acara pertobatan untuk keluar dari Ahmadiyah. Mereka harus menandatagani sebuah surat pernyataan yang ditempel materai 6.000 rupiah. Dari tiga anggota keluarga tersebut, hanya satu ibu yang enggan ikut menandatangani surat.
Menanggapi resolusi untuk memutasi jemaat Parakansalak yang PNS, pada tanggal 3 Juli 2008, 12 ahmadi yang terdiri dari tenanga pengajar delapan orang, pengjaga SD tiga orang, dan staf kantor dinas satu orang, terancam dimutasi dipanggil kepala dinas dan pengawas. Pemanggilan tersebut hanya berlangsung selama satu jam, dari pukul 11.00 hingga 12.00. Kepala dinas dan pengawas memutuskan untuk tidak memutasi PNS ahmadi.
Hal mengejutkan juga menimpa dua orang ibu ahmadi yang bekerja sebagai kader Posyandu RW 02 Parakansalak. Mereka adalah Anon Srinawati dan Titin Sri Rosmiati. Pada Senin 7 Juli 2008 keduanya secara bersamaan dinonaktifkan sebagai kader posyandu. Tersiar kabar juga agar orang tua tidak membawa anak-anaknya ke posyandu. Hal ini ditanggapi oleh petugas puskesmas posyandu dengan menegaskan untuk tidak menyangkut pautkan antara pekerjaan dan keyakinan.
Pada tahun 2016 Asep dan jemaat berencana akan merenovasi masjid yang sudah lama terbengkalai. Namun niatnya itu terhalang. Baru saja merenovasi bagian tembok, sudah datang surat dari Satpol PP untuk menghentikan rencana renovasi tersebut. Akhirnya renovasi diurungkan.
Belum lama ini, tepatnya bulan Agustus, jemaat melakukan penjualan sembako murah untuk para warga di Parakansalak. Lagi-lagi pembagian sembako dilarang. Katanya takut membuat kerusuhan kembali terjadi, miskipun penjualan sembako ini akhirnya jalan secara diam-diam.
“Hanya beberapa jam saja, sembako udah habis dibeli warga,” ucap Asep. “Tapi ya penjualannya agak sembunyi-sembunyi.”
Di tempat terpisah, pegiat lintas iman Wawan Gunawan (44 tahun) mengungkapkan, pembakaran masjid di Parakansalak merupakan buntut dari penyerangan terhadap jemaat ahmadi di Parung, Kabupaten Bogor. Wawan menyebut kedua penyerangan tersebut sebagai tragedi sekaligus keanehan. Sebab penyerangan terjadi karena melihat perbedaan ajaran dari agama mayoritas.
Lebih dari itu, mantan koordinator Jaringan Antar Umat Beragama (Jakatarub) itu menduga peristiwa tersebut terjadi karena kelalaian pemerintah dalam melindungi masyarakatnya. “Jadi menurut saya negara gagal dalam melindungi warga negaranya dan itu tidak hanya kasus Ahmadiyah Parakansalak saja, tapi di kasus ahmadi lainnya juga,” ujarnya, Selasa 28 Oktober 2024.
Dia juga melihat adanya narasi yang digaungkan oleh pemuka agama terhadap jemaat. Bahwa para jemaat ahmadi dinilai sesat. Bahkan, Wawan juga melihat ada intrik politik di dalamnya. Ditambah adanya narasi kebijakan yang dikeluarkan oleh MUI yang menyudutkan kaum ahmadi.
Wawan mengingatkan bahwa sebagai negara yang menganut paham demokrasi, seharunya minoritas dapat dilindungi oleh negara. “Makanya saya katakan lagi pra-syarat demokrasi itu harus melindungi minoritas, melindungi yang umum itu wajar tapi melindungi yang minoritas akan berisiko,” tutupnya.
Demokrasi memang masih menjadi tanda tanya di negeri ini. Perlindungan terhadap warga minoritas seakan barang mahal, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan beragama berkeyakinan. Mengutip dari laman Setara Institute, sepanjang tahun 2023 di Indonesia jumlah pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan tertinggi diduduki oleh Provinsi Jawa Barat dengan 47 pelanggaran. Hal tersebut menggeser Provinsi Jawa Timur yang pada tahun 2022 menduduki peringkat pertama.
Sementara itu, untuk Jawa Timur ada 29 peristiwa, DKI Jakarta 19 peristiwa, Sumatera Utara 17 peristiwa, Jawa Tengah dengan 14 peristiwa, dan Sulawesi Selatan dengan 11 peristiwa.
Data pelanggaran tersebut dialami oleh enam korban dari berbagai aliran kepercayaan. Umat Kristen dan Katolik menduduki peringkat pertama sebagai korban (54 peristiwa), individu (26 peristiwa), warga (25 peristiwa), pengusaha (23 peristiwa), Jemaat Ahmadiyah Indonesia (6 peristiwa), dan Muhammadiyah (10 peristiwa).
Enam tindakan pelanggaran KBB terbanyak yang dilakukan oleh aktor nonnegara mencakup intoleransi (26 tindakan), penolakan tempat ibadah yang existing (18 tindakan), penyesatan (17 tindakan), penolakan pendirian tempat ibadah (14 tindakan), pelarangan ibadah (11 tindakan), dan pelaporan penodaan agama (10 tindakan).
*Kawan-kawan yang baik, solakan tengok berita-berita yang ditulis Yopi Muharam, atau tentang Intoleransi