Membincangkan Ahmadiyah untuk Menumbuhkan Empati dan Mematahkan Bias
Diskusi The Journey of Faith merupakan kelas keberagaman agama dan kepercayaan di Bandung. Sebagai upaya memupuk toleransi lintasiman.
Penulis Awla Rajul6 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Mengenal perbedaan untuk menimbulkan rasa saling menghargai dan berempati perlu diasah. Kesadaran ini salah satunya diupayakan melalui kegiatan The Journey of Faith dengan topik Mengenal Lebih Jauh Islam Ahmadiyah yang diselenggarakan Sekolah Damai (Sekodi) Bandung dengan dukungan Yayasan Inklusif.
Kelas keberagaman agama dan kepercayaan dilaksanakan di Masjid Mubarak, Bandung dengan narasumber diisi oleh Ketua Cabang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Bandung Tengah Denny M. Rizkyana, difasilitasi oleh Putri Nabila dari Sekodi Bandung, Sabtu, 3 Agustus 2024. Sedikitnya 20 peserta ikut meramaikan kegiatan ini.
Denny M. Riskyana, mengawali pemaparannya dengan menjabarkan persamaan dan perbedaan Ahmadiyah dengan jamaah Islam yang lain. Seperti kelompok Islam lainnya, Ahmadiyah meyakini rukun Iman dan rukun Islam yang sama dengan jamaah lain. Ahmadiyah juga mengucapkan syahadat yang sama. Hanya saja untuk masuk ke Ahmadiyah, selain membaca syahadat juga disyaratkan membaca 10 syarat baiat.
Adapun perbedaan yang paling kentara antara Ahmadiyah dengan jamaat lainnya, Ahmadiyah meyakini bahwa dajal sudah ada, meyakini Nabi Isa dan Imam Mahdi sudah turun, serta melanjutkan kekhalifahan. Ahmadiyah meyakini Imam Mahdi mewujud pada pendiri Ahmadiyah, yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
“Kami sudah mengakui wujud dari imam mahdi dan nabi isa yang dijanjikan. Sedangkan umat Islam lain masih menunggu-nunggu kedatangannya,” terang Denny dalam pemaparannya.
Dajal menurut Ahmadiyah adalah kiasan. Seperti gambaran dajal yang dipercayai adalah monster raksasa bermata satu yang mengendarai kendaraan berupa kedelai bersayap yang mengeluarkan api. Ini merupakan kiasan yang maknanya sebenarnya sudah terjadi. Bermata satu dimaknai bahwa dajal hanya memiliki pandangan duniawi. Kedelai bersayap yang mengeluarkan api dimaknai sebagai pesawat tempur.
Saat ini, Ahmadiyah dipimpin oleh khalifah kelima yaitu Hazrat Mirza Masroor Ahmad. Kekhalifahan adalah salah satu misi Ahmadiyah yang ingin menyatukan Islam dalam satu kekhalifahan. Namun, kekhalifahan ini bukan berarti kepemimpinan politik atau pemerintahan, melainkan pemimpin spiritual dan keagamaan.
Denny melanjutkan, keyakinan Ahmadiyah tentang kekhalifahan ini berdasarkan nubuwat bahwasanya akan ada penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad. Pemilihan khalifah dilakukan setelah khalifah meninggal dengan mengumpulkan setiap utusan dari setiap negara ke London, Inggris untuk melakukan pemilihan dengan jalan demokratis.
“Begitu juga dengan Ahmadiyah. Jadi setelah khalifah meninggal, dipilihlah perwakilan dari berbagai negara, kalau dulu kan Rasulullah masih di Madinah. Jadi utusan dari setiap negara datang ke Inggris untuk memilih pengganti Khalifah sebelum dikuburkan,” tambahnya dengan memberikan penegasan, khalifah merupakan pemimpin rohani yang menginginkan umatnya lebih baik, mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan bermanfaat untuk sesama.
Ahmadiyah merupakan organisasi rohani global yang sudah ada di 227 negara dunia, pusatnya kini berada di London. Salah satu hal besar yang dilakukan Ahmadiyah adalah menyebarkan Al Quran dengan menerjemahkannya ke dalam 77 bahasa dunia. Selain itu, Ahmadiyah memandang jihad di zaman ini tidak relevan lagi dengan jalur pedang.
Makanya, misi besar yang dilakukan Ahmadiyah adalah love for all, hatred for none. Ahmadiyah mengedepankan perdamaian, dialog antaragama, dan cinta kasih, bertujuan memperbaiki pendidikan dan mengentaskan kemiskinan di dunia. Ahmadiyah dalam setiap gerakannya juga mengutamakan kemanusiaan. Denny menegaskan, dalam hal gerakan kemanusiaan, Ahmadiyah biasanya melakukan gerakan tanpa membawa embel-embel keagamaan.
Denny tidak memungkiri, terbatasnya ruang gerak Ahmadiyah dalam berkegiatan disebabkan adanya regulasi yang mendiskriminasi, di antaranya SKB dan Pergub Jabar. Ia juga menyayangkan, regulasi itu pula yang kerap menjadi senjata kelompok yang berseberangan untuk “mengganggu”. Ahmadiyah bahkan sering kali menjadi kambing hitam untuk mendulang popularitas menjelang pemilu.
“Tapi kami taat aja sama negara. JAI adalah ormas yang punya legalitas berbadan hukum yang disahkan oleh Kemenkumham,” ungkap Denny. “Kami lihat dari pemerintah belum ada keinginan ke sana (menghapus regulasi). Makanya kami (harus terus) optimis, semoga suatu hari pemerintah dan masyarakat akan berubah pikiran,” harapnya.
Baca Juga: Jemaat Tanpa Masjid, Nestapa Warga Ahmadiyah di Nyalindung dalam Belenggu Penyegelan
CERITA VISUAL: Deretan Kasus Penyegelan Masjid-masjid Ahmadiyah di Jawa Barat dalam 10 Tahun Terakhir
Penyegelan Masjid Ahmadiyah Garut Menambah Catatan Panjang Praktik Diskriminasi oleh Aktor Negara
Menumbuhkan Empati
Koordinator regional Sekodi Bandung Fanny Syariful Alam menjelaskan, kegiatan The Journey of Interfaith pada bulan Agustus ini cukup spesial. Sebab ini merupakan program pertama kalinya bagi Sekodi Bandung yang didukung oleh Yayasan Inklusif. Fanny menyebutkan, sebelumnya setiap kegiatan Sekodi selalu dilakukan dengan sumber sumber daya mandiri yang dimiliki.
“Goalsnya itu adalah menumbuhkan kesadaran teman-teman muda di Bandung bahwa perbedaan itu ada. Kami juga ingin belajar bareng-bareng supaya kita bisa respek, supaya dari respek itu ke toleransi. Toleransi kan cabangnya ada dua, ada yang tidak beraksi dan beraksi. Toleransi yang beraksi itu (tujuannya), dari situ kita bisa terlihat bahwa orang ini sudah punya empati,” jelasnya setelah kegiatan berlangsung.
Fanny menjelaskan dalam rangkaian program Sekodi-Inklusif sepanjang Agustus ini, akan ada empat kelas, yang pertama yang sudah dilakukan membahas Ahmadiyah. Beberapa pekan selanjutkan akan membahas mengenai Kristen, Buddha, dan Penghayat Kepercayaan Budi Daya. Kegiatan akan rutin digelar setiap Sabtu dengan kuota peserta sebanyak 20 orang.
“Kalau untuk yang Ahmadiyah kami spesialkan, dalam artian, kita ingin memitigasi risiko. Karena kalau jor-joran publikasi, ngomongin Ahmadiyah, bukan kami mau memarjinalisasikan dari publik, tidak, tapi kami khawatir dengan adanya kejadian penolakan asyura di Kopo, itu sudah ada izin, aparat ada di sana, tetap aja bisa diserang. Kami ingin memitigasi risiko itu,” terangnya mewanti-wanti.
Pria ini menerangkan, kurikulum pendidikan toleransi ini sudah dilaksanakan Sekodi sejak 2018. Dalam empat bulan kurikulum, ada tiga materi utama yang akan dibahas. Bulan pertama membahas mengenai agama dan konflik, bulan kedua soal gender dan seksualitas, dan bulan ketiga soal politik dan demokrasi. Sedangkan bulan keempat temanya bebas, kadang membahas soal kelompok minoritas, seperti disabilitas dan lansia ataupun kelas-kelas kemampuan seperti bahasa Inggris dan belajar menulis.
Salah seorang peserta kegiatan, Yohanes Chrissanto mengaku memang tertarik mempelajari agama-agama dan keragamannya. Ia menilai, Sekodi, tidak hanya memberikan ruang, tetapi ruang yang aman untuk mempelajari keberagaman langsung dari sumbernya. Hal ini penting mengingat informasi yang berseliweran kadang keliru.
Yohanes mengaku mendapatkan “pencerahan” setelah mengikuti kegiatan The Journey of Interfaith yang membahas tentang Ahmadiyah ini. Ia awalnya mempertanyakan apakah Mirza Ghulam Ahmad dipercaya sebagai nabi atau apa dalam pemahaman Ahmadiyah.
“Nah setelah saya ikut ini oh ternyata dia itu khalifah dan pendiri jemaat Ahmadiyah dan dikatakan sebagai Imam Mahdi. Atau misalkan Ahmadiyah ini ada ngucap rukun iman dan Islam atau ngucap syahadat juga gak? Di luaran itu kan tidak selalu yang ditekankan itu persamaan ya, malah sibuk liat perbedaan. Sampai kita lupa kalau persamaannya itu sama-sama mengucap syahadat, meyakini rukun iman dan rukun islam. Informasi-informasi itu yang terkonfirmasilah lewat kelas ini,” tegasnya.
Yohanes berpendapat kegiatan seperti ini sangat penting dan dibutuhkan untuk diikuti oleh lebih banyak orang-orang muda. Mengingat Riset Setara Institute menemukan, toleransi di Jawa Barat belum di tahap yang menggembirakan. Kegiatan macam ini mampu menumbuhkan empati, mengasah kemanusiaan dan mematahkan bias.
“Mematahkan bias juga sangat penting. Gimana kita bisa berempati kalau masih ada bias dan prasangka. Nah, itu pentingnya di situ,” katanya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Toleransi Antarumat Beragama