Jemaat Tanpa Masjid, Nestapa Warga Ahmadiyah di Nyalindung dalam Belenggu Penyegelan
Penyegelan masjid Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Garut, menambah suram toleransi di Jawa Barat yang mengklaim provinsi toleran. Insiden yang berulang.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah3 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Pupus sudah harapan Qadir, 54 tahun, bukan nama sebenarnya, bersama jemaat Ahmadiyah lainnya untuk memiliki masjid di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut. Mereka terpaksa kembali melakukan ibadah di salah satu rumah jemaat. Berdesak-desakan.
Masjid yang mereka bangun secara swadaya sejak tahun 2014 tak kunjung rampung karena berkali-kali diprotes ormas (organisasi massa) setempat dan berujung penyegelan. Dua kali masjid disegel, tepat menjelang selesainya pembangunan. Penyegelan pertama terjadi ketika masjid masih dalam proses penyempurnaan bangunan pada tahun 2021, sementara penyegelan terbaru terjadi pada Selasa, 2 Juli 2024 lalu.
Ironisnya, pelaku tindak intoleran ini adalah para aparatur Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut yang merupakan representasi negara. Mereka yang seharusnya ada di garis terdepan mengawal konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah warganya.
“Iya, kemarin Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) datang ke sini pakai mobil,” kata Qadir kepada BandungBergerak, seminggu setelah penyegelan, Senin, 8 Juli 2024.
Masjid Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kampung Nyalindung berdiri di lahan seluas 100 meter persegi. Keramik baru saja selesai terpasang. Di dalam bangunan, terlihat mimbar dan karpet yang tergulung. Progresnya sudah “70 persen jadi”, menurut Kadir.
Sayangnya, akses untuk masuk masjid terhalang garis Satpol PP dan segel berwarna merah.
Ketua RW 01 Nyalindung, Ali Nugraha bercerita, sewaktu penyegelan terjadi, ia meminta jemaat Ahmadiyah dan warga tidak melakukan perlawanan, baik verbal atau fisik, agar tidak terjadi konflik berkepanjangan.
“Gak ada perlawanan karena saya sendiri yang memberhentikan supaya tidak keruh. Dikira saya masih bisa dialog, tapi ternyata ada itikad mau disegel, karena ada tekanan dari ormas itu,” ungkapnya, dihubungi BandungBergerak, Selasa, 17 Juli 2024.
Dua hari setelah penyegelan, Ali mendatangi kantor Satpol PP Kabupaten Garut untuk melakukan klarifikasi.
“Kata (Satpol PP) menunggu dingin dulu. Satpol PP tertekan oleh ormas. Lebih ke antisipasi, soalnya (ormas) akan menurunkan anggota juga dari Tasikmalaya,” katanya.
Ali menyayangkan sikap pemerintah yang lebih memilih melakukan penyegelan masjid dan menuruti tekanan ormas. Padahal, masyarakat Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah di kampungnya sudah lama hidup rukun dan saling bergotong-royong.
“Hanya saja pihak luar yang memperkeruh suasana,” katanya.
Ali tidak setuju dengan klaim yang mengatakan kehadiran jemaat Ahmadiyah memperkeruh suasana. Ia meminta masyarakat untuk melihat informasi seputar Ahmadiyah Garut secara objektif. Sudah berpuluh-puluh tahun warga di Nyalindung hidup rukun bersama warga lain tanpa ada keresahan.
“Di Kampung Nyalindung, tidak ada masalah apa pun, apalagi disebut meresahkan warga,” ucap Ali. “Itu bohong sekali.”
Dibangun Swadaya
Usama Ahmad Rizal dari Solidaritas Jaringan Antarumat Beragama (Sajajar) menerangkan, sejak hadir pertama kali di Nyalindung pada tahun 1970-an, jemaat Ahmadiyah hidup damai berdampingan dengan warga sekitar. Yang mereka butuhkan hanya akses ke masjid yang sebenarnya sudah mereka bangun sendiri secara mandiri sejak tahun 2014.
Tanpa masjid, warga Ahmadiyah melakukan aktivitas ibadah di rumah salah satu jemaat. Karena keterbatasan ruang, ibadah pun menjadi tidak layak dan nyaman. Pelaksanaan hari raya Idulfitri dan Iduladha harus dilakukan di rumah dalam kondisi berdesak-desakan. Sebagian jemaat yang tidak kebagian tempat harus salat di halaman.
Pembangunan masjid Ahmadiyah di Nyalindung merupakan hasil swadaya jemaat yang dalam pelaksanaannya mendapatkan bantuan masyarakat sekitar yang non-Ahmadiyah. Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Nyalindung telah memiliki persyaratan yang ditetapkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah yang harus mendapatkan persetujuan dari 60-90 orang warga sekitar.
Sebelum hari penyegelan, jemaat Ahmadiyah begitu antusias melakukan ibadah di bakal masjid mereka. Anak-anak ramai mengaji setelah pulang sekolah.
“Kemarin saya melihat ada raut wajah bahagia dari anak-anak,” ujar Rizal, ditemui BandungBergerak, Senin, 8 Juli 2024.
Penyegelan masjid membuat hati Rizal miris. Ada cerita tentang orang tua Ahmadiyah yang mengajari anaknya doa masuk masjid, tetapi setelah penyegelan, si anak bertanya: “Mah, buat apa belajar doa masuk masjid? Kan masjidnya juga gak ada, katanya, ditutup”.
Menurut Rizal, penyegelan masjid yang dilakukan oleh Pemkab Garut melalui Satpol PP dan aparatur negara lainnya pada 2 Juli 2024 cacat prosedur formal. Penyegelan dilakukan secara sepihak, tanpa didahului dialog dan pemberitahuan. Pemerintah justru tunduk dan patuh pada otoritas di luar negara, yaitu ormas.
“Apa yang dilakukan pemerintah itu tidak mendasar, pemerintah beralasan penutupan ini karena ada aduan masyarakat. Pemerintah tunduk dan patuh pada otoritas tokoh tertentu. Fakta sebenarnya dengan masyarakat di sini tidak ada masalah,” tuturnya.
Rizal mencatat, berkali-kali pemerintah menerbitkan kebijakan diskriminatif terhadap jemaat Ahmadiyah. Pada penyegelan 2021, Bupati Garut mengeluarkan Surat Edaran Bupati Garut Nomor 451-1/1605/Bakesbangpol yang membatasi segala aktivitas jemaat Ahmadiyah. Dalam penyegelan kedua, giliran SKB Tiga Menteri dan Pergub Jabar nomor 12 tahun 2011 yang dipakai.
Menurut Rizal, pemerintah seharusnya memfasilitasi warganya beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Bukannya membatasi atau bahkan melarang. Ketika ada penolakan, seharusnya jalan yang ditempuh adalah memediasinya, bukan serta-merta menutup masjid.
“Di aliansi, kami tetap menagih dan meminta pemerintah untuk memberikan jaminan warga Ahmadiyah menjalankan ibadahnya sesuai keyakinan,” ucap Rizal.
Hadir Sebelum Negara
Merunut sejarah, Ahmadiyah telah masuk ke Garut jauh sebelum Indonesia merdeka dan bentuk negara kesatuan disepakati. Keterangan ini dibahas oleh Neng Via Siti Rodiyah, Nisa Ulmatin, dan Mohamad Dindin Hamam Sidik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dalam jurnal “Stigma Kafir pada Jamaah Ahmadiyah di Kabupaten Garut: Studi Kasus tentang Konflik Pendirian Rumah Ibadah” yang terbit di Jurnal Iman dan Spiritualitas pada 2021.
Neng dkk. menuturkan, ajaran Ahmadiyah masuk Nusantara pada tahun 1925 lewat seorang pengkhotbah Ahmadiyah dari Punjab, India bernama Maulana Rahmat Ali. Pengenalan ajaran ini banyak dilakukan dengan debat publik.
“Setiap orang yang penasaran mengenai bagaimana Ahmadiyah maka akan diadakan suatu diskusi individu atau terbuka dengan mereka yang ingin tahu tentang Ahmadiyah. Penyebaran Ahmadiyah di Jawa mendapat perhatian yang sangat luar biasa, debat resmi sering diadakan dengan melibatkan pihak Ahmadiyah, ulama Islam dan ulama Kristen di Jakarta, Bogor, Bandung, hingga Garut,” tutur Neng dkk., diakses Sabtu, 20 Juli 2024.
Selanjutnya, pada tahun 1934 Maulana Rahmat Ali memberikan tugas kepada Entoy Muhammad yang merupakan ulama Islam untuk menyebarkan Ahmadiyah di Jawa Barat. Setelah berhasil di Tasikmalaya, Ciamis, dan sekitarnya, dia menyebarkan Ahmadiyah ke Garut.
Entoy bertemu dengan teman lamanya yang bernama Udin Sayudin dan sering melakukan diskusi dengannya mengenai penyebaran Islam di Garut. Penyebaran Ahmadiyah di Garut selanjutnya dikembangkan oleh seorang Ahmadiyah dari utusan Tapaktuan, Aceh, bernama Abdul Wahid. Ia datang dari Aceh pada tahun 1936 dan segera mendirikan masjid sebagai langkah awal agar penyebaran Ahmadiyah dapat terus berkembang.
Klaim Mencegah Konflik Horizontal
Penyegelan masjid JAI di Nyalindung dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab Garut) melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) Kabupaten Garut yang terdiri dari aparatur negara dan ormas: Polres, Kejaksaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol). Dalam pernyataan resminya, penyegelan tersebut diklaim berdasarkan pengaduan dari masyarakat dan dilakukan sesuai aturan hukum untuk menghindari konflik horizontal antarwarga.
“Bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut berawal dari adanya penerimaan laporan dan/atau informasi pengaduan dari masyarakat terkait dugaan pendirian bangunan tempat peribadatan serta aktivitas penyebaran ajaran jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam,” demikian pernyataan resmi bernomor 01/PAKEM-KAB-GARUT/07/2024 tersebut.
Pendirian masjid JAI dianggap menyalahi ketentuan persyaratan pendirian rumah peribadatan. Pemkab Garut merujuk Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah yang menyebut bahwa pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatan.
Dasar lainnya adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Regulasi ini meminta jemaat Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan menyimpang dari pokok ajaran agama Islam.
Ada juga Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 20211 tentang Larangan Kegiatan Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat yang mengatur larangan bagi penganut, anggota atau pengurus jemaat Ahmadiyah untuk melakukan aktivitas dan kegiatan dalam bentuk apa pun sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran dan aktivitas menyimpang dari pokok ajaran agama Islam.
“Bahwa sesuai dengan landasan yuridis sebagaimana diuraikan di atas, dalam rangka perwujudan tugas pengawasan dan pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama serta pemeliharaan kerukunan umat beragama dan dalam rangka memelihara kondusivitas daerah untuk pencegahan konflik horizontal di masyarakat maupun dalam rangka daerah untuk pencegahan konflik horizontal di masyarakat,” demikian tertulis dalam keterangan.
BandungBergerak mendatangi kantor Satpol PP Kabupaten Garut pada Senin, 8 juli 2024 untuk mengkonfirmasi langsung aksi penyegelan masjid JAI di Kampung Nyalindung ini. Namun Kasatpol PP Usep Basuki Eko disebut sedang tidak ada di kantor.
Di kantor Bakesbangpol Kabupaten Garut, sama saja. Petugas jaga mengabarkan bahwa Kepala Bakesbangpol Kabupaten Garut Nurodhin sedang tidak ada di kantor. Petugas itu mengatakan bahwa pada Jumat, 5 Juli 2024 telah diadakan konferensi pers terbuka di kantor Kesbangpol Kabupaten Garut. Kami kemudian diminta menemui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) di Kejaksaan Negeri Garut.
Kasubsi A Intelijen Bakorpakem Kejaksaan Negeri Garut Bimo Mahardika enggan diwawancarai dengan dalih telah memberikan pernyataan pada saat konferensi pers. Bimo kemudian memberikan salinan siaran pers sebagaimana telah dikutip sebagiannya di atas.
Baca Juga: CERITA VISUAL: Deretan Kasus Penyegelan Masjid-masjid Ahmadiyah di Jawa Barat dalam 10 Tahun Terakhir
Membuka Mata di Wanasigra
Penyegelan Masjid Ahmadiyah Garut Menambah Catatan Panjang Praktik Diskriminasi oleh Aktor Negara
Menggugat Regulasi Intoleran
Wakil Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Fariz Hamka menyatakan, dengan menutup masjid Ahmadiyah di Nyalindung, Pemkab Garut telah melanggar konstitusi negara. Penutupan masjid bertentangan dengan penjaminan kebebasan dalam beragama dan menjalankan peribadatan oleh negara sebagaimana diatur UUD 1945 Pasal 28 E Ayat (1), (2), dan (3).
“Langkahnya harus sesuai mengikuti perundangan-undangan sebagai representasi warga negara, khususnya dalam hal kebebasan beragama dan peribadatan itu,” jelas Fariz, ditemui BandungBergerak, Kamis, 11 Juli 2024.
Fariz menyoroti sejumlah regulasi yang dibuat pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yang cenderung diskriminatif. Jawa Barat memiliki Peraturan Gubernur nomor 12 tahun 2011 yang masih dijadikan landasan hukum untuk menolak Ahmadiyah. Padahal Pergub ini secara hierarki bertentangan dengan perundangan-undangan. Di tingkat pusat, SKB Tiga Menteri justru membuka jalan bagi kelompok-kelompok intoleran untuk ikut campur dalam pendirian rumah ibadah.
Senada dengan Fariz, peneliti SETARA Institute For Democracy and Peace Ikhsan Yosarie mengatakan, pemerintah seharusnya menggunakan referensi hukum dari konstitusi, bukan regulasi intoleran. Pemerintah memiliki kewajiban menjamin kebebasan beragama warga negaranya.
“Padahal dalam konteks konstitusi harusnya pemerintah bersama aparat, memastikan hak-hak beragama dari minoritas. Di Garut, (pemerintah) tidak mencerminkan komitmennya (pada) kelompok minoritas, dalam hal ini Ahmadiyah di Garut,” kata Ikhsan, dihubungi BandungBergerak, Rabu, 17 Juli 2024.
Dalam catatan SETARA, jemaat Ahmadiyah Indonesia menjadi kelompok minoritas yang paling banyak mengalami peristiwa intoleran karena kebijakan negara, dalam hal ini SKB Tiga Menteri dan Pergub Jabar nomor 12 tahun 2011.
“SKB tiga menteri itu kadang diperluaskan tafsirnya, ya biarkan hak warga negara terselenggarakan sebagaimana mestinya. Apalagi ada tuntutan-tuntutan dari kelompok intoleran yang merusak tata kelola toleransi di berbagai tempat.
"Pemerintah malah tunduk juga pada kelompok-kelompok intoleran. Pemerintah ada keinginan mengakomodasi kelompok intoleran tersebut,” kata Ikhsan.
Kasus penyegelan masjid warga minoritas ini menambah miris situasi kebebasan beragama berkeyakinan (KBB) di Jawa Barat. Hasil survei tahunan SETARA Institute, tahun 2023 Jawa Barat kembali menjadi provinsi paling banyak melakukan pelanggaran KBB dengan 47 peristiwa. Terdapat perubahan posisi dari tahun sebelumnya, Jawa Timur di posisi pertama dengan 34 peristiwa.
Secara nasional, SETARA Institute melaporkan terdapat 217 peristiwa dan 329 tindakan pelanggaran KBB di Indonesia. Dari 329 tindak pelanggaran, ditemukan 114 tindakan dilakukan oleh aktor negara dan 215 tindakan dilakukan oleh aktor nonnegara. Diketahui, pelanggaran oleh aktor negara paling banyak dilakukan oleh pemerintah daerah sebanyak 40 tindakan dan kepolisian sebanyak 24 tindakan.
SETARA Institute memberi sorotan pada kasus gangguan rumah ibadah yang menjadi tren pelanggaran yang masih terus berlangsung. Tren kasus gangguan tempat ibadah mengalami kenaikan signifikan selama enam tahun terakhir. Dari 17 kasus pada 2017 menjadi 65 kasus pada 2023.
Sorotan lain diberikan pada penolakan didasarkan pada belum terpenuhinya syarat pendirian tempat ibadah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006. Bahkan mereka yang sudah memenuhi persyaratan dukungan 90 pengguna tempat ibadah dan 60 dukungan dari warga setempat pun, tidak sedikit yang mendapat penolakan dari masyarakat.
SETARA Institute menilai Joko Widodo-Ma’ruf Amin belum mampu melahirkan kepemimpinan dan terobosan kebijakan yang berpihak pada pemajuan kebebasan beragama berkeyakinan, khususnya terkait pendirian tempat ibadah.
Amnesty International Indonesia, dalam pernyataannya, menyebut insiden di Nyalindung Garut membuktikan untuk kesekian kalinya "diskriminasi yang nyata dan pelanggaran serius oleh Negara terhadap kelompok minoritas". Kebebasan setiap warga untuk beragama dan berkeyakinan harus dihormati dan dilindungi oleh Negara.
“Kami mendesak pihak berwenang di Garut untuk segera mencabut penyegelan tempat ibadah tersebut dan menghentikan segala bentuk tindakan diskriminatif terhadap Jamaah Ahmadiyah," kata Usman Hamid. “Negara harus memastikan bahwa hak-hak konstitusional Jamaah Ahmadiyah dilindungi dan dihormati.”
*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.