• Berita
  • Penyegelan Masjid Ahmadiyah Garut Menambah Catatan Panjang Praktik Diskriminasi oleh Aktor Negara

Penyegelan Masjid Ahmadiyah Garut Menambah Catatan Panjang Praktik Diskriminasi oleh Aktor Negara

Penyegelan masjid Ahmadiyah Garut merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berkeyakinan beragama, bertentangan dengan konstitusi negara.

Ilustrasi. Intoleransi menjadi tantangan serius bagi negeri bhineka seperti Indonesia. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id).

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah5 Juli 2024


BandungBergerak.id - Masjid jemaat Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu Kabupaten Garut disegel paksa oleh Satuan Pamong Praja (Satpol PP), Selasa, 2 Juli 2024. Satpol PP yang sejatinya alat negara yang menjunjung tinggi kebhinekaan (keberagaman) Indonesia, justru menjadi pelaku intoleran dan melanggar hak-hak beribadah.  

Satpol PP Kabupaten Garut melakukan penyegelan setelah menerima audiensi dari ormas yang menolak keberadaan masjid tersebut. Penyegelan masjid Ahmadiyah didampingi Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) yang terdiri dari Polres, Kejaksaan, MUI, FKUB, dan Bakesbangpol Garut bersama Forkopimcam Cilawu.

Rizal dari Solidaritas Jaringan Antarumat Beragama (Sajajar) menyayangkan sikap aparatur negara yang menciderai nilai-nilai toleransi. Sebab, warga Ahmadiyah di Kampung Nyalindung telah hidup berdampingan secara damai sejak tahun 1970 dengan warga lainnya.

“Kondisi ini sungguh telah mencederai nilai-nilai toleransi. Dan menandakan, bahwa negara masih menjadi penghalang atas kebebasan beragama dan berkepercayaan,” kata Rizal kepada BandungBergerak, Kamis, 4 Juli 2024. 

Rizal mengingatkan, konstitusi (UUD 45) telah jelas menyatakan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut keyakinan sebagaimana dijamin pasal 28 E ayat 1, 2,dan 3. Namun, apa yang dilakukan Pemkab Garut sungguh bertentangan dengan konstitusi negara.

“Seperti diketahui bahwa urusan agama sepenuhnya adalah kewenangan Pemerintah Pusat. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah,” sebut Rizal.

Penyegelan masjid jelas menghambat hak ibadah warga Ahmadiyah. Oleh karenanya Sajajar menyatakan kecaman keras atas tindakan penyegelan paksa oleh Satpol PP Kabupaten Garut. Sebaliknya, Pemkab Garus harus menjamin warga Ahmadiyah bisa menjalankan hak-haknya beribadah.

“Pemerintah segera mefasilitas dan menjamin warganya untuk dapat beribadah menurut agama dan keyakinannya,” tegas Rizal.

Negara Masih Melanggengkan Tindakan Diskriminasi

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Heri Pramono menyebutkan penutupan paksa masjid berdasarkan aduan masyarakat dengan alasan menghindari konflik di antara masyarakat mencerminkan negara masih aktif melakukan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang seharusnya melindungi kelompok beragama sebagaimana konstitusi Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.

”Tindakan ini mencerminkan bahwa negara masih tetap aktif dalam melakukan tindakan pelanggaran HAM pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara semestinya hadir dalam wujud penghormatan bagi siapa pun yang akan melakukan kegiatan ibadah keagamaan,” ujar Heri, dalam keterangan resmi. 

Heri mengatakan seharusnya aduan masyarakat bisa ditengahi oleh pemerintah setempat dan tidak dijadikan suatu alasan untuk menggugurkan jaminan hak asasi manusia. Akan tetapi, dengan adanya tindakan penyegelan tersebut, Heri menyatakan negara gagal memberikan perlindungan atas jaminan dan pemenuhan Hak Asasi Jemaat Ahmadiyah.

“Kegagalan negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan atas pemenuhan hak asasi warga Ahmadiyah dari perlakuan intoleran dari kelompok tertentu, tidak hanya lalai tapi negara ikut terlibat dan aktif dalam pelanggaran HAM,” beber Heri.

Pemerintah setempat dalam hal ini Forkopincam Cilawu seharusnya mengedepankan nilai-nilai toleransi dan melakukan langkah-lagkah yang mempercepat proses perizinan pendirian rumah ibadah. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (e) peraturan menteri tahun 2006, menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadah.

“Bukan sebaliknya atas dasar perizinan dan menghindari konflik di antara masyarakat melakukan pembatasan kegiatan beribadah untuk kelompok lain,” sebut Heri.

LBH Bandung mendesak agar pemerintah segera mengatasi dan mencegah terjadinya peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak beragama. Pemkab Garut didesak mencabut segel terhadap masjid Ahmadiyah dan melakukan evaluasi terhadap aparat negara yang melakukan penyegelan.

“Memberikan rekomendasi evaluatif terhadap aparat negara di antaranya Satpol PP Kab. Garut, Tim PAKEM ( Polres, Kejaksaan, MUI, FKUB, Bakesbangpol), dan Forkopimcam Cilawu,  yang telah berperan aktif melakukan Pelanggaran HAM dan telah lalai dalam memberikan perlindungan dan jaminan atas pemenuhan hak asasi warga Ahmadiyah dari perlakuan intoleran dari kelompok tertentu,” imbuhnya.

Baca Juga: Cara Anak Muda Bandung Menghalau Intoleransi dan Hoaks
Melawan Intoleransi dan Diskriminasi dengan Mengurangi Prasangka
Toleransi terhadap Kelompok Rentan di Jawa Barat

Menjadi Perhatian Nasional

Kasus penyegelan masjid Ahmadiyah di Garut menjadi perhatian nasional. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, peristiwa penyegelan masjid di Garut merupakan tindakan diskriminasi serius oleh negara terhadap kelompok minoritas yang seharusnya melindungi kebebasan beragama berkeyakinan.

“Kebebasan beragama adalah hak fundamental yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara tanpa kecuali. Setiap warga negara berhak untuk menjalankan ibadah agamanya tanpa takut diskriminasi, intimidasi, atau ancaman,” ujar Usman Hamid, dalam keterangan resmi.

Usman Hamid mendesak agar pihak berwenang segera mencabut penyegelan masjid dan menghentikan tindakan diskriminatif terhadap Jemaat Ahmadiyah. “Negara harus memastikan bahwa hak-hak konstitusional Jamaah Ahmadiyah dilindungi dan dihormati,” tegasnya.

Penyegelan masjid Ahmadiyah bukan kali ini saja terjadi. Peristiwa serupa dilakukan Pemkab Garut pada 26 April 2021 yang memaksa pihak jemaat Ahmadiyah Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Cilawu, Garut, Jawa Barat, untuk menghentikan pembangunan masjid mereka. 

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur mengatakan, urusan agama sepenuhnya adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Maka, YLBHI dalam keterangan resmi menyatakan, Presiden Jokowi harus serius menghentikan praktik-praktik diskriminatif di penghujung pemerintahannya, termasuk dengan memerintahkan bawahannya mencabut segel masjid Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Cilawu, Garut, Jawa Barat.

Isnur sangat kecewa melihat situasi intoleransi dan diskriminasi atas nama agama dalam kurung sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia.

“Oleh karen itu kami mendesak pemerintah, Presiden, KSP (Kantor Staf Presiden), Mendagri, Kemenag untuk segera turun tangan, mengatasi dan mencegah terjadinya peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak beragama di manapun berada, yang sekarang meningkat seiring juga mau terlaksananya pilkada di 2024,” kata Isnur.

Isnur juga mendorong agar masyarakat sipil harus bergerak bersama dan bersuara lantang agar intoleransi dan diskriminasi tidak terus terjadi dan korban tidak dibiarkan sendiri.

Catatan Panjang Pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan Beragama Jawa Barat

Penyegelan masjid Ahmadiyah di Garut menambah panjang catatan kasus pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan Beragama di Jawa Barat. Sebelumnya, Setara Institute merilis data tren pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan Beragama di Indonesia yang cenderung naik dalam beberapa tahun belakangan.

Jika di tahun 2022 Jawa Timur menggeser Jawa Barat sebagai provinsi paling banyak membukukan pelanggaran, di tahun 2023 Jawa Barat kembali membukukan pelanggaran tertinggi dengan 47 peristiwa. Sementara Jawa Timur 29 peristiwa, DKI Jakarta 19 peristiwa, Sumatera Utara 17 peristiwa, Jawa Tengah dengan 14 peristiwa, dan Sulawesi Selatan dengan 11 peristiwa.

Secara nasional, pada tahun 2023, SETARA Institute mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Angka peristiwa ini naik signifikan dibandingkan dengan temuan pemantauan pada tahun 2022, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan. Dari 329 tindakan pelanggaran tersebut, 114 tindakan dilakukan oleh aktor negara, dan 215 tindakan dilakukan oleh aktor nonnegara.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Intoleransi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//