• Kolom
  • Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #19: Cai dan Guriang

Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #19: Cai dan Guriang

Ciguriang berasal dari kata Ci dan Guriang. Kedua kata ini memiliki makna mendalam di kebudayaan Sunda. Di Bandung sedikitnya ada dua tempat bernama Ciguriang.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Peta Ciguriang (Tjigoeriang Kebonkawoeng), 1910, peta skala 1:10000. (Koleksi: Ricky N. Sastramihardja)

9 Februari 2025


BandungBergerak - Kita sering menemukan nama tempat yang sama tetapi berada di lokasi yang berbeda, bisa di satu kota, atau bahkan berbeda kota. Nama Ciguriang sebagai nama tempat sejauh ini ditemukan di dua lokasi di Bandung. Petama Jalan Ciguriang yang berlokasi di seputar Jalan Kepatihan Alun Alun Bandung, lokasi ini sering disebut berkaitan dengan sejarah perjuagan Raden Dewi Sartika. Ketika jumlah muridnya bertambah banyak dan memerlukan lokasi yang lebih luas, Raden Dewi Sartika mendirikan Sekolah Kautamaan Istri di Jalan Ciguriang ini, setelah sebelumnya  sekolah yang dirintisnya itu berada di dalam wilayah Pendopo Bupati Bandung.

Lokasi yang bernama Ciguriang selanjutnya ditemukan di sekitar Jalan Kebonkawung, Bandung.  Beberapa hari yang lalu, seorang teman mengirimkan sebuah peta Bandung tahun 1910, yang akhirnya saya ingat pernah dikirim peta yang serupa oleh Pak T. Bachtiar beberapa tahun yang lalu. Peta itu menunjukkan lokasi Tjigoeriang yang dibatasi oleh jalan Kebonkawoeng di sebelah selatan dan Jalan Pasirkaliki di sebelah barat, nampak masih berupa pesawahan atau tanah kosong dan nampak juga beberapa sumber air di sana.

Lokasi yang disebut Tjigoeriang, Kebon Kawung itu dulu ternyata cukup luas, mencakup Jalan Haji Mesri, Haji Iskat, bahkan sampai ke Jalan  Haji Akbar, Gang Rais dan Jalan Dumah. Tetapi lambat laun nama Ciguriang makin menyempit dan akhirnya hanya menunjuk lokasi perkampungan sekitar mata air Ciguriang saja. 

Dan sekarang, jika saya menyebut Ciguriang dalam pembahasan umum, banyak orang berpikir bahwa Ciguriang yang saya maksud berlokasi di Jalan Ciguriang, padahal yang saya maksud adalah sebuah mata air sekaligus sebuah kampung tua yang berlokasi di Jalan Haji Mohammad Iskat - Jalan Haji Mohammad Mesri, seputar Kebonkawung, Bandung. Tak banyak orang yang mengenal tempat itu, padahal terletak tak jauh dari pusat kota Bandung, bahkan dekat sekali dengan jalur kereta api.

Ci Guriang, Cai, dan Guriang

Banyak sekali nama tempat di Jawa Barat yang berawalan dengan kata Ci, misalnya saja Cimahi, Cibiru, Ciamis, Ciparay, Cibodas, Cihideung, dan banyak lagi. Kata ci sendiri berasal dari kata cai yang mempunyai arti air. Lalu mengapa banyak sekali nama tempat di Jawa Barat yang berawalan kata Ci?

Di Bandung khususnya, sangat banyak nama tempat yang berawalan Ci, dalam buku “Toponimi Kota Bandung” T. Bachtiar, dkk. menyebutkan bahwa nama-nama tempat di wilayah Bandung sangat dominan dengan aspek hidrologis (air) mengingat wilayah Bandung merupakan sisa danau purba, seperti banyaknya sumber mata air. Dan kemungkinan nama Ciguriang di Kebonkawung disebabkan terdapatnya mata air Ciguriang di sana. Lalu jika Ci mempunyai arti air, apa makna dari Guriang?

Mendiskusikan hal ini dengan beberapa rekan, juga bertanya pada beberapa senior tentang makna kata Guriang dalam bahasa Sunda, kami menemukan beberapa hal yang menarik.

Dalam kamus Jonathan Rigg disebutkan, Guriang berarti dewa gunung; roh gunung; seseorang yang menjelaskan hukum dan agama kepada murid-muridnya. Nama itu masih hidup di antara para pendaki gunung Sunda. Kepentingan supranatural sering dikaitkan dengannya.

Ada satu ungkapan dalam dahasa Sunda yang berbunyi “Beunang guguru ka gunung, beunang tatanya ka Guriang”, hal ini menunjukkan bahwa gunung dan Guriang mempunyai makna yang dalam bagi urang Sunda. Terdapat makna kearifan, sumber ilmu pengetahuan, dan kebaikan pada kata gunung dan Guriang, hal ini tersirat dari kata guguru ka gunung (berguru ke gunung) dan tatanya ka Guriang (bertanya pada Guriang). 

Kata Guriang juga ditemukan dalam kamus Danadibrata:

Guriang ringkesan tina kecap “Guru Hiang” at. “Guru Ing Yang” anu hartina tanaga gaib, bangsa lelembut (ringkasan dari kata “Guru Hiang” atau “Guru Ing Yang” yang artinya tenaga gaib, bangsa lelembut).

Danadibrata juga menulis Sang Guriang yang diartikan Sangkuriang, Guriang Tunggal sebagai Batara Guru, lalu Guriang Tujuh sebagai nama Guriang Tunggal pada cerita pantun Mundinglaya.

Guriang juga ada dalam kamus Hardjadibrata, diartikan sebagai roh atau dewa (surgawi), (di kalangan orang Baduy, dan dalam cerita pantun); (sering kali dalam jumlah tertentu, mis.) guriang tujuh tujuh guriang; guriang domas delapan ratus guriang; guriang tunggal nama roh atau dewa teringgi; guriangan yang dihuni oleh roh, dirasuki oleh roh. 

Merujuk pada kalimat “Beunang guguru ka gunung, beunang tatanya ka Guriang” seperti saya tuliskan di atas, bisa disimpulkan bahwa Guriag sebagai roh atau lelembutan, bukanlah roh atau lelembutan yang bersifat jahat, tapi bisa dimaknai sebagai sumber ilmu dan kebijaksanaan. 

Baca Juga: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #16: Anak-anak 1980
Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #17: Abah Ilim Jadi Panutan di Mata Keluarga dan Tetangga
Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #18: Mitos Menjaga Mata Air

Guriang Tujuh

Dalam kisah Mundinglaya Dikusumah, dalam perjalanannya ke Jabaning Langit untuk mencari Layang Salaka Domas, sebagai jimat agar Kerajaan Pajajaran damai tenteram tanpa permusuhan, Mundinglaya bertemu dengan tujuh Guriang atau Guriang Tujuh. Sebelumnya Mundinglaya sudah bertemu dan mengalahkan Jonggrang Kalapitung dan kemudian harus menghadapi dan menaklukkan Guriang Tujuh. Guriang Tujuh digambarkan sebagai mahluk-mahluk supranatural yang menjaga Layang Salaka Domas.  

Pada pertarungan, Mundinglaya sempat mengalami kekalahan, bahkan meninggal dunia. Namun makhluk supranatural lain yang bernama Dewi Pohaci, menghidupkan kembali Mundinglaya. Dan Guriang Tujuh melihat sifat-sifat baik yang dimiliki Mundinglaya, yaitu kejujuran dan tidak mementingkan diri sendiri. Akhirnya Layang Salaka Domas diserahkan pada Mundinglaya yang segera  membawanya ke Pajajaran.

Dalam buku Manusia Sunda, Ajip Rosidi menulis bahwa Guriang Tujuh yang dihadapi oleh Mundimglaya Dikusumah merupakan perlambang nafsu yang harus ditaklukan sebelum mencapai cita-cita.

Lalu makna apa yang terkandung dari nama mata air Ciguriang?  Mata air yang dikuasai para roh dan lelembut? Entahlah.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//