Suara Geram Mahasiswi di Aksi Indonesia Gelap di Bandung, Efisiensi Anggaran Menyulitkan Masyarakat Mengakses Pendidikan
Mahasiswi dan mahasiswa di Bandung kompak dalam aksi Indonesia Gelap. Menolak pemangkasan anggaran pendidikan karena merugikan rakyat.
Penulis Yopi Muharam18 Februari 2025
BandungBergerak.id - Payung berwarna hitam mulai dibuka oleh Gloria dan Hanifah saat hujan mulai membasahi muka Kota Bandung. Mahasiswi jurusan Ilmu Politik Unpad itu sejak siang mengikuti aksi Indonesia Gelap di pelataran Gedung DPRD Jawa Barat, Senin, 17 Februari 2025.
Bersama dengan puluhan mahasiswa lainnya, mereka menuntut agar pemerintah mencabut kebijakan efesiensi yang berdampak pada dana pendidikan dan berbagai sektor. Mereka menganggap kebijakan tersebut merugikan masyarakat Indonesia.
Bagi Gloria 100 hari kepemimpinan rezim di bawah komando Prabowo Subianto dan Gibran Raka Buming Raka masyarakat terus dihimpit oleh kebijakan serampangan. Mulai dari kebijakan gas elpiji 3 kg, pemotongan anggaran, hingga masifnya tindak brutalitas aparat terhadap masyarakat.
“Bahwa situai ini tuh bukan hanya merugikan kepada mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi, tetapi juga kena ke sendi-sendi sosial negara, bahkan demokrasi,” ujar mahasiswi semester 4 itu.

Kekecewaan yang dirasakannya mendorong Gloria untuk merapatkan barisan aksi Indonesia Gelap. Kebijakan terkait efesiensi menurut Gloria mengorbankan masyarakat kelas menengah ke bawah. Belum lagi pemotongan anggaran besar-besaran di ranah pendidikan dan kesehatan.
Ia juga geram tidak etis jika DPR hingga Kepolisian tidak berdampak efesiensi ini. Sedangkan program pendidikan dan kesehatan dinomorduakan dan bukan prioritas. “Perlu dipahami, saya sangat kecewa, karena saya juga belajar pemerintahan dan bernegara. Prabowo ini malah mengobarkan teman-teman yang justru berdampak besar pada negara,” lanjutnya.
Di sisi lain, teman sekelas Gloria, Hanifah merasa kecewa dengan kepemerintahan Prabowo. “Dari banyaknya permasalahan di 100 hari ini rasanya Indonesia sudah gelap,” ujarnya.
Dia juga menegaskan bahwa melihat situasi negara saat ini mahasiswa tidak bisa hanya diam duduk di kelas. “Kita harus turun ke jalan untuk membuat seluruh masyarakat semakin sadar bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” tegasnya.
Bagi Hanifah efesiensi ini hanya omong belaka. Kebijakan ini menimbulkan efek bola salju kalau tidak segera dicabut pemerintah “Efesiensi anggaran yang rasanya bukan efeisensi tapi efesienshit,” tandasnya.

Pendidikan Kian Suram
TSelama masa kampanye Prabowo-Gibran menjanjikan akan membangun pendidikan di Indonesia semakin berkualitas. Tiga di antaranya; menaikan gaji ASN guru dan dosen, mendirikan 300 fakultas kedoktera, hingga membangun sekolah unggulan terintegrasi SD-SMA.
Janji tersebut kian pudar seiring Prabowo-Gibran menjabat. Di awal tahun 2025 Prabowo menguliarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025. Dari instruksi tersebut sektor pendidikan tak luput menjadi sasaran.
Efisiensi tersebut menyasar ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Misalnya Kemendikdasmen, anggaran yang awalnya ditetapkan sebesar 33,545 triliun rupiah dipotong hingga 8,035 triliun rupiah.
Hal itu juga berdampak pada program penting seperti Program Indonesia Pintar (PIP), tunjangan guru non-PNS, beasiswa unggulan, hingga penguatan kualitas SMK. Awalnya program penting tersebut mempunyai dana awal sebesar 30,701 triliun rupiah.
Sedangkan di lingkung Kemendiktisaintek, total pagu anggarannya sebesar 57,6 triliun rupiah dan terkena pemangkasan anggaran sebesar 22,5 triliun rupiah. Pemangkasan itu juga berdampak pada program beasiswa seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP). Mengutip dari laman Tempo.co, Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan dampak efesiensi itu mengubah pagu beasiswa.

“Beasiswa ada KIP kuliah, pagu awalnya 14,698 triliun (rupiah), kemudian efisiensi oleh Ditjen Anggaran (Kemenkeu) sebesar 1,31 triliun (rupiah), (besarnya) 9 persen,” kata Satryo dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR, Rabu 12 Februari 2025 lalu.
Merespons hal tersbut, Hanifah mengatakan adanya kontradiktif antara kebijakan efesiensi dan pembukaan undang-undang dasar terkait mencerdaskan bangsa. Bagi Hanifah program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi biang dari permasalahan. “Makanya rasanya seluruh kebijakan dari pemerintah perlu dievaluasi total,” tuturnya.
Selain Hanifah dan Gabriel, Azra mahasiswi dari jurusan Teknologi Pangan mengungkapkan alasanya turun ke aksi ini. Menurutnya janji Prabowo-Gibran tidak selaras dengan kebijakan yang baru-baru ini diimplementasikan. “Jujur sangat tidak efektif dengan apa yang dia janjikan di pemilu, makanya saya turun ke sini,” ungkapnya.
Janji yang paling diingat Azra ialah beasiswa yang merata dan guru honorer bisa sejahtera di bawah payung kepemimpinan Prabowo-Ginra. Akan tetapi semua itu harus pupus di tengah jalan. “Tapi nyatanya banyaknya pemotongan dan efesiensi ini bikin kita bikin sengsara aja rasanya,” resahnya.

Pemakzulan adalah Solusi?
Di tengah hujan yang kian reda, Jokaste melipat payungnya. Masyarakat sipil yang aktif di pergerakan lintas iman mulai merapatkan barisan dari siang hingga menjelang malam. Menurutnya keadaan Indonesia saat ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. “Pergerakan aktivis itu sangat dibutuhkan dalam masa genting ini,” tuturnya, membuka obrolan.
Jokaste menilai di 100 hari kepemimpinan Prabowo-Gibran situasi negara kian carut-marut. Efesiensi yang berdampak langsung pada anggaran pendidikan menambah keyakinannya untuk turun aksi. “Jadi aku turun ke lapangan,” jelasnya.
Dampak efesiensi anggaran membuat masyarakat semakin jauh mengeyenyam pendidikan yang merata dan layak. “Kalau misalnya efeisensi pendidikan itu dikurangi sangat besar, mereka mau bergantung ke mana lagi selain bergantung pada negara,” lanjutnya.
Kebijakan efesiensi ini menurutnya sangat kontradiktif. Pasalnya Prabowo malah menambah jumlah kementerian hingga staf khusus di kabinetnya. Terkait program makan bergizi gratis (MBG), dia menjelaskan bahwa sebetulnya masyarakat tidak kelaparan. “Tapi kita kelaparan bukan karena makanan, tapi karena keadilan,” ungkapnya.
Di sisi lain, Gloria memberikan analogi bahwa masyarakat Indonesia layaknya sapi perah. Masyarakat hanya diberikan makanan tapi tidak didukung dengan fasilitas kesehatan dan juga pendidikan yang baik.
Menurutnya masyarakat harus segera sadar akan dampak dari kebijakan pemerintah yang merambat pada semua sektor. “Mau sampai kapan (masyarakat) Indoensia dilakukan semena-mena dan dinjak-injak?” tanya Gloria.
Menyoal keputusan kebijakan, dua mahasiswi itu senada mengutip pernyataan Gabriela Almond, ilmuan politik Amerika Serikat yang mengungkapkan idealnya pemerintah menetapkan kebijakan dengan transparans, melakukan diskusi terbuka dengan masyarakat, dan akademisi. Mahasiswa pun harus turut serta dilibatkan sebgatai kompas moral pemerintah.
“Jadi menurut saya idealnya pemerintah sekarang tuh dimakzulkan saja,” tegas Gloria.
Hanifah pun sepakat dengan temannya itu. Pemerintah seharusnya bisa mencabut atau mengubah kebijakan yang sudah ditetapkan. Sebab pemerintah sekarang dipilih oleh rakyat.
Dia mengutip teori dari David Easton, ilmuan politik Amerika kelahiran Kanada yang mengatakan bahwa pemerintah harus mendengarkan input-input dari masyarakat. “Kemudian outputnya harus dirasakan lagi oleh masyarakat. Bukan hanya kepada oligarki atau elite semata,” tegasnya.
Sementara itu, untuk merangkum permasalahan yang terjadi Jokaste mengatakan Prabowo harus mengeluarkan kebijakan berdasarkan aspek-aspek kemanusiaan yang dibutuhkan masyarakat. Sebab jika tidak Indonesia akan memasuki masa lebih genting dari sekarang. Untuk merespons hal tersebut Jokaste menyarankan, “Makanya kita butuh melakukan protes yang besar,” tuturnya.
Baca Juga: Aksi Indonesia Gelap di Bandung Menolak Pemangkasan Anggaran Pendidikan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran
Bahaya Memangkas Anggaran Pendidikan bagi Masa Depan Bangsa Meskipun Demi Efisiensi

Tuntutan Massa Aksi
Selama unjuk rasa berlangsung, secarik kertas disebar ke setiap peserta aksi. Kertas tersebut berisi tuntutan yang dikeluarkan oleh Font Mahasiswa Nasional (FMN). Tuntutan tersebut berisi:
1. Naikkan anggaran pendidikan, batalkan seluruh pemangkasan, cabut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, kembalikan anggaran pendidikan ke pagu awal, naikkan anggaran pendidikan terutama dana operasional PTN, PTN-BH, PTS, dan beasiswa, perkuas akses pendidikan tinggi kepada anak kelas buruh dan kaum tani yang selama ini dihalangi oleh biaya pendidikan yang tinggi, hadirkan sarpras pendidikan berkualitas, buka seluas-luasnyaa ruang demokrasi, dan selesaikan masalah kekerasan seksual dalam dunia pendidikan.
2. Hentikan pembahasan RUU Sisdiknas, hentikan transformasi PTN-BLU menjadi PTN-BH, cabut UU PT, Permendikmudristek nomor 2 Tahun 2024 dan semua peraturan yang melanggengkan liberalisasi dan privatisasi pendidikan.
3. Tolak Izin Usahan Penambangan (IUP) bagi kampus dalam UU Minerba, tolak mobilisasi mahasiswa dan dosen sebagai tenaga kerja murah lewat MBKM demi industri pro-imperialis dan pro-feodal.
4. Anggarkan tunjangan kinerja dosen ASN dan APBN tahun anggaran 2025, jamin kesejahteraan guru, dosen, dan tenaga kependidikan dengan upah dan tunjangan layak, serta jaminan kerja.
5. Hentikan pelibatan aparat bersenjata dalam ruang sipil, tolak militerisasi melalui pembangunan KODAM baru dan peNingkatan anggaran militer-kepolisian yang akan digunakan untuk melancarkan perampasan tanah rakyat. Wujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pasa rakyat berbasis reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang PRABOWO-GIBRAN