Bahaya Memangkas Anggaran Pendidikan bagi Masa Depan Bangsa Meskipun Demi Efisiensi
Efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai timpang karena menyasar pos-pos pelayanan publik sementara anggaran pertahanan tidak dipotong.
Penulis Iman Herdiana18 Februari 2025
BandungBergerak.id - Efisiensi anggaran yang ditetapkan pemerintahan Prabowo - Gibran menuai sorotan. Bidang pendidikan termasuk sektor yang kena pangkas dengan alasan penghematan. Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) R. Agus Sartono mengingatakan pemerintah bahwa pemangkasan anggaran pendidikan harus hati-hati.
Agus menegaskan pemangkasan harus dilakukan secara selektif dan hanya menyasar pada program yang bersifat administratif serta tidak berdampak langsung pada mutu pendidikan. Menurutnya, pemotongan anggaran pendidikan jangan sampai mengabaikan hak-hak aktor utama penggerak sektor pendidikan yaitu guru, dosen, dan tenaga kependidikan. Pasalnya para aktor tersebut memiliki peran penting dalam pendidikan.
“Kalau infrastruktur bisa ditunda 1-2 tahun, tetapi hak guru dan dosen tidak mungkin ditunda, termasuk rekrutmen guru dan dosen untuk mengisi yang sudah pensiun. Kalau ini dibiarkan akan terjadi gap,” terang Agus, diakses dari laman resmi, Senin, 17 Februari 2025.
Dosen pada Departemen Manajemen UGM ini menambahkan, jika kesejahteraan guru dan dosen tidak dipenuhi akan memunculkan sinyal negatif bagi lulusan terbaik untuk berprofesi sebagai tenaga pengajar.
Agus menegaskan, investasi dalam pendidikan adalah kunci bagi pembangunan peradaban dan kemajuan bangsa. Ia mencontohkan negara-negara maju seperti di Eropa yang memiliki tradisi akademik kuat karena menempatkan profesi guru dan dosen pada posisi yang terhormat.
“Tanpa pendidikan, tidak akan ada peradaban. Negara maju sudah berkomitmen untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko Kesra (2010-2014) dan Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko PMK (2014-2021).
Ia pun menolak jika pemotongan anggaran menyasar beasiswa, termasuk beasiswa KIP Kuliah (KIP-K), beasiswa Daerah 3T, beasiswa ADik dan ADEM. Sebab beasiswa tersebut merupakan instrumen untuk memutus rantai kemiskinan dan memperkecil kesenjangan sosial. Apabila anggaran ini dipangkas, maka akan semakin sulit bagi masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan tinggi.
Agus menambahkan ada kekhawatiran besar dari adanya pemangkasan anggaran di bidang pendidikan, khususnya dampak terhadap perguruan tinggi negeri (PTN). Ia berharap pemangkasan anggaran ini tidak sampai memaksa PTN untuk menaikkan uang kuliah tunggal (UKT).
Salah satu kekhawatiran utama dari pemangkasan anggaran adalah dampaknya terhadap Perguruan Tinggi Negeri (PTN). “Jangan sampai pemangkasan anggaran memaksa PTN menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Jika intervensi pemerintah berkurang tetapi di sisi lain PTN diminta untuk tetap memenuhi kebutuhan dosen dan tenaga kependidikan, maka ini bisa menjadi dilema yang memicu gejolak di kampus.
Lebih lanjut Agus mengatakan pemerintah wajib mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD untuk fungsi pendidikan. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Meski pemerintah pusat telah memenuhi ketentuan ini dengan peningkatan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, pemerintah daerah masih mengandalkan transfer dana dari pusat tanpa mengalokasikan anggaran pendidikan secara mandiri.
“Pemprov dan Pemerintah Kabupaten/Kota masih bergantung pada dana transfer pusat yang lebih dari 20 persen dari total anggaran pendidikan. Jika dihitung, sebagian besar dana itu digunakan untuk gaji guru, seolah-olah kabupaten/kota tidak perlu mengalokasikan dana tambahan,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti potensi kebocoran dalam implementasi anggaran pendidikan, seperti penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tidak selalu tepat sasaran. “Ada kasus di mana siswa penerima KIP di daerah terpencil kesulitan mengambil bantuan karena keterbatasan akses, dan akhirnya dana tersebut dikelola oleh pihak sekolah. Ini perlu diperbaiki agar hak siswa benar-benar sampai ke tangan yang berhak,” tambahnya.
Agus mengatakan bahwa efisiensi anggaran memang bukanlah hal yang mudah. Kendati begitu, ia kembali menekankan sebaiknya penghematan anggaran tidak sampai mengorbankan masa depan anak bangsa.
“Mengapa tidak efisiensi dengan perampingan struktur pemerintahan? Negara lain memiliki kabinet yang lebih ramping, tetapi kondisi pemerintah saat ini dengan posisi yang gemuk, justru pesan efisiensi ini jadi tidak muncul,” pungkasnya.
Baca Juga: Mahasiswa dan Masyarakat Sipil di Bandung Turun ke Jalan Menolak Pemangkasan Anggaran Pendidikan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran
Mahasiswa ISBI Bandung Turun Aksi, Mengencam Tindakan Pelarangan Lakon Teater Wawancara dengan Mulyono
Teater Payung Hitam Dilarang Menampilkan Lakon Wawancara Dengan Mulyono, Kebebasan Berekpresi Kampus ISBI Dibungkam

Pemangkasan Anggaran Bisa Berdampak pada Pelayanan Publik
Efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo - Gibran didasari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Di tengah gencarnya penghematan ini, ada 17 kementerian/lembaga yang lolos dari pemangkasan. Kebijakan inilah yang menuai sorotan luas karena cenderung timpang. Sektor-sektor yang dianggap lebih mendasar untuk pelayanan publik justru kena pangkas.
“Program penghematan ini cenderung timpang, sektor-sektor tertentu yang sebenarnya lebih fundamental, lebih mendasar untuk pelayanan publik justru kena pemangkasan,” kata Guru Besar UGM Bidang Manajemen Kebijakan Publik Wahyudi Kumorotomo, di laman resmi.
Ia menyayangkan, banyak kementerian-kementrian yang yang lebih strategis dan lebih penting bagi rakyat, seperti Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Kementerian Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Kebudayaan jutsu mendapatkan pemotongan anggaran. Sedangkan Kementerian Pertahanan justru lolos dari hal tersebut, bahkan pembelian alutsista terus berjalan.
Menurutnya, efisiensi ini sebenarnya bisa ditunda untuk dialokasikan ke pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial masyarakat, dan sektor-sektor mendasar lainnya. “Bukan berarti tidak setuju penghematan, realokasi, atau efisiensi apapun namanya, tetapi efisiensi itu juga harus tepat,” jelasnya.
Wahyudi menekankan pemerintah harus benar-benar mengkaji ulang efisiensi ini. Terlebih, menurutnya efisiensi saat ini sangat sulit dilakukan mengingat profil kabinet yang membengkak. Formasi kabinet gemuk berdampak besar pada anggaran yang kini naik hampir dua kali lipat daripada anggaran tahun sebelumnya yang hanya memiliki 34 kementerian.
Menurutnya, dengan peraturan yang masih tetap sama, kabinet akan tetap menyedot dana yang besar. Ia memberikan contoh, bahwa menteri dan wakil menteri memiliki jatah tunjangan yang tidak terlalu berbeda. Wakil menteri bahkan mendapatkan 85 persen tunjangan dari jabatan menteri.
“Kenyataanya menteri dan wakil menteri yang kita miliki sudah banyak, apalagi ditambah dengan staf khusus yang terus bertambah, sudah pasti akan menyedot anggaran. Terlebih, banyak dari staf khusus ini tidak berhubungan langsung dengan misi dari Kementerian dan tidak selalu meningkatkan kinerja pemerintahan yang bersangkutan,” paparnya.
Kendati demikian, Wahyudi sepakat jika pemotongan anggaran dilakukan pada pos-pos anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik seperti mengurangi perjalan-perjalan dinas yang tidak perlu, menggunakan ATK yang masih bisa digunakan, mengurangi kegiatan seminar yang mengharuskan menginap di hotel, dan juga renovasi gedung yang masih bisa digunakan.
Namun yang menjadi masalah kemudian adalah di sektor-sektor vital di bidang kesehatan, pengurangan jam pelayanan, pengurangan alat kesehatan, dan obat-obatan akan bisa berdampak buruk kepada masyarakat.
Kebijakan penghematan anggaran juga seharusnya bersifat kolektif dan tidak timpang sebelah, dalam artian tidak hanya rakyat saja namun juga berlaku untuk kalangan pejabat pemerintahan. Setidaknya para pejabat mestinya harus memberikan contoh berhemat kepada masyarakat.
“Jangan pejabat menekan rakyat untuk berhemat, tapi ternyata pejabat tetap juga memelihara gaya hidup yang juga boros. Itu jelas akan menyakiti hati rakyat pada umumnya, kalau pejabat tetap masih dengan gaya hidup yang boros dan tidak peduli pada situasi yang sebenarnya. Sedang sebenarnya kita sama-sama menghadapi situasi yang sulit,” imbuhnya.
Terakhir, Wahyudi berharap para pejabat untuk melihat realita yang ada dalam masyarakat. Bahwa ada masyarakat-masyarakat yang terdampak dari penghematan ini, sebagai contoh baru-baru ini, banyak pegawai yang terpaksa harus dirumahkan. Hal-hal seperti inilah yang harus diperhatikan.
“Pemerintah harus memikirkan bagaimana orang tua dari anak-anak itu bisa tetap mendapatkan pekerjaan dan menghidupi keluarga mereka, dan melanjutkan hidup,” pungkasnya.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang PRABOWO-GIBRAN