• Kolom
  • Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #19: Batu Nisan yang Pecah

Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #19: Batu Nisan yang Pecah

Kherkof Kebon Jahe berubah menjadi GOR Pajajaran. Nisan Elisabeth Adriana Hinse-Rieman menjadi saksi bisu bagaimana sejarah perkembangna Kota Bandung.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Mausoleum keluarga Ursone, juragan peternakan sapi perah di Lembang, di TPU Pandu, Kota Bandung, Minggu (6/6/2021). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

24 Februari 2025


BandungBergerak.idPada sejarah perkembangan Kota Bandung ada satu periode di mana Kota Kembang mengalami angka kematian yang tinggi pada anak usia balita yang disebabkan oleh wabah kolera. Jasad-jasad balita tersebut dimakamkan di halaman atau di kebun belakang rumah. Hal itu menyebabkan Bandung disebut sebagai kuburan anak-anak  atau kinderkherkof. 

Sampai akhirnya ada satu peraturan di dalam Bowverrordening van Bandoeng tentang peraturan permukiman dan penataan ruang terbuka, termasuk taman-taman dan kompleks pemakaman. Setelah itu dibangunlah taman-taman kota serta area permakaman umum. Dan warga tidak lagi diperbolehkan memakamkan keluarganya di area rumah masing-masing, tapi di suatu tempat yang sudah ditentukan. Area permakaman yang dibangun saat itu terbagi menjadi permakaman muslim, Tionghoa, serta permakaman Belanda, dan Eropa. Salah satu area permakaman bangsa Belanda dan Eropa adalah Kherkof Kebon Jahe yang terletak di sebelah utara Ciguriang.

Kherkof Kebon Jahe

Di masa kanak-kanak saya di tahun 1980-an masih ada akses untuk bisa masuk ke area bekas Kherkof Kebon Jahe. Saat itu sudah terbangun sebuah tempat olahraga walaupun belum seperti yang kita kenal saat ini. Tapi generasi kami masih menyebutnya Kerkop. Anak-anak laki-laki sering menjadikan tempat ini sebagai arena untuk bermain bola atau bermain layangan.

Tidak terbayang bahwa lahan seluas itu dulunya adalah area permakaman. Hanya saja cerita-cerita orang tua yang melarang kami untuk keluar main selepas maghrib karena konon nanti ada penampakan sinyo atau noni Belanda cukup meyakinkan kami. Selain itu satu patung marmer bergaya Eropa pernah kami lihat tergeletak begitu saja di area dekat rumah kami, dan katanya itu adalah bagian dari nisan di kherkof Kebon Jahe.

Us Tiarsa, dalam bukunya "Basa Bandung Halimunan" bercerita secara khusus tentang tempat ini. Sastrawan Sunda ini melukiskan dengan detail gambaran suasana makam di mana makam-makam yang kokoh berdiri di sana, berpagar besi, atau beratap seng juga beton. Suasana permakaman seperti kota-kota di Eropa yang menarik warga untuk menjadikannya sebagai tempat nongkrong melepas lelah, serta tempat bermain untuk anak-anak mereka.

Jalan setapak yang diberi batuan kerikil, pepohonan peneduh, dan tanaman bunga memperindah suasana. Apalagi di makam yang juga berkelas-kelas ini juga banyak dihiasi marmer beraneka kualitas juga warna, patung-patung malaikat, bidadari, serta patung Yesus banyak didapatkan di sana, membuat nuansa dan suasana Eropa begitu terasa. Patung-patung yang terbuat dari porselen dan marmer itu dibuat dengan berbagai bentuk, pose, dan ukuran, dari sebesar lengan anak kecil sampai seukuran tinggi orang dewasa. Itu di komplek permakaman kelas satu.

Di area makam kelas dua, nisan kebanyakan menggunakan batu granit, tanpa atap, jika menggunakan atap pun tidak semewah nisan di kelas satu. Dan di area kelas tiga, makin ke selatan, makam makin sederhana, malah banyak makam yang dibangun begitu saja tanpa diberi tanda yang Istimewa. Tapi tetap saja tempat ini menjadi tempat yang menarik bagi warga di sekitarnya.   

Berbagai usia menjadikan area permakaman itu sebagai tempat berbagai aktivitas; anak-anak kecil berlarian, bermain bola, berlompatan di antara makam; mereka yang beranjak remaja bersepakat menjadikan permakaman ini sebagai tempat bertemu dan menjalin kasih, sementara yang lebih dewasa dan kaum tua memilih untuk sekadar duduk-duduk di antara batu-batu nisan yang indah. Beberapa memunguti pecahan nisan yang terbuat dari marmer untuk dibuat kelereng atau memoles biji kenari. Tak ada yang asyik sendiri bermain gawai seperti saat ini. Tapi semua bergerak melakukan berbagai  aktivitas.  

Baca Juga: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #16: Abah Ilim Jadi Panutan di Mata Keluarga dan Tetangga
Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #17: Mitos Menjaga Mata Air
Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #18: Cai dan Guriang

Dobi, Ciguriang, dan Nisan Elisabeth

Saat masih kanak-kanak saya sering ikut Abah Ilim mencuci di Ciguriang. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah satu alas mencuci (panggilesan-Sunda) yang berupa batu berukuran besar dengan huruf kapital yang berderet, bertuliskan nama seorang perempuan. Nama itu berbau Eropa. Saya pernah bertanya pada ibu saya mengenai nisan ini, jawabannya saat itu hanya menyebutkan bahwa itu adalah “batu kuburan Belanda dari Kerkop”. Karena ukurannya yang besar, kami anak-anak sering berbaring di atas batu nisan itu. Enak, adem.  

Bertahun-tahun bahkan puluhan tahun batu nisan itu menemani aktivitas warga. Tak ada seorang pun yang berniat merusaknya karena kami sangat merasakan manfaat batu nisan itu dalam aktivitas mencuci kami sekeluarga. Sampai saya dewasa dan berkeluarga, nisan itu tersimpan di sana walaupun sudah tidak banyak warga yang menggunakan Ciguriang sebagai tempat utama kegiatan mencuci karena volume air yang semakin menurun.

Sampai di suatu saat pada tahun 2016, saya yang waktu itu tidak tinggal di Ciguriang melihat salah satu tulisan di media sosial tentang keberadaan nisan Elisabeth Adriana Hinse-Rieman di mata air Ciguriang, serta merta kenangan masa kecil itu kembali saya buka. Ternyata nisan itu adalah milik seseoranng yang tidak biasa-biasa saja pada masa hidupnya. Elisabeth Adriana adalah istri dari DW. Hinse J.Hz., seorang arsitek yang mengepalai Pembangunan Gedung Het Hoofdkaantoor Van de NederlanschIndische Maatschappij te Semarang atau Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta di Semarang, (Tjahjono Rahardjo). Gedung kantor pusat itu sekarang kita kenal sebagai Lawang Sewu.

Elisabeth Adriana Hinse-Rieman dalam tulisan pada nisan tertulis meninggal di Bandung pada tanggal 13 Januari 1903. Dan menurut beberapa sesepuh, nisan itu berpindah dari Kebon Jahe ke Ciguriang sekitar tahun 1960-an ketika terjadi pembongkaran dan pemindahan makam dari Kherkof Kebon Jahe yang saat itu akan dibangun menjadi GOR Pajajaran.

Setelah berita tentang keberadaan nisan itu di Ciguriang, entah bagaimana ceritanya ada upaya pemindahan nisan dari sana. Lalu berita yang kemudian saya dapatkan, nisan itu jatuh dan terpecah setelah disimpan dalam posisi berdiri. Menyedihkan.

Saya berandai, andai saja nisan tetap dibiarkan dan diberikan edukasi pada warga lokal tentang sejarah nisan tersebut, atau kalaupun ada pemindahan, hal itu dilakukan oleh orang yang paham bagaimana memperlakukan benda bersejarah, mungkin batu nisan Elisabeth Adriana Hinse-Rieman ini akan mampu bercerita lebih banyak. Andai saja... .  

*Kawan-kawan yang baik dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Ernawatie Sutarna, atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//