• Narasi
  • AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #10: Bersama Perempuan-perempuan yang Membebaskan Diri dari Belenggu Ragam Penindasan

AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #10: Bersama Perempuan-perempuan yang Membebaskan Diri dari Belenggu Ragam Penindasan

Di hadapan berbagai ketidakmungkinan, Gadis Pantai tetap menatap mata orang-orang yang merenggut penghidupannya dengan berani.

Claudia Destianira

Pekerja sosial yang bercita-cita menjadi penulis buku dan perajut handal

Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

6 Maret 2025


BandungBergerak - “Dahulu aku punya anggapan, yakni waktu berumur duapuluhan, bahwa orang yang cukup menjadi manusia yang baik kalau dia menjadi pasifis yang baik. Ternyata anggapan itu keliru, karena manusia itu ada justru karena keterangan dirinya sebagai manusia. Sedang keterangan diri itu meliputi seluruh kehidupan: kebudayaan, peradaban, tradisi, sejarah, cita-cita dan kenyataannya, kondisi fisik dan psikis, ekologi.” (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, halaman 290)

Jika tidak dikenalkan pada karya Pramoedya Ananta Toer oleh salah satu penjual buku di dekat kampus tempat saya pernah merajut jaringan otak lewat triangulasi ragam informasi, saya mungkin tidak akan mengerti apa-apa tentang feodalisme dan patriarki. Kini, dalam buku fiksi maupun dunia nyata, saya melihat bagaimana feodalisme, kapitalisme kolonial, dan patriarki masih menggerus keberdayaan orang-orang dalam penindasan. Termasuk perempuan yang direntankan oleh ragam ketidaksetaraan.

Apa yang diceritakan Pram dalam buku-bukunya belum pernah saya temui sebelumnya di dalam dinding-dinding kelas sewaktu sekolah. Dari sana saya belajar bagaimana upaya menjadi manusia seutuhnya, manusia yang bermartabat yang hidup sekaligus menghidupi kemanusiaan, adalah perjalanan tanpa akhir. Dari tokoh-tokoh perempuan yang ditulisnya, saya semakin yakin bahwa setiap perempuan berhak membebaskan dirinya dan sesamanya dari belenggu penindasan.

Baca Juga: AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #9: Menulis Setelah Bumi Manusia
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #8: Melihat Wajah Bangsa dari Cermin Gadis Pantai

Oti dalam Arok Dedes: Setiap Perempuan Berhak Hidup Bebas

“Di pulaunya tak ada orang pernah didewikan atau didewakan. Orang berperang dan mati, mengaduk hutan dan laut tanpa pernah jadi budak. Orang berladang, menangkap ikan, mencari telor penyu untuk seluruh kampung. Orang bersesaji hanya untuk para leluhur. Di sini (Tumapel) semua untuk dua orang itu saja (Dedes dan Tunggul Ametung)...Dan semua kebesaran hanya milik para dewa.” (Arok Dedes)

Oti, seorang budak di Tumapel, menyaksikan bagaimana kenyataan hidupnya berbeda jauh dengan Dedes. Dedes, yang saat itu adalah seorang istri Akuwu, hidup bergelimang kemudahan. Sementara Oti, yang sehari-hari dijual dari satu pemilik ke pemilik lain, memimpikan kebebasan atas perbudakannya.

Walau tampak berbeda, kebebasan Oti dan Dedes sama-sama direnggut oleh feodalisme dan patriarki.

Oti menyadari, penindasan terhadap dirinya dan para budak lainnya membuat mereka semakin sulit keluar dari perbudakan. Tak ada siapa pun, termasuk budak laki-laki, yang dapat menebusnya, sedang mereka juga tak mampu menebus dirinya sendiri.

Hari ini, jika Marx menulis lagu untuk Agnes Monica, liriknya sudah pasti ‘Cinta ini, kadang-kadang tak ada logistik…’ Saat kelas pekerja berjibaku dengan inflasi dan komodifikasi kebutuhan dasar demi pengumpulan kekayaan segelintir orang, saya bisa memahami kemarahan dan kelelahan Oti.

Sebagai perempuan kelas pekerja yang bergelut dengan upaya menyintas kekerasan seksual, waktu-waktu yang saya butuhkan untuk memroses serangkaian ketidakadilan terhadap diri maupun sekitar terpaksa digadai untuk mengejar penghidupan yang layak. Bagaimana bisa kita dipaksa berjarak dengan hal-hal yang membelenggu kemanusiaan kita, sedangkan pembebasan bagi manusia adalah mencintai diri, orang lain, dan alam, tapi bahkan untuk diri sendiri pun tak sempat? Oti, dan setiap orang yang berjuang di hadapan sistem kapitalistik yang menuntut semua orang untuk berfungsi sambil di saat yang sama menggerus kapasitas kita untuk berfungsi, berhak bebas dari siklus kejam ini.

Sampul buku Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak)
Sampul buku Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, koleksi Perpustakaan Bunga di Tembok. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak)

Gadis Pantai: Setiap Perempuan Berhak Hidup Bermartabat

Buku kedua yang saya baca dari koleksi karya Pram berjudul Gadis Pantai. Berbulan-bulan setelah menamatkannya, saya baru tahu bahwa buku itu adalah buku pertama dari sebuah calon trilogi yang tak rampung akibat dijegal vandalisme politik dalam kurun waktu rezim Orde Lama hingga Orde Baru. Negara, bukan hanya ingin kita lupa, tetapi juga ingin agar kita tak tahu-menahu tentang pembatasan dan kekerasan yang ditahbiskan demi kekuasaan.

Gadis Pantai, yang kemudian menjelma menjadi Mas Nganten, punya kegigihan dan kekuatan yang tak terpatahkan. Bahkan, dia tegar saat berada di lingkungan bangsawan yang hidup makmur dari mengisap penghidupan warga kampung nelayan seperti dirinya dan keluarganya.

Dia dikawinkan paksa karena keluarganya terlilit utang, direbut kebebasannya, tidak didengar, dipisahkan dari anak kandungnya sendiri, dan diusir dari rumah tempat dia melahirkan.

Saya bisa melihat sekeping kehidupan saya tercermin dalam kisahnya. Saya bisa memahami kemarahan-kemarahan Gadis Pantai, seorang anak dari sebuah kampung nelayan, yang dipandang sebelah mata oleh suaminya, Bendoro yang seorang priyayi.

Gadis Pantai, yang merupakan interpretasi Pram tentang cerita neneknya sendiri, ada dalam diri setiap orang yang berjuang untuk membuat hidupnya menjadi miliknya sendiri. Sejak menyadari keteguhan Gadis Pantai, secercah keberanian dalam diri saya untuk merasa berhak hidup sebagai manusia yang setara dengan siapa pun, tumbuh.

Membaca Pram adalah Melawan Internalisasi Ragam Penindasan

Dari karya-karya Pram, saya merawat harapan dan mengumpulkan tenaga untuk membayangkan bahwa dari kenyataan pahit dalam kisah-kisahnya, tersirat bagaimana dunia saat ini semestinya tak berujung seperti dalam buku-bukunya. Saya juga menumbuhkan keberanian untuk mendambakan kehidupan yang lebih baik dari sekadar bernapas di bawah belenggu penguasa yang hidup dari memangkas penghidupan kita lewat berbagai kebijakan yang luput dari keberpihakan pada keadilan.

Di hadapan berbagai ketidakmungkinan, Gadis Pantai tetap menatap mata orang-orang yang merenggut penghidupannya dengan berani. Di masa kini, masa ketika kita masih butuh setidaknya 130 tahun untuk mencapai kesetaraan gender, kisah dan perlawanan Gadis Pantai, Oti, dan Dedes memberanikan saya untuk menyatakan kebenaran dengan lantang sekalipun berada dalam situasi yang tidak ideal sekalipun.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Buku atau tentang Pramoedya Ananta Toer

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//