Perempuan dalam Bayang-bayang Agama, Perspektif Buddhis dan Bahai
Budaya patriarki turut memojokkan posisi perempuan. Kultur ini diperkuat istilah atau doktrin-doktrin masa lampau yang membuat perempuan tak dihargai.
Penulis Fauzan Rafles 7 Maret 2025
BandungBergerak.id - Jaringan Kerja Antarumat Beragama atau Jakatarub, Gender Research Student Center (Great), Iteunggugat, dan WCC Pasundan Durebang akan membuat diskusi berseri tentang spiritualitas yang erat dengan pengalaman ketubuhan seseorang, khususnya tentang perempuan dan agama. Banyak istilah atau doktrin-doktrin masa lampau yang membuat perempuan tidak dihargai dalam agama.
‘Perempuan’ dan ‘agama’, dua kata benda yang sering dianggap sensitif oleh kebanyakan manusia. Banyak kebebasan atau hak perempuan yang dibelenggu khususnya oleh para penganut kebudayaan patriarki. Dari sudut pandang kepercayaan Buddha, agama mereka berkembang saat patriarki tengah merajai keadaan sekitar.
Setelah Buddha Gautama wafat, agama Buddha jadi terbagi tiga mazhab. Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Perbedaan geografis, penafsiran, dan filosofis tentu menjadi faktor yang memengaruhi hal ini terjadi.
“Setelah banyaknya pergerakan dan perkembangan peradaban, wanita mulai dianggap setara dalam ajaran Buddha. Mereka boleh memimpin, boleh menjadi penasihat, atau juga jadi pemuka agama yang kerap dipanggil bhikkhuni,” jelas Diantika, pengisi acara sekaligus perwakilan agama Buddha untuk sesi diskusi “Ruang Kebebasan atau BELENGGU? Perspektif Perempuan Bahai dan Buddhis” di Tembok, Bandung, Kamis, 6 Maret 2025.
Wanita dianggap setara dengan laki-laki di agama Buddha. Namun, untuk menjadi bhikkhuni sendiri mereka memiliki beberapa langkah yang harus dilalui. Yaitu, setelah ibu tiri Buddha yaitu Mahapajapati Gotami memohon untuk ditahbiskan, Buddha mengabulkan permohonanya dengan syarat khusus yang disebut Garudhamma. Garudhamma adalah delapan aturan berat yang harus dipatuhi oleh bhikkhuni, yang membedakan mereka dari biksu.
Namun, perjalanan wanita di agama ini belum terlalu mulus. Beberapa di antara bhikkhuni, bahkan yang telah 100 tahun ditahbiskan, harus memberi hormat kepada biksu, bahkan yang baru ditahbiskan. Biksuni juga tidak boleh menasihati biksu, tetapi biksu boleh menasihati biksuni.
“Ternyata, dari analisisnya, Buddha memberikan aturan demikian adalah agar perempuan dapat diterima. Jadi yang awalnya perempuan itu harus menikah, akhirnya boleh untuk tidak menikah. Dan banyak yang jadi bhikkhuni adalah janda,” kata Diantika kepada para peserta diskusi di Perpustakaan Bunga di Tembok.
Menurut pandangannya, hal seperti itu juga diadakan untuk memvalidasi kebebasan wanita. Tidak heran, Buddha di masa kini memperbolehkan wanita untuk menjadi pemimpin keagamaan.
Sejauh mana perempuan dilibatkan dalam praktik agama Buddha?
“Dalam Buddha, perempuan boleh ceramah, boleh memimpin ibadah bahkan ketika menstruasi. Intinya agama ini tuh sekarang sudah menyetarakan antara laki-laki dan perempuan,” jelas Dianika.
Buddha juga tidak terpatri antara baik dan buruk saja. Ajarannya mengacu pada niat setiap individu. Termasuk dalam konteks seksualitas wanita. Bagi mereka tidak ada larangan tertulis untuk mengaborsi kandungannya. Jika dikerjakan dalam niat kebaikan maka hal itu dapat diperbolehkan.
Untuk di Indonesia sendiri, masih banyak ketimpangan atau pandangan buruk terhadap agama Buddha. Apalagi, bila penganutnya adalah seorang wanita. Mereka bukan lagi dianggap berbeda. Mereka sampai bisa dianggap aneh dan dihina sebagai penyembah berhala.
Perempuan-perempuan di dalam agama Buddha sudah banyak melalui ujian. Dari mulai agama mereka berkembang, mereka sudah harus dihajar oleh aturan-aturan yang berkutat hanya pada pria.
Ketika generasi sudah berganti. Zaman pun sudah berkembang. Mereka harus menghadapi cemoohan sosial karena hidup sebagai minoritas. Perjuangan mereka seakan seperti kerja keabadian.
Tidak hanya di Indonesia, di Myanmar, perjalanan para bhikkhuni untuk mendapatkan pengakuan dan hak yang setara tidaklah mudah. Salah satu kasus yang cukup dikenal adalah penahanan para bhikkhuni yang dianggap melanggar aturan pemerintah terkait dengan kegiatan keagamaan.
Mereka ditahan karena mengadakan upacara penahbisan atau kegiatan keagamaan lainnya yang tidak disetujui oleh pihak berwenang. Situasi ini mencerminkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh bhikkhuni di Myanmar.
Mereka berjuang untuk mempertahankan tradisi dan praktik keagamaan mereka di tengah tekanan dan pembatasan dari pihak berwenang. Mereka menjadi simbol perlawanan dan harapan bagi banyak orang yang memperjuangkan hak-hak mereka.
Kebebasan berekspresi sebagai wanita kian berkembang dalam ajaran Buddha. Mereka tidak membatasi gender dalam ritual keagamaan. Aturan jelas yang melarang aktivitas keduanya hanyalah dilarangnya biksu untuk berduaan dengan wanita dalam ruang tertutup. Selebihnya, mereka hidup dalam ketenteraman dan kebermanfaatan.
Dalam ajaran Buddha, secara prinsip, tidak ada pembatasan jenis kelamin untuk mencapai tingkat pencerahan tertinggi. Namun, dalam sejarah yang tercatat, semua Sammasambuddha yang dikenal adalah laki-laki. Sammasambuddha adalah seorang Buddha yang telah mencapai pencerahan sempurna (SammÄ-sambodhi) melalui usahanya sendiri.
Wanita dari Sudut Pandang Bahai
Tidak banyak berbeda dengan agama Buddha, ajaran Bahai yang lahir di Persia (yang sekarang dikenal sebagai Iran) pada pertengahan abad ke-19 [sebuah era yang penuh dengan gejolak sosial dan keagamaan], memandang laki-laki dan perempuan seperti sayap burung. Keduanya saling melengkapi untuk membantu burung itu terbang.
Pada zaman berdirinya Bahai perempuan masih tertinggal pendidikannya. Maka dari itu, misi dari umat Bahai adalah mengedepankan pendidikan untuk perempuan.
“Soalnya di agama ini tuh kita punya keyakinan kalau perempuan yang sudah berkeluarga, mereka bakal jadi guru pertama buat anaknya. Makanya agama ini sangat menjunjung tinggi pendidikan buat wanita,” jelas Venus sebagai pembicara perwakilan agama Bahai.
Agama Bahai sendiri tidak memiliki pemuka agama layaknya ustaz di kalangan muslim. Tetapi, mereka memiliki majelis. Majelis itu bisa diisi oleh perempuan. Jadi perempuan bisa jadi pemimpin lembaga untuk acara-acara keagamaan.
Dari sudut pandang agama Bahai sendiri dibebaskan bagi setiap perempuan untuk tidak sembahyang dalam keadaan menstruasi karena unsur kesehatan. Mereka juga puasa layaknya umat muslim. Namun, mereka hanya berpuasa selama 19 hari.
Dalam ajaran agama Baháí, manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi: material dan rohani. Dimensi material adalah tubuh fisik manusia. Dimensi rohani adalah jiwa yang abadi dan merupakan esensi sejati dari keberadaan umat manusia.
Konsep ini menekankan bahwa manusia bukan sekadar makhluk fisik, tetapi juga memiliki potensi rohani yang besar. Jiwa manusia dipandang sebagai cermin yang memantulkan sifat-sifat Tuhan, seperti cinta, keadilan, dan kebijaksanaan.
Meski agama ini banyak mengajarkan kesetaraan gender. Namun, kata Venus, banyak hal yang dilakukan tidak semudah aturan tertulisnya.
“Kalau di Bahai, tantangannya itu ternyata tidak semulus ajarannya. Biasanya juga aksinya masih terikat ajaran budaya yang patriarki dan itu juga lumayan mempersulit kami sebagai wanita gitu,” kata Venus.
Salah satu contoh masih ada sedikit pengaruh patriarki di dalam agama Bahai di Indonesia adalah penokohan terhadap laki-laki masih kental. Walaupun dalam ajarannya wanita dibebaskan untuk bergabung dengan majelis dan memimpin komunitas.
Agama ini juga memiliki prinsip persatuan yang sangat kuat. Makanya, mereka tidak memiliki jejaring di berbagai regional. Menurut mereka, prinsipnya hanyalah satu yaitu Bahai.
Namun, untuk ruang kebebasan beragama dalam perempuan, di Iran ada satu NGO sebagai simbol ketahanan dan harapan di tengah penindasan. Organisasi ini menunjukkan bahwa dalam kondisi yang paling sulit, semangat manusia untuk belajar dan berkembang tidak dapat dipadamkan.
Venus juga memiliki tokoh perempuan yang menurutnya sangat berpengaruh dalam agama Bahai adalah Táhirih. Perempuan yang lahir dengan nama Fátimih Baraghání, adalah sosok yang sangat luar biasa dan kontroversial pada abad ke-19 di Persia.
Ia mempertanyakan interpretasi tradisional dari ajaran agama dan norma-norma sosial yang menindas perempuan. “Beliau itu sangat menentang kalau perempuan itu gak boleh ikut beribadah. Dan akhirnya dia bisa jadi ikut beribadah setelah mengenal ajaran Bábí,” ujar Venus.
Baca Juga: Memahami Status Kepemilikan GSG Arcamanik yang Difungsikan untuk Peribadatan Umat Katolik dan Kegiatan Warga Sekitar
Perebutan Pengaruh Partai Politik Berhaluan Agama dan Nasionalis di Jawa Barat Menjelang Pemilu 2024
Agama dan Ekologi: Mencari Keseimbangan Harmonis antara Kemanusiaan dan Alam Semesta
Diskusi yang Lahir dari Keresahan dan Memori Pilu
Diskusi ini diadakan Jakatarub, Great, dan Iteunggugat didukung oleh WCC Pasundan Durebang. Acara ini terdiri dari lima sesi. Dan sesi kedua ini adalah sesi Perempuan dan Agama: Ruang Kebebasan atau BELENGGU? Perspektif Perempuan Bahai dan Buddhis.
Diskusi ini memberi ruang bagi mereka yang memiliki sejarah kelas terkait perihnya pandangan masyarakat terhadap minoritas. Bagi Dianika, ia pernah dirundung saat masih SD karena dianggap sebagai penyembah patung.
Sisi lain, Venus juga pernah menjadi korban rasisme saat bersekolah. Semasa sekolah hingga kuliah ia tidak dapat mengemukakan agamanya. Jika ia melakukan hal itu, ia akan kesulitan mendapat nilai dan dikecam oleh masyarakat mayoritas.
Lewat diskusi ini, diharapkan masyarakat dapat memposisikan dirinya untuk tidak lagi memandang manusia sebagai hama atau bahkan hewan hanya karena berbeda. Berbeda bukan berarti jahat. Sesama manusia, seperti yang kedua agama (Buddha dan Baha’i) ajarkan, adalah sama-sama mahluk Tuhan.
Seperti kata Aziz, salah satu peserta diskusi yang juga mewakili sudut pandang pria dalam acara ini:
“Saya juga tidak setuju bila wanita disamakan sebagai benda mati. Dan sebagai pria, saya juga gak setuju kalau disamain kayak hewan. Harusnya manusia lebih aware lagi dalam kasus ini. Dan kisah-kisah kelam yang terjadi sama Kak Dian dan Kak Venus jangan sampai terulang lagi di zaman sekarang.”
Setidaknya juga, ada sekitar 26an orang yang telah hadir di acara ini sudah terbuka pikirannya. Orang-orang tersebut diharapkan dapat menyebarkan kepada khalayak bahwa perbedaanlah yang seharusnya justru menjadi keindahan dan keharmonisan hubungan antarumat manusia.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Agama