Pendidikan, Pekerjaan, dan BPJS Sulit Dijangkau Para Transpuan Bandung
Bandung sebagai kota inklusif masih sebatas impian. Kenyataannya banyak kebijakan yang belum ramah pada kelompok minoritas gender.
Penulis Yopi Muharam15 Maret 2025
BandungBergerak.id - Kehidupan yang inklusif terasa jauh panggang dari api bagi transpuan di Bandung. Mereka masih bergelut dengan persoalan mendasar, mulai dari kesulitan mengakses layanan pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan. Diskriminasi membayangi kehidupan mereka sehari-hari.
Menyoal masalah pendidikan, banyak siswa transpuan tertekan akibat diskriminasi yang menimpanya di sekolah. Akhirnya, banyak trans yang putus sekolah. Mereka enggan melanjutkan pendidikan sebab merasa tidak ada yang menerimanya.
Abel Bilbina, Program Officer Inklusi dari Srikandi Pasundan mengatakan, komunitasnya sudah berupaya membujuk para transpuan agar mau melanjutkan sekolah. Mereka yang putus sekolah didorong untuk mengikuti Paket C, program pendidikan setara Sekolah Menengah Atas (SMA/MA).
Namun, Abel mengungkapkan, banyak transpuan yang sudah putus asa untuk mendapatkan ijazah sekolah. “Buat apa, lagian lapangan pekerjaan untuk kita pasti sulit,” ujar Abel, dalam “Pertemuan Multi Pihak (untuk Mendukung Program Inklusi Kelompok Minoritas)”, di Hotel California, Bandung, Kamis, 13 Februari 2025.
“Kita juga kan kerja enggak pake ijazah,” lanjut Abel. Ketiadaan lowongan kerja bagi transpuan menyulitkan mereka untuk bertahan hidup. Banyak transpuan yang memilih bekerja di salon-salon, tetapi tak jarang yang terpaksa menjadi pekerja seks komersial.
Srikandi Pasundan sedang melakukan pendataan terhadap transpuan di Kota Bandung. Terkakhir, Januari 2025 mereka mencatat ada 231 transpuan. Data ini akan terus bertambah seiring dengan masih berlanjutnya pendataan.
Dari total 231 transpuan, Srikandi Pasundan memetakan ada sekitar 39 orang transpuan yang tidak tamat sekolah/tidak mempunyai ijazah, sedangkan 7 orang transpuan lainnya lulus pada tingkat sekolah dasar, 14 orang transpuan hanya sekolah sampai sekolah menengah pertama, 16 orang transpuan berpendidikan SMA, dan hanya 2 orang yang tercatat sebagai diploma.
Pertemuan Multi Pihak itu dihadiri Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bandung, beserta berbagai komunitas lainnya. Akan tetapi, tidak ada perwakilan dari Dinas Pendidikan yang mengindikasikan bahwa pimpinan di Dinas Pendidikan di Kota Bandung masih belum menerima keberadaan transpuan.
Abel sendiri pernah mempunyai pengalaman tidak mengenakan saat mendatangi acara yang diselenggarakan Dinas Pendidikan. “Padahal acara belum mulai, tapi pas aku dateng, mereka sudah menatap aku dari bawah hingga atas,” tutur Abel. Menurutnya tindakan itu membuatnya sangat tidak nyaman.
Menurut Abel, edukasi menyoal keberagaman gender harus ditanamkan sejak sekolah. Alasannya ialah agar para transpuan tidak lagi mendapat diskriminasi di sekolahnya. Banyak dari mereka yang masih menyembunyikan identitas mereka, bahkan hingga lulus sekolah.
Pernah juga beberapa kali Srikandi Pasundan mengajak kolaborasi dengan pihak sekolah di Kota Bandung, namun nihil. Banyak sekolah yang menilai tujuan dari Srikandi Pasundan menyebarkan paham LGBTQ+.
“Padahal kan kita enggak ada maksud ke sana gitu loh,” ungkap Abel kepada BandungBergerak, setelah acara Pertemuan Multi Pihak selesai. “Maksud kita tuh ingin mengedukasi mereka,” lanjutnya.
Tidak Dilindungi BPJS
Banyak dari transpuan tidak memiliki jaminan kesehatan seperti kartu layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan maupun ketenagakerjaan. Tentu bukan tanpa sebab, menurut Abel ada dua alasan permasalahan transpuan tidak memiliki kartu BPJS. Pertama mereka belum memiliki BPJS karena iurannya. Kedua, karena mereka tidak tahu untuk membuat atau mengurusnya.
Layanan kebutuhan sosial juga sulit diakses para transpuan. Contohnya, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang merupakan data induk di bawah pengelolaan Kementerian Sosial (Kemensos) untuk masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan sosial.
Untuk mendaftar DTKS sebetulnya ada dua cara, yaitu melalui aplikasi online atau datang ke kantor desa/kelurahan setempat dengan membawa KTP dan KK. Cara kedua ini sering diupayakan Srikandi Pasundan untuk membantu para transpuan yang membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah.
Salah satu hambatan untuk membuat DTKS ialah mengubah kolom pekerjaan di KTP. Banyak dari transpuan memilih KTP dengan kolom pekerjaan sebagai pekerja swasta. Padahal syarat untuk masuk DTKS ialah harus buruh harian atau semacamnya.
Fasilitator Pertemuan Multi Pihak yang juga pengurus Srikandi Pasundan Bebi mengatakan, banyak transpuan yang tidak tahu persyaratan mengurus KTP. Masalah selanjutnya ialah stigma yang menghambat mereka saat mengurus persyaratan administrasi di level RT/RW. Para transpuan sering dipandang berbeda di lingkup terkecil masyarakat tersebut.
“Karena dengan dia minta surat ke RT/RW mungkin membuat stigma baru, ya,” ungkap Bebi.
Srikandi Pasundan mencatat, dari 231 transpuan di Bandung hanya 40 orang yang mendapatkan kartu BPJS dan 15 yang terdaftar di DKTS. Setengahnya dari itu tidak memiliki akses terhadap keduanya. Bahkan sebagian yang lainnya masih belum meiliki KTP.
Menyoal DTKS, perwakilan dari Dinas Sosial Kota Bandung Rizki Zaenal menjelaskan, tidak ada perbedaan dalam menenangani DTKS. Pertama-tama, masyarakat atau transpuan harus mendaftarkan diri terlebih dahulu melalui prosedur yang berlaku. Mulai dari tingkat RT, RW, keluharan hingga kecamatan. Dari sana DTKS tidak lansung ditetapkan kepada masyarakat. Harus ada musyawarah terlebih dahulu mulai dari tokoh masyarakat hingga pekerja sosial masyarakat.
Setelah itu, masyarakat yang terdaftar akan dicek terlebih dahulu. Jika lolos, maka akan masuk ke tahap berikutnya, yaitu penyerahan daftar ke Kementerian Sosial melalui Dinas Sosial atau Pemerintah Kota Bandung untuk mendapatkan surat keterangan (SK). “Jadi butuh proses, enggak bisa gini mudahnya,” terang Rizki.
Dia menegaskan, jika transpuan ingin mendapat bansos, misalnya, maka dia harus mengikuti semua alur prosedur itu.
Asri, perwakilan dari Disdukcapil menambahkan, perubahan kolom kerja di KTP memang tidak bisa serampangan. “Jadi harus ada dokumen pendukung,” ungkapnya.
Namun ia menjanjikan pihaknya siap membantu untuk membuatkan KTP kepada para transpuan, sekaligus mendaftarkan di Identitas Kependudukan Digital (IKD). Meskipun digital, dalam pembuatan IKD ini masyarakat juga bisa langsung datang ke kecamatan untuk dibantu dalam pendaftarannya.
Baca Juga: PROFIL SRIKANDI PASUNDAN: Wadah Aspirasi dan Aksi Transpuan Jawa Barat
SUARA PINGGIRAN: dari Srikandi Pasundan untuk Teman Transpuan
Mendorong Kebijakan Inklusif
Terkait alur birokrasi yang ribet, Ira dari Women Crisis Center Pasundan Durebang mengatakan, harus adanya kebijakan yang ingklusif bagi semua pihak, khususnya yang melayani kelompok-kelompok rentan seperti transpuan. Masalahnya, kerap kali kebijakan inklusif hanya ditujukan kepada kelompok rentan tertentu dan tidak untuk kelompok rentan lainnya. Padahal, kata Ira, inklusi sosial merupakan ruang bersama untuk semua kelompok termasuk kelompok gender minoritas.
Terkait pendataan, Dinsos atau kelurahan seharusnya tidak hanya memasukan kelompok miskin saja yang layak mendapat bantuan. Kelompok gender minoritas yang membutuhkan bantuan seharusnya bisa mendapatkan hak tersebut.
Ira mengingatkan, pemerintah harus menjamin kebutuhan seluruh warga negaranya. Negara harus melayani semua golongan. “Jaminan itu harus dari negara memang,” tegasnya.
Di sisi lain, Ogan Akbar, perwakilan dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Bandung mengatakan, keberhasilan melaksanakan kebijakan yang inklusif merupakan tugas bersama. Terlebih dalam ruang pendidikan.
“Kebijakan mana yang sudah tidak relevan dan itu harus diganti,” ujar Ogan.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Yopi Muharam, atau artikel-artikel tentang Transpuan Bandung