Kami Bersama Tempo Melawan Teror Kepala Babi
Teror kepala babi kepada jurnalis Tempo untuk menciptakan ketakutan agar pers tidak bersuara kritis terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
Penulis Tim Redaksi21 Maret 2025
BandungBergerak.id - Dukungan organisasi pers dan masyarakat sipil kepada Tempo yang diteror kepala babi terus mengalir. Teror yang ditujukan kepada salah seorang jurnalis ini merupakan bentuk nyata serangan terhadap kebebasan pers. Pola teror terus berulang dan meningkat.
Sehari sebelum pengesahan Rancangan Undang Undang TNI satu paket diterima di kantor media Tempo, Jakarta, 19 Maret 2025. Ditujukan kepada salah seorang jurnalis, Francisca Christy Rosana atau Cica, yang baru membukanya sehari kemudian. “Paket itu berisi intimidasi, teror. Bentuknya kepala babi, tapi pesannya jelas: menakut-nakuti,” demikian pernyataan masyarakat sipil yang diterima BandungBergerak, Jumat, 21 Maret 2025.
Masyarakat sipil dalam pernyataan sikap ini terdiri dari seniman, aktivis HAM, pegiat hukum, jurnalis senior, sastrawan, dan lain-lain. Teror terhadap Tempo, utamanya kepada tim siniar “Bocor Alus” Cica dkk tercatat sudah kedua kalinya. Pada 6 Agustus 2024, mobil Hussein Abri Dongoran dirusak orang tak dikenal. Mengesankan aksi kriminal, tapi sesungguhnya teror dan intimidasi.
“Kita pun tidak lupa, meski bertujuan menakut-nakuti, aksi begitu biasanya dilakukan oleh para penakut. Justru pelaku yang sesungguhnya mengidap rasa takut. Plus bukan orang yang kreatif dan tidak tahan adu argumentasi. Di negara yang penguasanya anti-demokrasi, atau setidaknya cenderung anti-demokrasi, orang sudah mafhum bahwa lembaga kekuasaan mengidap ketakutan kronis,” kata masyarakat sipil.
Kekuasaan otoriter atau cenderung otoriter tahu persis bahwa demokrasi itu hakikatnya membatasi kekuasaan. Mengapa? Sederhana, supaya tidak sewenang-wenang. Masyarakat demokratis perlu pers yang independen agar ada kontrol terhadap kekuasaan dari masyarakat. Setelah Reformasi 1998, Indonesia melembagakan pers bebas dan jaminan keselamatan kerja jurnalis melalui Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999.
Masyarakat sipil menyatakan dukungannya kepada Tempo dan menuntut setop aksi pengecut untuk menakut-nakuti jurnalis.
“Atas ancaman dan teror busuk ini kami tidak merasa perlu untuk menuntut pihak keamanan mencari tahu siapa pelakunya, apa motifnya. Kami sulit percaya bahwa aparat keamanan berkehendak untuk berpihak pada rakyat. Hari ini, saat Tempo dikirimi kepala babi, UU TNI disahkan; dan pengkhianatan polisi pada rakyat sudah berbabak-babak. Apa masih patut kami meminta mereka untuk menuntaskan teror busuk atas Tempo?”
Kronologi Tempo Mendapat Kiriman Kepala Babi
Kantor Tempo mendapat kiriman kepala babi, 19 Maret 2025. Kepala babi tersebut dibungkus kotak kardus yang dilapisi styrofoam, ditujukan kepada “Cica”. Di Tempo, Cica adalah nama panggilan Francisca Christy Rosana, wartawan desk politik dan host siniar Bocor Alus Politik.
Paket tersebut diterima satuan pengamanan Tempo pukul 16.15 WIB. Cica baru menerima Kamis, 20 Maret 2025. Cica baru pulang dari liputan bersama Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran. Karena mendapat informasi ada paket kiriman untuknya, ia membawa kotak kardus tersebut ke kantor.
Hussein yang membuka kotak itu. Ia mencium bau busuk ketika baru membuka bagian atas kardus tersebut. Ketika styrofoam terbuka, Hussein melihat isinya kepala babi. Ia dan Cica serta beberapa wartawan membawa kotak kardus di keluar gedung. Setelah kotak kardus sudah dibuka seluruhnya, terpampang di sana kepala babi. Kedua telinganya terpotong.
Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra mengatakan kiriman paket berisi kepala babi tersebut sebagai bentuk teror terhadap kebebasan pers. “Kami sedang menyiapkan langkah-langkah selanjutnya sebagai respons atas kejadian ini,” kata Setri.
YLBHI mengecam keras tindakan teror pengiriman kepala babi dan upaya-upaya pembungkaman lainnya terhadap Tempo dan karya-karya jurnalistiknya. Ini semakin menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara hukum yang demokratis, yang menjamin kebebasan pers.
Serangan dan kekerasan terhadap pers selama ini disikapi dengan lamban dan tidak serius oleh pemerintah dan aparat keamanan. Walaupun dengan ketidakyakinan, akan tetapi YLBHI mendesak agar pemerintah dan polisi bertindak cepat mengungkap dan membawa ke pengadilan siapa pelaku dan dalang dibaliknya.
Desakan AJI dan LBH Pers
Kecaman juga muncul dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers atas ”tindakan intimidasi dan ancaman pembunuhan simbolik dalam bentuk mengirimkan kepala babi” terhadap salah satu jurnalis dan pengisi siniar Bocor Alus Politik Tempo.
”Tindakan ini merupakan bentuk intimidasi dan ancaman pembunuhan simbolik terhadap jurnalis perempuan sekaligus ancaman terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh Tempo sebagai salah satu media yang kritis dan vokal dalam merespon isu-isu publik,” kata pernyataan tertulis AJI Jakarta dan LBH Pers.
Selain itu, pengiriman bangkai kepala babi diduga kuat sebagai bentuk penghalang-halangan kerja jurnalistik dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak 500.000.000 rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Bukan sekadar kepada Tempo, teror ini juga harus dimaknai sebagai serangan dan ancaman bagi kepentingan publik khususnya hak masyarakat atas berita berkualitas di Indonesia. Setali tiga uang, fenomena ini juga bagian dari upaya memberangus fungsi pers yang merupakan lembaga kontrol sosial dan pengawas kekuasaan yang sewenang-wenang.
Baca Juga: Koalisi Kebebasan Berserikat Menolak Pengesahan RUU TNI, Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dikhawatirkan Meningkat
RUU TNI, Penguatan Citra Mesianistis Militer, dan Kenapa Kita Harus Menolaknya
Mahasiswa Bandung Menolak UU TNI dan Militerisme
Solidaritas untuk Tempo dan Kebebasan Pers
Konsorsium Jurnalisme Aman yang terdiri dari tiga organisasi – Yayasan Tifa, HRWG, dan PPMN – juga mengecam aksi teror terhadap media Tempo lewat pengiriman paket berisi kepala babi. Kasus ini menunjukkan pola ancaman yang berulang terhadap jurnalis dan media yang menjalankan tugas jurnalistiknya secara kritis, terutama terhadap pejabat publik atau tokoh politik tertentu.
Temuan Indeks Keselamatan Jurnalis yang dilakukan oleh Yayasan TIFA bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Human Rights Working Group (HRWG) dalam Konsorsium Jurnalisme Aman menggandeng mitra riset Populix terhadap 760 jurnalis di Indonesia sepanjang 2024 menunjukkan bahwa masih terdapat jurnalis yang mengalami kekerasan di masa transisi pemerintahan. Bentuk kekerasan tersebut di antaranya: 24 persen jurnalis mengalami teror dan intimidasi, 23 persen mengalami ancaman langsung, 26 persen mengalami pelarangan pemberitaan, dan 44 persen mengalami pelarangan liputan.
Teror terhadap Tempo menambah daftar panjang tindakan kekerasan dan ancaman terhadap jurnalis di Indonesia. Situasi ini sejalan dengan kemunduran kebebasan pers di Indonesia yang saat ini berada di peringkat 111 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia, turun tiga peringkat dari tahun sebelumnya.
Pengiriman paket berisi kepala babi merupakan bentuk teror terhadap kebebasan pers, mencerminkan kecenderungan negara yang otoriter dan antikritik. Ini sejalan dengan pengesahan RUU TNI. Koalisi Jurnalisme Aman sangat mengutuk keras tindakan ini dan meminta aparat kepolisian untuk mengusut tuntas dan menangkap pelakunya.
“Pemerintah, harus menjamin kebebasan pers dan keselamatan jurnalis di Indonesia," kata Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Oslan Purba.
Senada dengan Oslan, Direktur Eksekutif PPMN Fransisca Ria Susanti mengatakan jika teror terhadap kebebasan pers dibiarkan dan tidak ada upaya dari aparat yang berwenang untuk mengusut pelakunya, maka hal-hal yang lebih buruk bisa terjadi.
“Kita tidak ingin jurnalis, juga masyarakat, hidup dalam ketakutan akan ancaman dan teror hanya karena bersikap kritis terhadap kekuasaan atau punya pandangan berbeda dari pemerintah,” katanya.
“Kami menegaskan bahwa setiap tindakan ancaman, intimidasi, dan kekerasan terhadap media dan jurnalis adalah pelanggaran serius bagi kebebasan pers, demokrasi dan hak asasi manusia yang dijamin dalam UU Pers dan UU HAM. Apalagi, teror dengan kepala babi adalah serangan yang bersifat kultural di masyarakat Indonesia dan pelakunya wajib dipidana dengan UU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis,” kata Direktur Eksekutif HRWG Daniel Awigra.
Konsorsium Jurnalisme Aman menilai, meskipun tidak ditemukan pesan tertulis dalam paket tersebut, simbol kepala babi yang terpotong jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi Tempo dan media lainnya yang selama ini menyuarakan kritik. Secara jelas dalam Pasal 2 Undang-undang Pers No.40 Tahun 1999, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” Kebebasan pers adalah pengejawantahan kekuatan rakyat. Apabila jurnalis dan media terus dirisak, kehidupan bernegara yang demokratis akan menjadi angan belaka.
Menilik situasi di atas, Konsorsium Jurnalisme Aman mendesak:
1. Aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan mengungkap pelaku serta aktor intelektual di balik teror ini.
2. Pemerintah untuk menjamin perlindungan terhadap jurnalis dan media yang menjalankan tugas jurnalistiknya sesuai dengan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999. Terkhusus, Dewan Pers dapat memaksimalkan kewenangannya yang independen untuk terus mengawasi dan mendorong perlindungan kebebasan pers yang substansial.
3. Seluruh elemen masyarakat untuk terus mendukung kebebasan pers dan menolak segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis.
Kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang tidak boleh dikorbankan. Kami tidak akan tinggal diam menghadapi upaya pembungkaman ini. Solidaritas untuk Tempo dan seluruh jurnalis yang terus memperjuangkan kebenaran!
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang kebebasan pers dalam tautan berikut ini