RUU TNI, Penguatan Citra Mesianistis Militer, dan Kenapa Kita Harus Menolaknya
Pemimpin otokratik menggunakan legalitas sebagai topeng untuk membangun kekuasaan yang lebih terkonsentrasi.

Valeri Jehanu
Dosen Hukum Tata Negara dan Anggota Centre for Human Development and Social Justice (ChuDS) Unpar
19 Maret 2025
BandungBergerak - Akhir pekan di bulan puasa, pada tanggal 14-16 Maret 2025, publik dibuat heboh dengan agenda pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Pembahasan yang terkesan sembunyi-sembunyi ini mengisyaratkan gelagat yang tidak terbuka terhadap aspirasi publik. Ditambah lagi, hingga tulisan ini dibuat, naskah resmi RUU TNI tidak dapat ditemukan dalam situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Proses pembentukan Undang-Undang yang demikian berpotensi menimbulkan abusive law making process dan memperkuat watak otokratis dalam proses legislasi. Publik yang kritis pun dituding “kampungan” karena dinilai berlebihan mengaitkan agenda pembahasan RUU TNI dengan bangkitnya militerisme ala Orde Baru. Tulisan ini bertujuan untuk mengembalikan ingatan kita bersama, bahwa proses membangunkan Orde Baru bukan isapan jempol belaka. Setidaknya, hal ini sudah dimulai sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN).
Militerisme Sipil dalam UU PSDN
Dengan mudah kita dapat temukan dari mesin pencari bahwa Presiden Prabowo pada akhir tahun 2024 sempat berujar bahwa narapidana dapat memperoleh amnesti (pengampunan) jika ikut program komponen cadangan. Meski belum ada mekanisme rinci pelibatan narapidana dalam program komponen cadangan, wacana ini berpotensi menimbulkan persoalan militerisme sipil.
Untuk memahami apa yang dimaksud sebagai komponen cadangan, kita perlu membuka UU PSDN. Pasal 1 angka 9 UU tersebut merumuskan definisi komponen cadangan sebagai “Sumber Daya Nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama”. Pengertian komponen utama dalam hal ini adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) itu sendiri. Sederhananya, dalam UU PSDN, segenap unsur pertahanan negara, tidak terkecuali komponen cadangan, dapat dimobilisasi untuk menanggulangi setiap ancaman terhadap pertahanan negara, baik ancaman militer maupun ancaman non militer dan /atau ancaman hibrida.
Beberapa persoalan yang muncul dalam pengaturan komponen cadangan melalui UU PSDN bertalian erat dengan potensi regresi demokrasi dan penyempitan ruang sipil. Pertama, kewajiban warga negara untuk menjadi bagian dari komponen cadangan berpotensi membatasi kebebasan individual. Meskipun UU menyebutkan sifatnya sukarela, namun tekanan sosial dan implikasi ekonomi dapat membuat partisipasi terasa wajib bagi sebagian masyarakat, terutama kelompok rentan seperti halnya para narapidana.
Kedua, pelatihan militer bagi warga sipil dapat mengakibatkan militerisasi sipil. Hal ini membuat khawatir karena dapat menggeser nilai-nilai demokratis menjadi pendekatan yang lebih otoriter dan sarat akan kekerasan dalam penyelesaian konflik sosial. Indonesia yang masih dalam proses konsolidasi demokrasi pasca-Orde Baru perlu waspada terhadap potensi regresi demokrasi.
Ketiga, penggunaan komponen cadangan dalam situasi darurat berpotensi disalahgunakan untuk tujuan politik. Tanpa pengawasan ketat dan transparansi, komponen cadangan dapat dimanfaatkan untuk menekan kelompok oposisi atau mengekang kebebasan berpendapat dan berkumpul.
Keempat, UU PSDN juga tidak memberikan jaminan yang memadai terhadap perlindungan hak asasi komponen cadangan itu sendiri. Ketika warga sipil direkrut ke dalam struktur semi-militer, hak-hak mereka sebagai warga sipil dapat terancam, termasuk hak untuk menolak perintah yang melanggar hati nurani dan hak asasi manusia (conscientious objection).
Kelima, ketentuan UU ini dapat menciptakan sistem pengawasan yang berlebihan terhadap warga negara. Pendataan dan pelatihan komponen cadangan berpotensi menjadi mekanisme kontrol baru yang membatasi ruang gerak masyarakat sipil.
Dengan demikian, tanpa reformasi dan pengawasan yang kuat, pembentukan komponen cadangan berdasarkan UU PSDN berpotensi mengikis kebebasan sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998. Sayangnya, dalam perkembangan pasca diundangkannya UU PSDN di tahun 2019, gejala yang terjadi justru bukan memperkuat reformasi militer. Sebaliknya, kewenangan militer yang besar untuk merekrut sipil dalam operasi militer justru ditambah dengan wacana perluasan wewenang militer dalam RUU TNI.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Kembalinya Militerisme, RUU TNI Melemahkan Supremasi Sipil
Korupsi Koneksitas, Melintas Batas Sipil dan Militer
Otokrasi Legislasi dalam Penyusunan RUU TNI
RUU TNI termasuk dalam program legislasi nasional prioritas tahunan. RUU ini diusulkan oleh DPR dan terakhir diperbarui pada 12 Maret 2025, beberapa hari sebelum aksi kawan-kawan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (Kontras) pada Sabtu, 15 Maret 2025 di Fairmont Hotel Jakarta. Hingga kini, belum ada naskah RUU TNI yang dipublikasikan dan dapat dilacak perkembangannya oleh publik. Agenda tertutup di hotel pada akhir pekan juga mengindikasikan adanya semangat anti partisipasi masyarakat dalam pembahasan dan kelak pengambilan keputusan atas RUU TNI. Praktik ini, dalam berbagai literatur, disebut sebagai otokrasi legislasi.
Javier Corrales, seorang ilmuwan politik dari Amherst College, mengembangkan konsep autocratic legalism (otokrasi legislasi) sebagai strategi di mana pemimpin menggunakan instrumen legal untuk melemahkan demokrasi. Menurut Corrales, autocratic legalism bekerja melalui manipulasi terhadap proses legal untuk mengonsentrasikan kekuasaan sambil tetap mempertahankan fasad demokratis.
Dalam analisisnya tentang Amerika Latin, Corrales menunjukkan bahwa autocratic legalism memiliki karakteristik berupa perubahan konstitusi dan hukum yang dirancang untuk mengurangi checks and balances, melemahkan oposisi, dan memperkuat kekuasan. Pemimpin otokratik menggunakan legalitas sebagai topeng untuk membangun kekuasaan yang lebih terkonsentrasi.
Jika diterapkan pada konteks penyusunan RUU TNI di Indonesia, perspektif Corrales memberikan kerangka analitis yang berharga. RUU TNI berpotensi menjadi instrumen autocratic legalism jika dirancang untuk memberikan kewenangan berlebih kepada militer tanpa mekanisme pengawasan demokratis yang memadai. Misalnya, ketentuan yang memperluas peran militer dalam keamanan dalam negeri atau pembatasan terhadap kontrol sipil atas militer. Hal ini nyata terlihat dalam materi muatan RUU TNI sebagaimana dilansir dari berbagai media. Salah satu pasal yang rencananya akan diubah adalah Pasal 47 ayat (2) yang mengatur penempatan prajurit aktif dalam berbagai jabatan sipil, termasuk kementerian/lembaga yang “membutuhkan” tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.
Publik perlu waspada, sebab berdasarkan penelitian Corrales, autocratic legalism berbahaya karena lebih sulit dideteksi dan dilawan dibandingkan bentuk otoritarianisme terang-terangan. Dalam konteks RUU TNI, bahaya ini muncul ketika perubahan hukum yang tampak teknis atau administratif sebenarnya menggeser keseimbangan kekuasaan sipil-militer secara fundamental yang diusahakan dengan darah oleh berbagai komponen masyarakat sipil saat reformasi.

Masalah Militerisasi dan Citra Mesianistis Militer
Militerisasi dan demokratisasi memiliki hubungan kompleks yang melintas sejarah. Charles Tilly, dalam pengamatannya terhadap demokrasi liberal di Barat, menunjukkan adanya hubungan antara penguasa dengan kaum borjuis yang mendanai industrialisasi militer sebagai basis bagi proyek kolonialisme. Sumbangan kaum borjuis kemudian ditukar dengan kontrol mereka atas pemilihan umum dan parlemen (Tilly, 1975; Eko, 2003). Situasi ini disebut oleh Samuel Huntington sebagai “kontrol sipil obyektif” atas profesionalisme militer. Militer ditempatkan sebagai instrumen negara untuk memperluas tanah jajahan ketimbang sebagai alat koersi untuk menindas elemen-elemen domestik, sehingga politisasi dan pretorianisme militer tidak terjadi.
Namun, sejarah di Barat tidak terjadi di negara-negara pasca kolonial seperti Indonesia. Di sini, terutama pada masa Orde Baru, penguasa justru mengembangkan pretorianisme militer untuk mempertahankan status quo. Berbeda dengan militer profesional di Barat, militer di masa Orde Baru (ABRI) yang tidak punya proyek industrialisasi militer untuk memperluas lahan jajahan di luar negeri atau sebagai alat pertahanan atas kekuasaan eksternal, lebih banyak digunakan sebagai alat koersi pada elemen-elemen masyarakat sipil domestik.
Dengan doktrin Dwifungsi, ABRI mengklaim dirinya punya citra mesianistis yang melakukan “tugas suci” sebagai integrator, stabilitator, dan dinamisator (Eko, 2003). Wewenang yang besar ini mewujud dalam berbagai keterlibatan militer secara sistemik, dari istana negara sampai kehidupan rumah tangga di pelosok desa. Pada masa itu, militer aktif, atas nama “tugas suci” ditempatkan di berbagai jabatan sipil politik, tidak terkecuali Ketua Rukun Tetangga (Ketua RT). Implikasinya, militer memainkan peran yang dominan dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat. ABRI ditahbiskan sebagai elemen penting yang harus bertanggung jawab atas kekerasan, pelecehan HAM, merajalelanya “KKN”, mandulnya masyarakat sipil, dan sebagainya.
Kejatuhan Soeharto memang membawa perubahan yang tampak menjanjikan bagi demokrasi, tapi dominasi militer nyatanya masih tetap bertahan dan harus terus dihadapi para pendukung demokrasi hingga hari ini. Publik yang pada saat itu mengecam institusi ABRI dari kontestasi di bidang politik beserta hak-hak istimewa yang ternyata mendatangkan banyak kerugian, dari kekerasan sampai pelanggaran HAM dan melemahnya kekuatan sipil, nyatanya kini harus kembali berhadapan dengan hal yang sama.
Perihal sikap petinggi militer terhadap reposisi militer pasca reformasi nyatanya juga menunjukkan kegamangan. Faktor idiosinkratis, yakni sikap dan pembawaan kaum militer, menunjukkan adanya perbedaan sikap. Ada petinggi militer (baik aktif maupun purna tugas) yang cenderung memilih jalan hati-hati dan konstitusional dalam reposisi militer, dan ada yang cenderung berhaluan “garis keras” (hardliner) untuk mengembalikan citra mesianistis militer. Hal ini tampak misalnya dari pernyataan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga mantan petinggi militer. Menurut SBY, militer aktif seharusnya berhenti dari dinas kemiliteran jika ingin masuk ke jabatan sipil. Sebaliknya, beberapa petinggi militer aktif justru mengambil sikap yang berlawanan. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang belum tuntas dalam reformasi internal militer.
Reformasi internal militer pasca runtuhnya Orde Baru menggaungkan doktrin "Back to Barracks" (kembali ke barak) sebagai salah satu prinsip utama reformasi militer di Indonesia. Doktrin ini pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembalikan militer kepada fungsi pertahanan negara dan menarik militer dari keterlibatan dalam ranah politik dan sipil. Implementasi doktrin ini diwujudkan melalui berbagai reformasi hukum, termasuk UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang secara eksplisit menegaskan peran TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai kekuatan politik.
Namun, resonansi doktrin Back to Barracks ternyata tak disambut seragam di internal militer. Kelompok hardliner di internal militer berusaha merawat asa mengembalikan Dwifungsi ABRI masa lalu dan memperkuat doktrin bahwa militer harus mengidentifikasi dirinya sebagai sebuah kekuatan politik. Hal ini disokong oleh doktrin lama di era ABRI yang disebut “Catur Dharma Eka Karma” berdasarkan cara berpikir Carl von Clausewitz bahwa politik adalah perang dan perang adalah politik (Susanto dan Supriatma, 1995). Dengan demikian, militer perlu merumuskan dirinya sebagai kekuatan pertahanan-keamanan sekaligus kekuatan sosial-politik. Sebaliknya, kelompok yang lebih reformis lebih ingin melakukan redefinisi dan reaktualisasi peran sosial politik militer berdasarkan paradigma reformasi. Pandangan lain, seperti ditulis Made Tony Supriatma, berpendapat bahwa meskipun ada friksi di internal TNI, namun pada akhirnya ideologi tentara tetap, sangat konservatif, ortodoks, dan masih bermimpi bahwa mereka akan kembali ber-dwifungsi.
Beberapa Alasan Menolak RUU TNI
Pengalaman global dalam dekade terakhir memberikan bukti kuat tentang bahaya militerisme di sektor sosial politik. Di Myanmar, kudeta militer tahun 2021 menghancurkan proses demokratisasi yang telah berlangsung selama satu dekade, menyebabkan konflik sipil berkepanjangan dan krisis kemanusiaan. Sementara itu, di Mesir, kontrol militer atas ekonomi dan politik pasca-kudeta 2013 telah menyebabkan kemunduran hak asasi manusia dan ketidakstabilan ekonomi.
Thailand juga menunjukkan bagaimana intervensi militer menghasilkan siklus ketidakstabilan politik dan polarisasi sosial sejak kudeta 2014. Militerisme di sektor sosial politik dengan demikian menghambat pembangunan institusi demokratis yang kuat dan berkesinambungan.
Militerisme juga membahayakan kohesi sosial. Di Sudan dan Burkina Faso, keterlibatan militer dalam politik meningkatkan polarisasi etnis dan sektarian, bukan menyelesaikannya. Trend global menunjukkan bahwa negara-negara dengan pengawasan sipil yang efektif atas militer justru memiliki stabilitas politik dan sosial yang lebih baik.
Menolak kembalinya militerisme di sektor sosial politik, apalagi yang dilakukan melalui penyusunan Undang-undang dengan cara otokratis, adalah langkah esensial untuk memastikan pembangunan demokratis di Indonesia bergerak maju.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Valeri Jehanu atau artikel-artikel lain tentang Militerisme