Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Kembalinya Militerisme, RUU TNI Melemahkan Supremasi Sipil
Pemerintah mengurangi alokasi dana untuk sektor-sektor penting, termasuk pendidikan dan kesehatan. Ironisnya, pembahasan RUU TNI di hotel mewah.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah17 Maret 2025
BandungBergerak.id - Revisi Undang-undang TNI (RUU TNI) nomor 34 tahun 2004 mendapatkan penolakan dari 34 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. RUU TNI yang dibahas secara tertutup mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi serta penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Diketahui, DPR RI tetap melakukan pembahasan RUU TNI di hotel mewah bintang 5 Fairmont, Jakarta, Jumat dan Sabtu, 14-15 Maret 2025. Koalisi Masyarakat Sipil menilai langkah tersebut sebagai bentuk rendahnya komitmen pemerintah terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan relugasi yang berdampak terhadap pertahanan negara.
“Mengurangi alokasi dana untuk sektor-sektor penting, termasuk pendidikan dan kesehatan. Namun ironisnya, di saat yang sama, DPR dan pemerintah justru menggelar pembahasan RUU TNI di hotel mewah, yang tentunya menghabiskan anggaran negara dalam jumlah besar,” kata Koalisi Masyarakat Sipil, dalam keterangan resmi, diakses BandungBergerak Senin, 17 Maret 2025.
Koalisi menilai, draf RUU TNI ataupun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI mengandung pasal-pasal problematis. Contohnya, Pasal 47 ayat (2) UU TNI akan ditambah frasa “serta kementerian /lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden”.
Koalisi mengatakan, penambahan frasa ini sangat berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam UU TNI. Hal ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat mengarah pada dominasi militer dalam ranah birokrasi sipil.
Koalisi juga menyebut penempatan TNI di luar fungsinya juga akan berdampak pada rancunya kewenangan prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM, megingat sampai saat ini pemerintah dan DPR tidak mau melakukan revisi kepada UU no. 31 tahun 1997 mengenai peradilan militer.
“Prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM, apakah diadili dalam peradilan umum atau dalam peradilan militer. Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik militer maupun umum, diadili di hukum militer,” kata Koalisi.
Dalam catatan Imparsial, pada 2023 sebanyak 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh UU TNI.
Perubahan pasal 47 ini dinilai oleh Koalisi akan semakin merusak pola organisais dan jenjang karier ASN karena semakin memberikan ruang yang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia.
Koalisi juga menyoroti usulan penghapusan larangan bisnis bagi TNI. Ketentuan ini dinilai keliru dan mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI. Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal ini akan menganggu profesionalismenya dan menurunkan sebagai prajurit.
“Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus dalam mensejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis,” kata Koalisi.
RUU TNI juga bertentangan semangat reformasi peradilan militer yang merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR no.VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No.34 tahun 2004 tentang TNI. Dasar hukum ini mengamanatkan prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan kepatuhan pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Sebagai negara hukum penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.
Koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. Ppemerintah dan DPR RI sebaiknya fokus memperkuat lembaga-lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, Komnas Perempuan, dan lain-lain, tidak hanya memotong anggarannya secara signifikan.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat DPR seharusnya responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat. Koalisi juga berharap agar DPR tidak tunduk pada tekanan eksekutif dan menolak segala interversi dan lebih mendepankan prinsip hak asasi manusia.
“Lebih baik DPR dan Pemerintah fokus mendorong agenda-agenda TNI yang tertunda, seperti pembentukan UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer, dan rekonstruksi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI,” kata Koalisi.
Ada pun 34 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil adalah Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure, dan lain-lainnya.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #42: Pasal 47 Revisi UU TNI Berpotensi Mengembalikan Dwifungsi TNI
Mahasiswa Bandung: Pengesahan RUU TNI dan RUU Polri Menjauhkan Cita-cita Reformasi
Aksi Indonesia Gelap di Bandung: Pemerintah Telah Meninggalkan Kesehatan dan Pendidikan
Khianati Janji Pemerintah di Forum HAM Internasional
Kecaman terhadap RUU TNI datang dari tiga puluh empat organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG). Revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.
Draf revisi ini dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil. Namun, revisi UU TNI justru bertentangan dengan rekomendasi dari:
* Komite HAM PBB (2023): Menuntut Indonesia mengakhiri imunitas TNI, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, dan menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.
* UPR 2022: Merekomendasikan penghapusan bisnis militer dan pembatasan peran TNI hanya untuk ancaman eksternal.
* Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan: Menyoroti praktik penyiksaan oleh aparat militer di wilayah konflik.
Koalisi menolak rencana revisi UU TNI dengan alasan berikut:
* Pelanggaran Terhadap Rekomendasi CCPR/UPR: Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk kasus HAM bertentangan dengan rekomendasi CCPR (No. 45/2023) dan Prinsip Yurisdiksi Universal Statuta Roma ICC. Pembiaran operasi militer di Papua tanpa protokol HAM melanggar rekomendasi UPR 2022 tentang perlindungan masyarakat adat dan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
* Mengabaikan Prinsip Pemisahan Fungsi Militer-Sipil: Keterlibatan TNI dalam program pembangunan dan keamanan dalam negeri melanggar Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Peran Militer, yang ditegaskan kembali dalam rekomendasi UPR 2017.
* Bisnis Militer: Ancaman terhadap Prinsip PBB tentang Bisnis dan HAM Kegagalan revisi UU TNI menghapus bisnis militer bertentangan dengan UN Guiding Principles on Business and Human Rights dan rekomendasi UPR agar Indonesia menghentikan eksploitasi sumber daya alam oleh aktor militer.
* Ketidakpatuhan pada Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT): Tidak adanya mekanisme pencegahan penyiksaan dalam operasi militer di draf revisi mengabaikan kewajiban Indonesia sebagai negara pihak CAT.
* Penghambatan Ratifikasi Statuta Roma ICC: Revisi UU TNI yang melindungi pelaku pelanggaran HAM berat bertolak belakang dengan komitmen Indonesia untuk segera meratifikasi Statuta Roma ICC, seperti dijanjikan dalam UPR 2017.
* Kembalinya Dwi Fungsi TNI ala Orde Baru: Pasal-pasal revisi UU TNI yang melegalkan intervensi TNI dalam urusan sipil (misalnya program TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik) mengembalikan praktik dwi fungsi yang menjadi ciri represif Orde Baru. Padahal, UU No. 34/2004 telah membatasi peran TNI hanya untuk pertahanan eksternal. Dwi fungsi terbukti menjadi akar pelanggaran HAM, korupsi, dan kontrol militer atas politik sipil pada masa lalu.
Atas dasar berbagai alasan tersebut, maka Koalisi memandang DPR dan Pemerintah sedang mengkhianati kewajiban Indonesia dalam menjalankan komitmennya di berbagai mekanisme HAM Internasional. Revisi UU TNI ini tidak hanya merusak agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pembangkang terhadap komitmen HAM internasional. Revisi UU TNI ini adalah pengkhianatan terhadap Reformasi 1998. Kembalinya dwi fungsi TNI hanya akan memuluskan jalan bagi militerisme dan impunitas, seperti yang terjadi di masa Suharto.
Maka dari itu Koalisi menuntut;
- Hentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR.
- Bentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, dan masyarakat sipil.
- Mendesak Komnas HAM dan Kementerian HAM memberikan desakan kepada DPR agar menjalankan rekomendasi-rekomendasi dan menolak RUU.
Koalisi memandang, jika draft ini dipaksakan, Indonesia akan menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik dan penurunan peringkat kebebasan sipil.
HRWG adalah koalisi 34 masyarakat sipil Indonesia yang berkomitmen mendorong akuntabilitas Indonesia dalam menjalankan prinsip dan komitmen terhadap hukum HAM internasional, di antaranya: Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Arus Pelangi, Asosiasi LBH APIK Indonesia, ELSAM, GAYa Nusantara, Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI), HuMa, IKOHI, ILRC, IMPARSIAL, INFID, Institute for Ecosoc Rights, JATAM, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Banda Aceh, LBH Jakarta, LBH Pers, Migrant Care, Mitra Perempuan, PBHI, RPUK Aceh, SBMI, SETARA Institute, SKPKC Papua, Solidaritas Perempuan, TURC, WALHI, YAPPIKA, Yayasan Kalyanamitra, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Pulih.
Respons DPR Sebaliknya
Respons DPR justru berkebalikan dari desakan Koalisi Masyarakat Sipil. Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto mengatakan bahwa pembahasan RUU TNI menekankan untuk menjamin supremasi sipil dalam kerangka negara demokrasi.
“Prinsip besarnya Panglima TNI menjamin bahwa supremasi sipil tetap harus diutamakan di dalam negara demokrasi. Dan bahwa tadi di presentasi beliau ada statement yang sangat penting, yang itu menjadi kesimpulan kita bahwa supremasi sipil tetap menjadi pilar utama dalam negara demokratis Indonesia,” kata Utut, Kamis, 13 Maret 2025 sebagaimana dikutip dari EMedia DPR RI.
Utut menyebut perubahan ini berkaitan dengan aspek teknis seperti masa pensiun atau jabatan yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif serta mengklaim supremasi sipil tetap dijaga. “Kami sepakat untuk memperbaiki undang-undang ini, meskipun tidak ada yang sempurna. Tujuannya untuk menyongsong masa depan TNI yang lebih baik,” ujarnya.
Utut juga menjelaskan, penempatan prajurit TNI di berbagai kementerian dan lembaga menegaskan adanya perubahan UU TNI, bahwa akan ada penambahan lima kementerian atau lembaga yang akan diisi oleh Prajurit TNI aktif di luar aturan eksisting sejauh ini ada UU TNI. Utut meminta masyarakat tidak khawatir akan kembalinya era Orde Baru dengan menjamin semua perubahan ini bisa dipagari dengan undang-undang yang tegas.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang RUU TNI