• Kolom
  • PAYUNG HITAM #42: Pasal 47 Revisi UU TNI Berpotensi Mengembalikan Dwifungsi TNI

PAYUNG HITAM #42: Pasal 47 Revisi UU TNI Berpotensi Mengembalikan Dwifungsi TNI

Sejarah Indonesia di era Orde Lama maupun Orde Baru menunjukkan bagaimana militer sering kali dijadikan sebagai alat politik bukan alat negara sebagai tujuan utamany

Ardhyansyah

Mahasiswa STHI Jentera

Sejumlah aktivis 1998 berziarah ke makam Pahlawan Reformasi Hafidin Royan di Sirnagalih, Bandung, 5 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

12 September 2024


BandungBergerak.id – Revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau Revisi UU TNI, merupakan rancangan perubahan atas UU TNI yang diinisiasi oleh DPR. Adapun tujuan utamanya adalah untuk mereformasi institusi TNI dan memperkuat perannya dalam menjaga pertahanan negara. Namun, Revisi UU TNI tersebut mendapatkan banyak kecaman dari berbagai akademisi, aktivis pro demokrasi dan HAM, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), dan masyarakat umum. Salah satu pasal yang kemudian dipermasalahkan adalah Pasal 47 ayat (2) yang mana seorang TNI aktif dapat ditempatkan di lembaga atau kementerian sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden. Pasal tersebut disinyalir dapat mengembalikan kembali dwifungsi seperti yang terjadi di era Orde Baru di bawah rezim Presiden Soeharto. Demokrasi seakan kembali ke bawah bayang-bayang dwifungsi dan reformasi hanyalah tinggal angan belakang setelah munculnya kembali dwifungsi TNI.

Pasca jatuhnya rezim Orde Baru (Orba) di bawah Rezim Soeharto pada tahun 1998, Indonesia mulai mengalami berbagai kemajuan yang signifikan terutama dalam hal demokrasi, hak asasi manusia, dan dominasi sipil atas pemerintahan disebut sebagai supremasi sipil. Pasca reformasi 98 terdapat 6 agenda atau amanat reformasi untuk memulihkan kembali Republik ini. Salah satunya adalah penghapusan Dwifungsi ABRI. Pengaruh ABRI pasca reformasi mulai dihilangkan secara bertahap seperti penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI, ditariknya fraksi ABRI dari MPR/DPR, dikeluarkannya TAP MPR No. 6 dan 7 Tahun 2000, serta UU Pertahanan Negara pada tahun 2002. kemudian dirumuskan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang secara langsung mencabut keberlakuan  UU No. 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit ABRI.

Namun walaupun pemisahan militer dalam ranah sosial politik merupakan amanat reformasi, tetapi hingga kini peran TNI di luar kegiatan nonmiliter masih saja terlihat. Dalam pemantauan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil, terdapat 111 personel anggota aktif TNI yang menjabat di 9 instansi di luar 10 instansi yang diperbolehkan oleh Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Dan dengan hadirnya Revisi UU TNI yang mengubah Pasal 47 ayat (2) dengan menambahkan bahwa TNI aktif dapat menempati instansi kementerian/lembaga di luar 10 instansi yang telah ditetapkan jika dibutuhkan oleh Presiden. Kembalinya pengaruh TNI di dalam ranah sosial politik atau jabatan-jabatan sipil dapat mengembalikan Indonesia kembali ke era Orde Baru atau dapat memunculkan kediktatoran sipil seperti di era Demokrasi Terpimpin yang mana hal ini dapat mengkhianati amanat reformasi dan mengancam demokrasi di Indonesia.

Mungkin kita sempat berpikir apa masalahnya jika seorang tentara aktif menduduki jabatan sipil, dan mungkinkah hal tersebut dapat mempengaruhi demokrasi di Indonesia?

Baca Juga: PAYUNG HITAM #40: Memaknai Merdeka SeutuhnyaPAYUNG HITAM #41: Keadaan Selalu Darurat

Kilas Balik Dwifungsi ABRI/TNI

Dwifungsi ABRI (TNI) merupakan sebuah doktrin atau pemahaman yang sudah ada sejak lama di dalam tubuh ABRI/TNI. Doktrin tersebut telah ada sejak Perang Kemerdekaan Indonesia. Dalam doktrin tersebut ABRI/TNI memiliki dua fungsi, yaitu untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara (pertahanan dan keamanan) dan memegang kekuasaan dan mengatur negara (sosial politik). Banyak perdebatan terkait siapa pencetus pertama konsep dwifungsi ABRI. Namun seorang Jurnalis Senior dan pakar militer Salim Said dalam wawancaranya di channel Fadli Zon Official mengatakan bahwa pencetus pertama dwifungsi ABRI/TNI secara legal adalah Presiden Soekarno.

Beberapa Jenderal ABRI memiliki beberapa pandangan terkait dwifungsi ABRI, salah satunya Jend. A. H. Nasution. Di Dalam pidatonya Jendral A.H. Nasution menjelaskan bahwa tidak bisa sekedar mengatakan “Kita tidak bisa menempatkan TNI hanya sebagai ‘alat sipil’ saja seperti dalam demokrasi barat, juga tidak sebagai ‘rezim militer’. … posisi dan peranan TNI/ABRI tidak bisa seperti Angkatan Bersenjata di negara-negara barat, yang hanya melulu sebagai alat Hankam saja, dan juga tidak seperti peranan pada negara-negara junta militer sebagai diktator. Jadi dalam negara Pancasila, TNI/ABRI itu mempunyai posisi dan peranan sebagai salah satu kekuatan sosial revolusi Indonesia, yang bahu membahu dengan kekuatan sosial lainnya mempertahankan dan membangun bangsa dan negara Indonesia, sehingga posisi tersebut dinamakan ‘The Armies Middle Way’.”

Kontrol Sipil (Civilian Control)

Kontrol sipil merupakan bentuk pemaksimalan kontrol kekuasaan sipil dan meminimalisir kekuasaan militer dalam pemerintahan di saat yang sama. Ia menjelaskan terdapat dua jenis civilian control. Kontrol sipil merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh Samuel Huntington pada 1985. Samuel Huntington kemudian menjelaskan dua bentuk kontrol sipil (civilian control).

Pertama adalah kontrol sipil objektif (objective civilian control) di mana sipil melakukan pengendalian terhadap militer untuk mengembalikan kembali profesionalisme militer dengan meminimalisir kekuatan militer di dalam pemerintahan dan mengembalikannya kepada tujuan awal militer dibentuk, yaitu untuk menjaga pertahanan negara.

Kedua adalah kontrol sipil subjektif (subjective civilian control), merupakan bentuk pengendalian atau kontrol sipil terhadap militer dengan meminimalkan kekuasaan militer dan memperkuat kekuasaan sipil di dalam pemerintahan.

Supremasi Sipil

Supremasi sipil merupakan sebuah tradisi yang selalu diterapkan di berbagai negara yang menganut sistem demokrasi. Di Amerika Serikat supremasi sipil terlihat di mana angkatan bersenjata di suatu negara harus selalu berada di bawah kontrol kekuasaan masyarakat sipil. Supremasi sipil memiliki kaitan yang sangat kuat dengan prinsip dasar demokrasi yaitu kedaulatan rakyat, di mana rakyat memiliki kekuasaan tertinggi di sebuah negara demokrasi.

Kekuasaan sipil pada sebuah negara dapat terancam apabila militer tidak berada di bawah kontrol supremasi sipil, militer dapat menggulingkan sebuah kekuasaan yang sah dengan peralatan yang mereka miliki, dengan tidak adanya kontrol mereka dapat melakukan kudeta, dan mengatur pemerintahan sipil menjadi pemerintahan militer. Di Dalam jurnal Pacific Affairs, telah terjadi beberapa kasus kudeta militer di dunia, sering kali mengakibatkan pergantian pemerintahan dari sipil yang demokratis kepada militer yang cenderung otoriter. Dengan kata lain, dengan tidak adanya supremasi sipil atau kedaulatan rakyat dalam memerintah sebuah negara, akan sukar bagi tegaknya demokrasi.

Di Indonesia sendiri, penegakkan supremasi sipil terjadi pasca reformasi 1998, dengan tumbangnya pemerintahan rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang didominasi oleh militer. Penguatan posisi sipil dalam pemerintahan mulai dilakukan, dan pembatasan militer dalam pemerintahan dilakukan secara bertahap.

Dwifungsi Mengancam Demokrasi

Kembalinya Dwifungsi ABRI merupakan mimpi buruk bagi demokrasi Indonesia, karena ketika kita melihat kembali sejarah Indonesia di era Orde Lama maupun Orde Baru, kita melihat bagaimana militer ikut terlibat di dalam setiap aspek sosial politik bangsa ini, dan sering kali dijadikan sebagai alat politik bukan alat negara sebagai tujuan utamanya, hal ini bertujuan untuk membungkam lawan-lawan politik atau oposisi yang dapat mengganggu stabilitas politik era itu puncaknya di era Orde Baru, di mana ABRI/TNI memiliki peranan penting untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru. ABRI/TNI mendapatkan kritikan pada saat Orde Baru karena dinilai telah menyalahi peran dan fungsinya sebagai alat negara yang memiliki kewajiban untuk mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Akibat dari penyelewengan fungsi dan peran ABRI/TNI munculnya tindakan-tindakan kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh militer. Telah banyak kasus pelanggaran kemanusiaan yang melibatkan militer didalamnya, salah satunya adalah Peristiwa Tanjung Priok

Pasca Reformasi 1998, ABRI/TNI dikembalikan lagi kepada fungsinya yaitu sebagai penjaga pertahanan negara. Samuel Huntington menjelaskan bahwa tujuan dari keberadaan militer dalam suatu negara adalah untuk melawan musuh (enemy) dalam peperangan. Hal tersebut merupakan raison d’être atau prinsip utama dari peran militer. Militer diatur, dilatih, dan dipersenjatai untuk kepentingan perang, dan secara fundamental, peran militer bersifat anti-kemanusiaan (anti-humanitarianism): dikarenakan tujuan utama militer adalah untuk membunuh. Adapun dampak negatif pelibatan TNI/ABRI di dalam ranah sipil juga dijelaskan oleh Albrecht Schnabel dan Marc Krupanski, bahwa pelibatan militer dalam ranah sipil dapat menghilangkan kontrol sosial (social control) sipil atas militer, banyaknya tuntutan peran militer pada ranah sosial-politik, lunturnya pemisahan otoritas sipil dan militer, terjadinya militerisasi pada ranah sipil, penyalahgunaan (abuse and misconduct) kekuatan militer di lapangan –karena pelatihan militer bukan ditujukan untuk “tugas-tugas domestik”; dan kurangnya pemahaman terkait sistem hukum dan prosedur yang berlaku pada konteks domestik, dan terakhir dapat mengurangi kesiapan militer dalam melaksanakan tugas atau peran utamanya (menghadapi peperangan). Dari sini terlihat bahwasanya militer tidak dapat dimasukkan ke dalam jabatan-jabatan sipil dikarenakan dapat menyalahi fungsi dan peran utamanya sebagai alat negara untuk melindungi dan mencapai tujuan-tujuan negara, dan juga terdapat efek negatif yang telah disampaikan oleh ahli di atas dan fakta sejarah ketika Indonesia di bawah kediktatoran militer dan kediktatoran sipil (Orde Lama).

Namun, dengan hadirnya Pasal 47 ayat (2) di dalam RUU TNI dapat mengembalikan kembali militer kedalam jabatan-jabatan sipil secara legal atau bisa disebut membangkitkan kembali dwifungsi ABRI/TNI. Hal ini dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia dan menjadi celah bagi penyalahgunaan kekuasaan, dikarenakan sifat dari ketentuan Pasal a quo bersifat pasal karet, di mana seorang Presiden dapat menempatkan personel TNI aktif di luar kementerian dan lembaga yang tidak disebutkan secara spesifik dalam usulan perubahan RUU TNI tersebut.

Kelak demokrasi Indonesia akan mengalami kemunduran yang signifikan dan berpotensi kembali ke era Orde Baru dengan bentuk kediktatoran sipil. Demokrasi ideal akan sukar terwujud jika penghargaan terhadap hak asasi setiap manusia tidak dijalankan atau dilindungi. Penempatan TNI aktif akan menimbulkan corak militerisme di dalam tubuh pemerintahan dan menjadi ancaman bagi hak asasi manusia. Demokrasi bukan berarti berakhir melainkan stagnan dan hanya menjadi demokrasi prosedural yang menjalankan proses pemilu belaka.

Potensi Munculnya Kediktatoran Sipil

Penerapan Pasal a quo Revisi UU TNI sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat berpotensi kembali menjadi alat politik seperti yang terjadi di era Orde Baru, walaupun pemerintahan yang berkuasa bukanlah seorang dari kalangan militer, namun kediktatoran bisa saja dilakukan  oleh pemimpin kalangan sipil memegang kekuasaan berlebih tanpa adanya kekuasaan penyeimbang dari kekuasaan legislatif, ini disebut sebagai kediktatoran sipil. Menurut Gene Sharp, kediktatoran terbentuk dikarenakan timpangnya distribusi kekuasaan disuatu negara, atau bisa disebut tidak adanya pembagian kekuasaan yang benar sehingga check and balance tidak pernah terjadi.

Kediktatoran sipil bukan istilah baru, ia telah ada sejak lama di dunia, salah satu negara yang pernah berada dibawah kediktatoran sipil ialah Jerman di bawah rezim partai Nazi, dimana Adolf Hitler der führer (Sang Pemimpin Besar) meraih kekuatan politik dan legitimasi atas negaranya, terpilih dengan memenangkan pemilu saat itu, Ia menjadi pemimpin tertinggi dan pemimpin tertinggi angkatan bersenjata Jerman, dengan kewenangan yang luas, ia menjadikan Jerman menjadi apa yang disebut sebagai negara polisi, di mana ia menempatkan banyak anggota partai Nazi, intelijen (Gestapo), dan militer dalam pemerintahan, hal itu tujuan menjaga stabilitas politik di Jerman, dan menekan lawan politik atau oposisi. Selama pemerintahan kediktatoran sipil tersebut banyak sekali pelanggaran-pelanggaran terhadap kemanusiaan dan menjadikan pemimpin Jerman menjadi sangat korup. Sesuai seperti yang dikatakan oleh Lord Acton bahwa “power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely”, sebuah kekuasaan memiliki kecenderungan untuk menjadi korup, namun jika kekuasaan yang dimiliki berlebih atau absolut maka kekuasaan tersebut akan korup secara absolut pula. Hal yang sama bagi penulis bisa juga terjadi di Indonesia jika Pasal a quo RUU TNI tersebut kemudian disahkan, dan Presiden memiliki kewenangan yang tanpa batas dalam penempatan posisi TNI aktif didalam jabatan sipil, dengan kewenangan seperti itu, dan tidak adanya oposisi sebagai kekuatan penyeimbang di Parlemen, maka ia dapat mendirikan sebuah kediktatoran sipil.

Sama seperti kediktatoran militer, dampak yang akan terjadi adalah hilangnya kedaulatan rakyat atau supremasi sipil, hilangnya kontrol sosial terhadap pemerintahan, dikarenakan pemerintahan akan begitu represif terhadap siapa saja yang mengganggu jalannya pemerintahan atau kestabilan politik. Dan konsep negara hukum “the rule of law” hanya akan menjadi sebuah kata tanpa arti, dikarenakan dalam penerapan bernegaranya, tidak menjalankan prinsip-prinsip dari negara hukum. Pasal 47 ayat (2) Revisi UU TNI bukanlah usulan yang baik untuk mereformasi TNI, melainkan dapat memperburuk, dikarenakan Pasal tersebut telah mengkhianati agenda reformasi yaitu penghapusan dwifungsi ABRI/TNI, dan juga dalam penerapan pasal tersebut dapat berimplikasi pada memburuknya sistem demokrasi yang ada di Indonesia.

Para pembuat kebijakan kita seolah tidak belajar dari masa lalu bagaimana suatu doktrin dwifungsi pada TNI kemudian disalahgunakan menjadi alat politik dan bukan alat negara untuk membungkam lawan politik atau oposisi yang dinilai mengganggu kestabilan politik negara.

Saran

Penulis memiliki saran agar beberapa poin di dalam Pasal 47 ayat (2) dihapuskan karena dapat berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan menjadi celah bagi tindakan-tindakan abuse of power. Penulis berharap agar TNI dikembalikan kepada fungsi utamanya yaitu untuk menjaga pertahanan negara dan percepat reformasi TNI.

“Those who cannot remember the past are condemned to repeat it”- George Satanaya

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//