PAYUNG HITAM #41: Keadaan Selalu Darurat
Keadaan darurat bukan saja saat putusan Mahkamah Konstitusi diselewengkan, tapi jauh sudah lama terjadi saat semua akses produksi hanya dikuasai segelintir elite.
Ressy Rizki Utari
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba)
5 September 2024
BandungBergerak.id – Benar dalam moralitas berpolitik apa yang dilakukan oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus ini memang tidak tahu malu. Jika dalam orasinya Bintang Emon mengatakan, “Apakah kalian pikir kami bodoh?” Lebih tepatnya kita seperti tengah di bully oleh negara. Sekali mereka hanya melempar kan tisu bekas, kemudian melempar telur, setelahnya melempar batu. Satu kali lemparan batu, kita berbaik sangka, “mungkin dia akan berhenti”, karena kita malas ribut. Entah Lemparan batu yang ke berapa, kita mulai babak belur, dan kita hanya marah memaki sambil mengancam bahwa kita bisa membalas.
Tapi negara melihat kita seperti teman yang mudah memaafkan, karena kita tidak pernah benar-benar membalas lemparan batu itu. Kita masih berharap teman kita berubah dan bertobat. Tanpa pernah kita lucuti senjata yang mereka miliki, dan dengan senang hati kita juga memberikan kuasa atas kita pada mereka.
Mungkin banyak dari kita pernah membaca berita seorang driver ojek online (Ojol) bernama Darwin Mangudut Simanjuntak (49 tahun) meninggal dunia saat sedang mengantre orderan pelanggannya di Jalan Sutomo Ujung, Kota Medan, Sumatera Utara, Ahad, 11 Agustus /2024, pagi. Darwin diduga meninggal dunia karena tidak kuat menahan lapar dan tidak punya uang membeli makanan. Agak aneh rasanya bagi penulis, jika hilang nyawa tidak memicu kemarahan lebih besar dibanding isu perebutan kekuasaan.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #39: Kebebasan Kalian akan Dibungkam atas Nama Undang-undang dan Perintah PresidenPAYUNG HITAM #40: Memaknai Merdeka Seutuhnya
Ini Cerita Lama
Kisah ini bermula sejak ribuan tahun lalu, sebuah imaji membuat struktur kuasa. sebagian mengatur sebagian diatur. Mulanya hanya ada dua tokoh, pengatur yang membagikan makanan secara adil dan yang diatur bekerja untuk menghasilkan makanan.
Sejak awal semua yang diatur memiliki lahan dan alat penghasil makanan yang sama. Semua hasil makanan diberikan pada pengatur untuk dibagikan secara adil. Semula semua berjalan baik, semua orang mendapatkan haknya secara adil. Namun dalam perjalanannya, pengatur makanan menjadi serakah dan mengklaim seluruh makanan merupakan miliknya.
Seluruh penghasil makanan protes, tetapi hasil protes itu malah membuat sebagian mereka kehilangan cangkul juga tanah, sebagian lain memilikinya secara privat. Aturan itu dibuat oleh pengatur makanan untuk meredam protes yang lebih jauh.
Tokoh baru pun muncul, pemilik cangkul. Mereka kini mendapatkan jam kerja yang lebih sedikit bahkan akhirnya tidak perlu bekerja. Sisa waktu itu mereka pakai untuk bersenang senang saja atau menambah cangkul canggih agar dia mendapatkan makanan lebih banyak.
Penghasil myang kini tidak memiliki cangkul kemudian harus bekerja lebih lama agar dia bisa hidup cukup. Beban mereka justru bertambah karena harus menyewa cangkul dan tanah. Banyak lahan yang sudah diklaim oleh para Pemilik Cangkul. Akhirnya penghasil makanan harus bekerja di bawah perintah pemilik cangkul dan ia juga harus tetap membayar pajak.
Si pemilik cangkul kemudian menjadi semakin rakus, selain ingin memiliki cangkul yang terus bertambah ia juga ingin menambah lahan cangkulannya. Maka ia kembali bermufakat jahat dengan si pengatur makanan. “Beri aku lahan lebih banyak maka akan kuberikan kau emas untuk kau miliki sendiri.” Si pengatur makanan sepakat, kemudian lahan yang dikuasai pemilik cangkul semakin banyak.
Pemilik cangkul masih merasa tidak puas dengan lahan yang diberikan dan pajak yang harus mereka bayarkan. Kini, ia juga berupaya menjadi pengatur makanan sekaligus pemilik cangkul. Mereka tidak pernah memiliki perasaan cukup, mereka terus ingin mendapatkan makanan lebih banyak lagi. Maka dari sanalah lempar tisu bermula.
Penghasil makanan mulanya dilempari tisu, agar dia mau bekerja dengan sedikit upah. Kemudian dilempari kerikil agar bisa menghasilkan makanan lebih banyak. Si pemilik cangkul sekaligus kini pengatur makanan melempari mereka batu agar penghasil makanan bekerja lebih lama.
Sekali penghasil makanan hanya peringati, “Jangan melempar tisu itu padaku, kotor!”
Lemparan tisu kedua dan ketiga hanya dibiarkan karena tidak pernah menyakiti mereka begitu banyak. Penghasil makanan tidak lagi memiliki energi untuk melawan dan memberinya pelajaran yang setimpal karena beban pekerjaan mereka.
Pengatur makanan dan pemilik cangkul yang semula menjadi teman kerja sama, kini berubah menjadi mesin pengisap bagi penghasil makanan. Pengatur dan pemilik akhirnya mulai berani melempar kerikil. Kemudian penghasil makanan marah, karena itu mulai menyakitinya. Namun juga tak menimbulkan luka yang serius. Lemparan kerikil ini pun dibiarkan setelah satu kemarahan kecil.
Kemudian pengatur dan pemilik semakin berani melemparinya dengan batu besar. Penghasil makanan mulai marah besar. Namun kemarahan itu seakan tidak digubris pengatur dan pemilik Cangkul yang bermufakat kembali melemparinya batu yang semakin besar. Penghasil makanan tidak lagi melawan karena ternyata sangat sibuk menghasilkan makanan yang harus mereka berikan pada pengatur dan pemilik. Padahal penghasil justru hanya mengambil bagian terkecil dari makanan yang dihasilkan.
Cerita ini terjadi selama berabad-abad hingga saat ini. Jika kita berpikir keadaan darurat ini baru terjadi saat kisruh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal aturan pemilihan kepala daerah (Pilkada) kemarin, namun tidak demikian. Mufakat jahat pemilik cangkul dan pengatur makanan kerap terjadi dan terus terjadi. Sayangnya, penghasil makanan semakin terlelap, hanya memiliki sedikit saja kemarahan. Tidak pernah memiliki keberanian merebut cangkul yang sedari awal seharusnya dimiliki bersama.
Dalam sejarah perlawanan pada sistem eksploitatif ini, tidak mudah bagi penghasil makanan untuk merebut cangkul. Mereka tidak punya kekuatan untuk merebut cangkul. Selain itu sudah terlalu lama cangkul hanya dimiliki sekelompok orang, hingga mereka pikir begitulah seharusnya. Hingga penghasil makanan lebih sering menuntut kenaikan upah dan pengurangan jam kerja.
Sejarah mencatat perlawanan paling keras kelas pekerja menghasilkan pengurangan jam kerja yang semula 12-16 jam lebih menjadi 8 jam sehari. Tanggal 1 Mei 1886, gelombang pemogokan besar-besaran melanda banyak tempat di Amerika Serikat, seperti New York, Boston, dan Chicago. Diperkirakan lebih dari 300.000 buruh bersatu melakukan unjuk rasa menuntut perbaikan kondisi kerja. Selain berkurangnya jam kerja rentetan peristiwa pada periode ini juga menelan korban yang tidak sedikit.
Sayangnya bentuk eksploitasi dari sistem ini tidak juga menghilang setelah peristiwa itu. Para pemilik cangkul tetap berusaha mendapatkan nilai lebih melalui cara-cara eksploitatif lain. Begitulah sejarah pengisapan ini terus terjadi, bahkan melalui tangan negara.
Pemilu adalah kisah perebutan cangkul para pemilik cangkul. Mereka tidak akan mau menyerahkan cangkul itu jadi milik bersama. Mereka bertarung sangat keras untuk saling berebut cangkul.
Pilkada bukan kisah tentang perebutan cangkul untuk dimiliki bersama dan pengembalian hak cangkul yang diambil dari penghasil makanan. Maka yang darurat bukan siapa pengatur makanan-nya, yang darurat adalah cangkul yang hanya dikuasai oleh pemilik cangkul sekaligus pengatur makanan. Hal ini tidak terjadi satu dua tahun saja, namun selama ratusan tahun.
Permufakatan jahat pemilik cangkul dan pengatur makanan keluar dalam bentuk Kebijakan yang tidak berpihak pada kelas pekerja atau bahkan memperkuat cengkeraman mereka pada akses produksi. Sedangkan penghasil makanan semakin sulit mendapatkan akses produksi.
Cerita Panjang Tak Kunjung Temukan Akhir
Cerita di awal tulisan ini bukanlah fiksi, ini pernah dijelaskan oleh Marx dalam teori perkembangan masyarakat. Menurut Marx perkembangan masyarakat dimulai dari masyarakat komunal primitif, berubah dan berkembang menjadi masyarakat pemilikan budak, masyarakat feodalisme, masyarakat kapitalisme, masyarakat sosialisme, dan yang terakhir masyarakat komunisme. Meski dalam perkembangannya teori ini telah banyak dikritik.
Sebagian mengatakan jika hegemoni kapitalisme sudah mengakar dan mendarah daging. Sehingga tahap perubahan sosialnya tidak mungkin melalui pengambilalihan kekuasaan negara. Sebagian mengatakan perubahan yang radikal akan terjadi melalui perlawanan harian. Melakukan dan memilih cara hidup alternatif yang terus di bangun menjadi kontra hegemoni.
Marx dan Engels dalam Manifesto Partai Komunis menuliskan jika perkembangan borjuasi dan perkembangan kapital selalu beriringan dengan berkembangnya proletariat, kelas buruh modern, yang hanya hidup selama mereka mendapat pekerjaan, dan hanya mendapat pekerjaan selama pekerjaan mereka memperbesar kapital. Kaum buruh harus menjual dirinya secara potongan adalah komoditi seperti setiap jenis jualan lainnya. Karena itu mereka menderita dalam segala perubahan persaingan dan segala guncangan pasar. (Marx Engels, 2015)
Menurut Marx pada masa revolusi Industri bengkel kecil kepunyaan tukang ahli patriarkal berubah menjadi pabrik besar kepunyaan kapitalis industri. Buruh tidak hanya menjadi budak kelas borjuis dan budak negara borjuis, mereka setiap hari dan setiap jam diperbudak oleh mesin-mesin, oleh mandor-mandor, dan terutama diperbudak oleh setiap tuan pabrik borjuis itu sendiri. Semakin terang-terangan kelaliman itu menyatakan keuntungan sebagai tujuannya yang terakhir, ia semakin kerdil, semakin dibenci dan semakin keji. (Marx Engels, 2015)
Proletariat menempuh berbagai perkembangan. Perjuangannya melawan borjuasi dimulai bersamaan dengan eksistensinya. Mula-mula berjuanglah kaum buruh orang-orang, kemudian kaum buruh dari satu pabrik, kemudian kaum buruh dari satu cabang pekerjaan di satu tempat melawan borjuis orang-seorang yang langsung menghisap mereka. (Marx Engels, 2015)
Sesudah itu kaum buruh mulai membentuk perkumpulan menentang kaum borjuis, mereka berhimpun untuk membela upah kerja mereka. Kemudian mendirikan sendiri perserikatan-perserikatan yang tetap untuk mempersiapkan perbekalan guna perlawanan sewaktu-waktu. Di sana-sini perjuangan itu meletus menjadi huru-hara. (Marx Engels, 2015)
Terorganisirnya kaum proletar menjadi kelas, dan dengan demikian, tiap kali dirusak kembali oleh persaingan di antara kaum buruh sendiri. Tetapi mereka selalu bangun kembali lebih kuat, lebih teguh, lebih perkasa. Dengan jalan menggunakan perpecahan di kalangan borjuasi, ia memaksakan pengakuan atas kepentingan-kepentingan tertentu dari kaum buruh dalam bentuk undang-undang. Maka lahirlah Undang-undang sepuluh jam kerja di Inggris. (Marx Engels, 2015)
Kepincangan Tanpa Gerakan Ekonomi
Di tengah krisis dan protes yang terus d lakukan pada kapitalisme masa itu, gerakan koperasi hadir sebagai sebuah alternatif. Gerakan sosial ekonomi yang disebut sebagai koperasi co-operative atau co-op. Dalam banyak hal gerakan itu sama dengan tujuan mereka yang menyatakan diri sebagai kaum revolusioner. Namun gerakan tersebut lebih banyak menekankan perjuangan evolusioner ketimbang revolusi (Muhkener, 1995).
Suroto dalam Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme menceritakan, sekitar tahun (1771-1858) 28 orang buruh beserta reformis sosial mendeklarasikan koperasi Rochdale, Inggris. Nama koperasi itu, the Equitable Society of Pionners of Rochdale (Thompson, 2012) Mereka mendeklarasikan perjuangan kedudukan setara di perusahaan sebagai jantung aktivitas ekonomi modern.
Tak hanya berteori mereka berpraksis mendirikan toko yang dimodali, dikelola dan diperuntukkan bagi mereka sendiri. Di toko tersebut, berlaku prinsip kerja one person, one vote dalam mengambil keputusan perusahaan. Tujuannya agar terhindar dari bentuk eksploitasi. (Suroto, 2023)
Sebagai penegasan perbedaan terhadap perusahaan yang dikembangkan kaum borjuis kapitalis, mereka menerapkan sistem pembagian keuntungan Divvy. Pembagian keuntungan ini bukan hanya berdasarkan investasi modal yang ditanam di koperasi, tetapi juga didasarkan jumlah besaran belanja mereka di koperasi. Slogan Buy More, Get More menjadi sangat terkenal di masa itu. (Suroto, 2023)
Koperasi itu juga mereka jadikan ruang pendidikan kesadaran warga sekaligus mengikis mental budak yang tunduk dan patuh pada eksploitasi sistem kerja pabrik yang seluruh keputusannya didasarkan pemilik modal. Pada waktu itu di Inggris, koperasi lebih dikenal sebagai ruang pendidikan ketimbang tempat belanja. (Suroto, 2023)
Joseph Stiglitz salah seorang penerima Nobel Ekonomi menyatakan, “Sistem koperasi itu sebagai alternatif sistem kapitalisme yang menyisakan kesenjangan dan kerusakan lingkungan saat ini. Hal serupa juga pernah dikatakan Noam Chomsky jika Koperasi Mondragon adalah praktik nyata dari lawan kapitalisme (Suroto, 2023).
Mondragon sendiri merupakan grup koperasi pekerja yang bergerak di berbagai sektor bisnis, mulai dari industri, keuangan, ritel hingga pendidikan. Putaran bisnisnya sekitar 180 triliun Rupiah dengan kekayaan sebesar 360 triliun Rupiah. Mondragon Worker Co-operative Group (MWCG) adalah bisnis terbesar di Basque, negara bagian utara Spanyol dan merupakan usaha nomor empat terbesar di Spanyol.
Setidaknya butuh waktu 70 tahun untuk Mondragon menjadi koperasi sebesar sekarang. Model ekonomi ini selalu dimulai dari usaha kecil-kecilan dan tidak seketika membesar, begitu pula dengan Mondragon.
Saat itu 1940-an beberapa murid lulusan sekolah teknik di Spanyol yang tidak memiliki pekerjaan menciptakan produk-produk peralatan rumah tangga yang dibutuhkan masyarakat seperti pemanas ruangan. Pastor Arizmendi Arrieta sebagai pendiri Sekolah teknik Menengah yang mengusulkan.
Pembuatan alat pemanas ruangan berkembang pesat, juga permintaan masyarakat akan alat pemanas ini. Mereka kemudian menanyakan kembali, bagaimana dengan kepemilikan dari perusahaan tersebut. Arizmendi Arrieta mengatakan jika pemilik perusahaan itu ialah mereka. Dalam perusahaan itu setiap orang memiliki kedaulatan yang sama, satu orang satu suara. Itulah yang dinamakan koperasi pekerja. (Suroto, 2023)
Di Koperasi Mondragon semua bernilai dan bermental sebagai pemilik perusahaan dan benar-benar mempraktikkan demokrasi di tempat kerja dan di kehidupan sehari-hari. Itu yang membuat perbandingan upah atau gaji tertinggi dan terendah mereka bisa ditetapkan menjadi 1 berbanding 6. Tidak seperti struktur penggajian di perusahaan korporat kapitalis. Gaji seorang presiden direktur dengan seorang office boy bisa 1 berbanding 2.000. Misalnya gaji seorang presiden direktur salah satu Bank BUMN ada yang sampai 5 miliar Rupiah sedangkan gaji bersih seorang office boy yang bekerja di bank yang sama tidak lebih dari 3 juta Rupiah. (Suroto, 2023)
Kini ada 122 kantor perwakilan pendukung untuk pengembangan koperasi di lebih dari 15 negara. Mereka mengembangkan bisnis dalam berbagai sektor. Eroski, koperasi konsumen multi pihak semula merupakan merger 10 koperasi konsumen kecil. Di bidang pendidikan, dibangun Universitas Mondragon dan lain-lain.
Biasanya perputaran ekonomi sebesar itu dihasilkan dari proses eksploitasi buruh. Namun kapital yang besar ini ternyata diciptakan dari seriusnya menjalankan nilai-nilai kerja sama, partisipasi aktif, distribusi kekayaan dan pendapatan, inovasi dan fokus pada perbaikan serta pengembangan.
Berbeda, di Indonesia gerakan buruh justru tidak pernah serius membangun gerakan ekonominya. Padahal koperasi sebagai ekonomi alternatif mampu menusuk jantung kapitalisme secara langsung bahkan lawan tanding dari kapitalisme itu sendiri. Bayangkan jika setiap buruh mampu berdaya dari koperasi, tentulah ia tidak lagi perlu tetap berada dalam korporasi yang jelas terus melakukan praktik eksploitatif.
Sekretaris Konfederasi Serikat Nasional Kabupaten Bandung, Nazer, menceritakan jika di lembaganya memang tidak ada bentuk Badan Usaha. Menurutnya hal ini tidak hanya terjadi di tingkat kabupaten namun juga pusat.
Nazer menjelaskan jika usaha untuk membuat Badan Usaha dalam serikat ini pernah ada. Namun sulit berjalan karena sering kali pengelolanya keluar ketika mengalami PHK. Baginya itulah alasan sulit bagi serikat memiliki Badan Usaha.
Selain itu Nazer juga mengungkapkan jika agenda serikat lebih banyak digunakan untuk penanganan kasus atau advokasi buruh. Hingga ia berpendapat akan sulit memiliki agenda membangun Badan Usaha.
Nazer menganggap memiliki Badan Usaha memang penting dilakukan, ada kalanya dalam menjalankan agenda serikat pengurus harus merogoh kocek pribadi. Menurut Nazer untuk menjalankan Badan usaha di Serikat perlu orang khusus yang fokus mengelola badan usaha ini. Menurutnya akan sulit jika satu orang tugas pokok dan fungsinya berhimpitan dengan hal lain.
Tidak berbeda, Ketua Umum Sebumi Aam Aminah juga mengatakan jika di lembaganya belum ada badan usaha atau koperasi yang didirikan. Aam menyampaikan niatan itu sempat Ia usulkan, namun mendapat penolakan. Ia menceritakan penolak itu karena kekhawatiran koperasi akan mengganggu kerja serikat dalam upaya advokasi buruh.
Setelah panjangnya sejarah gerakan buruh di Indonesia dan begitu banyaknya serikat buruh yang nyaris ada di setiap perusahaan di Indonesia, belum ada serikat buruh yang berhasil membangun koperasi setidaknya ½ dari apa yg telah Mondragon bangun. Bahkan bisa dikatakan memang belum ada serikat buruh yang secara serius melakukan gerakan ekonomi ini. Jika dihitung setelah Indonesia merdeka bukankah setidaknya serikat buruh di Indonesia sudah memiliki koperasi yang sahamnya setengah dari yang dimiliki Mondragon saat ini.
Entah disengaja atau tidak, tuntutan yang kerap kali dilayangkan setiap Mayday selalu berkelindan dalam kenaikan upah. Padahal kita pahami, jika dalam sistem kapitalisme yang menjadi permasalahannya adalah eksploitasi karena relasi kuasa. Hal ini muncul karena buruh tidak memiliki akses terhadap alat produksi, sentra produksi, pasar, bahkan pengetahuan produksi. Jalan untuk menghancurkan relasi kuasa itu tentulah direbutnya empat hal tersebut, bukan kenaikan upah.
Menurut salah satu Ahli dan Praktisi Koperasi Virtuous Setyaka mengatakan, jika ingin serius membangun koperasi cukup dimulai dengan bentuk koperasi yang mudah. Ia menjelaskan koperasi konsumen merupakan bentuk koperasi yang mudah dijalankan di berbagai kelompok masyarakat. “Lakukan riset kebutuhan anggota, kemudian barang itulah yang akan dijual oleh koperasi,” ungkapnya pada Rabu, 21 Agustus 2024.
Meski begitu menurutnya, koperasi seharusnya tidak hanya beranggotakan satu kelompok tertentu. “Kalaupun koperasi itu mulanya dibuat oleh sekelompok buruh, seharusnya kemudian yang bisa menjadi anggota koperasi itu tidak hanya buruh.” Namun menurutnya koperasi yang baik haruslah memiliki anggota dari beragam pekerjaan dan latar belakang.
Dosen Universitas Andalas yang juga kerap dipanggil Ve ini juga menjelaskan, seharusnya PHK tidak dijadikan alasan seseorang keluar dari keanggotaan koperasi. Menurutnya Koperasi itu lepas dari korporasi, hingga tidak penting ia kerja apa dan di mana. Seharusnya ia tetap bisa menjadi anggota koperasi.
Belakangan elite serikat buruh justru mengerahkan kemudi buruh pada gerakan politik berupa partai, dibanding menyeriusi gerakan ekonominya. Meski dalam gerak tidak bisa fatalis namun juga tidak boleh pincang bukan?
Bahkan Tan Malaka pernah mewanti-wanti membangun partai tentulah membutuhkan kapital yang besar. Jika operasional partai dananya tidak dari koperasi tentu saja hanya akan didapatkan dari uang oligarki. (Tan Malaka, Merdeka 100%) Tentulah hal ini mempengaruhi suara dan kekuatan siapa yang ada di partai. Dalam Koperasi sahamnya dimiliki anggota di mana satu anggota memiliki satu suara jika dana yang dipakai partai dari oligarki tentu saja akhirnya partai hanya akan jadi kepanjangan tangan oligarki itu bukan? meski diberi merek buruh.
Kita perlu pahami jika perjuangan buruh adalah perjuangan kelas dan perjuangan kelas adalah perjuangan kita semua. Seluruh penghasil makanan penting menyadari yang menjadi darurat adalah akses produksi bukan pergantian kekuasaan. Kita perlu menyadari jika keadaan darurat itu sudah lama terjadi dan tetap terjadi. Sayangnya sering kali kita hanyut dan lupa siapa kita.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung