• Opini
  • Korupsi Koneksitas, Melintas Batas Sipil dan Militer

Korupsi Koneksitas, Melintas Batas Sipil dan Militer

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 87 tanggal 29 November 2024 membuka jalan bagi KPK untuk menangani perkara korupsi koneksitas yang melibatkan anggota militer.

Valeri Jehanu

Dosen Hukum Tata Negara dan Anggota Centre for Human Development and Social Justice (ChuDS) Unpar

Grafiti sindiran Jadikan Koruptor Pahlawan terkait ringannya hukuman bagi para koruptor di dinding Viaduct, Bandung, sehari sebelum dihapus, Selasa (31/8//2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

5 Desember 2024


BandungBergerak.id – Pasca reformasi, agenda penegakan hukum masih memiliki tantangan besar, khususnya dalam penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan kalangan militer. Impunitas dalam berbagai bentuknya, termasuk ketidakjelasan aturan dalam penanganan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan kalangan sipil dan militer secara bersama-sama (disebut korupsi koneksitas) sering kali berujung pada jalan buntu. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) hanya fokus mengusut pelaku dari kalangan sipil saja, sementara pelaku yang diduga berasal dari kalangan militer diserahkan pengusutannya kepada instansi TNI sendiri. Beberapa kasus seperti dugaan tindak pidana korupsi Kepala Basarnas –yang berujung permintaan maaf dan penyerahan perkara kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) Mabes TNI, serta kasus dugaan tindak pidana korupsi Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2017 yang tidak ditangani oleh KPK RI menggunakan skema koneksitas adalah dua potret buram penanganan perkara korupsi koneksitas.

Akar masalah dari sulitnya KPK masuk dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan kalangan militer adalah tebalnya dinding Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang membuat pelaku kejahatan dari kalangan militer tunduk pada sistem peradilan pidana sendiri. Meskipun, dalam UU Peradilan Militer sendiri tetap dibuka peluang untuk memproses perbuatan pidana yang melibatkan sipil dan militer secara bersama-sama dalam sebuah mekanisme gabungan yang disebut dengan istilah pidana koneksitas. Dengan mekanisme tersebut, penanganan sejak tahap penyidikan hingga penuntutan akan dibahas bersama tim gabungan, termasuk dalam penentuan peradilan mana yang akan menyelenggarakan persidangan: apakah peradilan sipil atau peradilan militer yang dasar penentuannya tegas diatur berdasarkan ada tidaknya kerugian atas tindak pidana yang dialami. Apabila kerugian berdampak bagi kepentingan umum, maka peradilan umum yang berwenang. Sebaliknya, apabila kerugian hanya dialami oleh militer, maka perkara koneksitas yang melibatkan anggota militer tersebut haruslah diadili di peradilan militer.

Ketentuan mengenai hukum acara peradilan koneksitas dalam UU Peradilan Militer diatur dalam Pasal 198 sampai Pasal 203. Selain diatur dalam UU Peradilan Militer, ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 89 sampai Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Persoalannya, keberadaan dasar hukum pidana koneksitas tidak jelas apakah berlaku juga bagi KPK.

Aturan tersebut hanya mengatur secara eksplisit kewenangan penyidikan dan penuntutan yang melibatkan Jaksa Penuntut Umum dan Oditurat Militer (pejabat yang diberi kewenangan sebagai penuntut di peradilan militer) untuk menangani pidana koneksitas. Inilah letak persoalan norma yang kemudian mendasari pengujian materiil dalam perkara nomor 87/PUU-XXI/2023 di Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan hukum yang perlu dijawab adalah: apakah ketentuan hukum acara pidana koneksitas yang diatur baik dalam UU Peradilan Militer maupun dalam KUHAP dapat digunakan oleh KPK? 

Baca Juga: Keadilan Restoratif Bukan untuk Kasus Korupsi
Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Revisi UU Pilkada Adalah Pembangkangan terhadap Konstitusi

Kewenangan KPK dalam Perkara Korupsi Koneksitas

Pada dasarnya KPK RI berdasarkan ketentuan Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 memiliki wewenang untuk menangani korupsi koneksitas. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum”.

Harus digaris bawahi persoalannya adalah pada kata koordinasi dan kendali yang dimaksud. Tidak jelas sejauh mana KPK perlu koordinasi dan bagaimana jalan keluar yang tersedia apabila terdapat sengketa atau perbedaan pendapat di antara penegak hukum dalam penanganan perkara korupsi koneksitas. Aturan tersebut dianggap sebagai wilayah abu-abu tanpa pengaturan yang menegaskan demarkasi kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi koneksitas. Ketidakjelasan ini tentu bertentangan dengan jaminan kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Lebih dari itu, ketidakpastian yang ditimbulkan dapat memunculkan potensi kesewenang-wenangan dalam penanganan perkara korupsi koneksitas dan mendelegitimasi KPK sebagai lembaga anti rasuah yang diharapkan dapat menjaga asa pemberantasan korupsi, tidak terkecuali di instansi militer.

Penafsiran MK

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk menafsirkan konstitusionalitas norma undang-undang. Melalui Putusan nomor 87/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada tanggal 29 November 2024, Mahkamah mengambil beberapa pertimbangan penting dalam merintis jalan penanganan korupsi koneksitas yang lebih berkepastian hukum. Pertama, Mahkamah menegaskan bahwa KPK merupakan lembaga independen dengan tugas dan wewenang khusus untuk melakukan pemberantasan korupsi. Karakter khusus ini menurut Mahkamah karena korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang memerlukan penanganan luar biasa pula. Keberadaan KPK dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari konteks mangkraknya penanganan kasus korupsi oleh Kejaksaan dan Kepolisian yang lebih dulu lahir sebelum KPK. Dengan demikian menurut Mahkamah, selain Kepolisian, Kejaksaan dan Oditurat Militer, KPK juga memiliki kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam perkara korupsi yang terdakwanya adalah prajurit/anggota TNI.

Mahkamah dengan tegas menyebut dalam pertimbangan hukumya “Dalam hal penegakan hukum tindak pidana korupsi, seharusnya mengesampingkan budaya sungkan atau ewuh pakewuh terutama untuk hal yang sudah diatur tegas dalam peraturan perundang-undangan. Sekalipun KPK lahir pada era setelah reformasi dibandingkan Kepolisian, Kejaksaan, dan TNI, demi kepastian hukum, Pasal 41 UU Nomor 32 Tahun 2002 harus dipahami sebagai ketentuan yang memberi kewenangan pada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi sepanjang perkara dimaksud ditemukan/dimulai oleh KPK”.

Makna tersurat dalam pertimbangan Mahkamah adalah sepanjang tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan orang yang tunduk pada peradilan militer, yang penanganannya sejak awal dimulai oleh KPK, maka perkara tersebut akan ditangani oleh KPK sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sebaliknya, jika perkara korupsi koneksitas tersebut ditemukan dan dimulai penanganannya oleh penegak hukum selain KPK, maka tidak ada kewajiban bagi lembaga penegak hukum tersebut untuk melimpahkan kasusnya kepada KPK. Artinya, secara a contrario harus dimaknai, sepanjang perkara dimulai atau ditemukan oleh KPK, maka tidak terdapat kewajiban pula bagi KPK untuk menyerahkan perkara korupsi koneksitas kepada Oditurat dan peradilan militer.

Kedua, meskipun terdapat ketentuan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur “prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan baru tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan Undang-Undang”, namun menurut Mahkamah ketentuan tersebut baru berlaku jika sudah ada UU Peradilan Militer yang baru. Mahkamah dalam hal ini menggunakan penafsiran sistematis bahwa frasa “diatur dengan Undang-Undang” dalam UU TNI secara eksplisit harus dimaknai sebagai UU yang berlaku ke depan (yang dibentuk setelah tahun 2004). Selama belum terdapat UU Peradilan Militer yang baru, maka prajurit TNI tetap tunduk pada ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1997 yang mengatur penanganan bersama oleh penegak hukum sipil dan penegak hukum militer dalam pidana koneksitas.

Tindak Lanjut

Putusan Mahkamah Konstitusi ini perlu diapresiasi sebagai pelita dalam menerangi jalan pemberantasan korupsi yang melibatkan anggota militer. Impunitas yang selama ini menarik tuas penanganan perkara korupsi koneksitas ke dalam instansi militer sendiri, melalui Putusan ini memberi penegasan bagi KPK untuk tetap memegang kendali tuas penanganan kasus. Namun demikian, sekalipun perlu diapresiasi, terdapat beberapa catatan tindak lanjut pasca Putusan ini. Pertama, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah memandang perlu langkah-langkah pembaharuan hukum acara pidana untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian agenda pembaharuan hukum acara harus juga menavigasi perubahan hukum acara peradilan militer yang sekian lama tidak tersentuh dan menimbulkan kegamangan dalam penyelesaian perkara yang melibatkan anggota militer.  Tentu saja ini bukan hal yang mudah mengingat upaya untuk mereformasi hukum acara peradilan militer berpotensi menghadapi resistensi dari internal militer sendiri.

Kedua, kelemahan hukum acara peradilan militer berkelindan dengan ketidakjelasan regulasi teknis yang mengatur kapan kasus yang melibatkan anggota militer tersebut dapat ditindak. Belajar dari penanganan dugaan korupsi Kepala Basarnas yang menimbulkan perdebatan pada tahun 2023 silam, perlu ada ketegasan apakah seorang anggota militer aktif yang menjabat di instansi sipil dan diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam jabatannya di instansi sipil tersebut dapat dikualifikasi sebagai “anggota militer” dalam perkara koneksitas. Tindak lanjut terhadap ketentuan teknis perlu dipikirkan bersama guna mempersempit ruang bagi manipulasi pemberantasan korupsi di instansi militer.

Ketiga, tantangan terbesar justru berada di pundak KPK. Publik sudah banyak diingatkan, baik melalui berbagai tulisan pakar, seminar di berbagai forum, dan berbagai momentum politik yang terjadi (terakhir dalam uji kelayakan calon pimpinan KPK di DPR) bahwa pelemahan KPK bukan isapan jempol belaka. Upaya sistemis pasca perubahan UU KPK di tahun 2019 yang menempatkan KPK sebagai lembaga di bawah rumpun eksekutif justru menyisakan keraguan dan problem sistemis terhadap agenda pemberantasan korupsi yang melintas batas sipil dan militer ke depannya. Menarik untuk terus diikuti, apakah jalan penanganan korupsi koneksitas yang dibuka melalui Putusan Mahkamah Konstitusi ini berbanding lurus dengan keberanian KPK untuk menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi koneksitas yang melibatkan anggota militer. Tantangan ini perlu dijawab agar prediksi “pembusukan” KPK sebagaimana ditulis Zainal Arifin Mochtar (Kompas, 27 November 2024) tidak benar-benar terjadi. Semoga.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang pemberantasan korupsi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//