• Opini
  • Revisi UU Pilkada Adalah Pembangkangan terhadap Konstitusi

Revisi UU Pilkada Adalah Pembangkangan terhadap Konstitusi

Jika sudah ada resistensi untuk mendengarkan, yang dibutuhkan adalah aksi mengeraskan suara itu. Bukan hanya di ruang digital, tapi juga di ruang nyata.

Valeri Jehanu

Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Tangkapan layar gambar gugatan terhadap pembahasan revisi UU Pilkada yang viral di media sosial sepanjang Rabu, 21 Agustus 2024.

22 Agustus 2024


BandungBergerak.id - Sehari sebelum perayaan ulang tahun kemerdekaan, Presiden Joko Widodo menyampaikan permintaan maafnya di hadapan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam pidato terakhirnya itu, Presiden memberi isyarat berpamitan dan mengakui dirinya tidaklah sempurna.

Permintaan maaf ini terasa memilukan seiring dengan berbagai akrobat kekuasaan yang dipertontonkan selama pemerintahannya. Masih segar dalam ingatan bagaimana wibawa lembaga peradilan konstitusional dipinjam untuk melegitimasi pencalonan putra sulungnya. Banyak pihak mati-matian membela Putusan Mahkamah Konsitutsi (MK) 90/PUU-XXI/2023, padahal banyak pula akademisi yang memperingatkan bahaya permainan kekuasaan di akhir masa jabatan Presiden.

Parahnya lagi, kekuatan politik Presiden nyaris tak terkendali seiring dengan bergabungnya partai-partai politik yang sebelumnya berseberangan haluan dengan Presiden. Para elite politik menyebut ini sebagai harmoni. “Tidak ada lawan politik yang abadi. Setelah kontestasi, maka semua kembali cair”. Begitulah alegori politik kita dinarasikan dan dikumandangkan ke penjuru negeri. Mereka tutup mata dengan gejala absolutisme. Fungsi partai politik disederhanakan menjadi mitra Pemerintah.

Hari-hari terakhir ini, dukungan politik yang nyaris absolut telah memberi karpet merah bagi akrobat legislasi berikutnya: mengubah materi Undang-undang Pilkada yang belum seumur jagung diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Para sengkuni yang sebelumnya mengagungkan Putusan MK untuk memuluskan langkah pencalonan putra sulung Presiden, kini berpaling dan mengatakan Putusan MK perlu untuk ditindaklanjuti melalui perubahan Undang-Undang oleh DPR dan Presiden. Dulu, ketika semua menguntungkan, mereka sebut Putusan MK memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat, tapi kini mereka gunakan aturan lain dari Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk menyatakan sebaliknya.

Baca Juga: Sikap Presiden Jokowi Berpihak Dalam Pemilu Bisa Merusak Demokrasi
Demokrasi Mati dan akan Lahir Berkali-kali
Hasil Pemilu 2024 Dibayang-bayangi Pelemahan Demokrasi

Akrobat Legislasi: untuk Siapa?

Perkembangan revisi UU Pilkada di Badan Legislasi DPR yang dikebut dalam kurun waktu hanya tiga hari telah memunculkan dua persoalan substansial. Pertama terkait dengan batas usia. Mari kita jujur, perubahan ini untuk siapa? Adakah pihak selain Kaesang Pangarep, putra bungsu Sang Presiden, yang mendapat keuntungan dari perubahan ketentuan usia calon dalam UU Pilkada ini?

Masih segar dalam ingatan bagaimana persoalan ini bermula dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 23P/HUM/2024 yang mengubah tafsir terhadap Pasal  4 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 dari sebelumya “berusia paling rendah 30 tahun untuk calon Gubernur/Wakil Gubernur” menjadi “berusia paling rendah 30 tahun pada saat pelantikan pasangan Calon terpilih”. Lewat perubahan ini, Kaesang yang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024 dimungkinkan untuk maju dalam Pilkada 2024 sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur.

Putusan MA tersebut jelas bermasalah. Perubahan ketentuan tersebut dilakukan meski dalam UU Pilkada yang menjadi batu ujinya tidak mengatur apakah usia calon dihitung sejak pencalonan atau pelantikan. Parahnya, justru pertimbangan hukum atas ketentuan Peraturan KPU ini lah yang dilanggengkan oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk Undang-Undang untuk mengubah UU Pilkada.

Dalam ilmu hukum, dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan dan kedudukan Peraturan KPU ada di bawah Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden. Maka, tidak tepat jika Putusan MA yang dialamatkan pada KPU sebagai pembentuk Peraturan KPU justru dipakai oleh DPR dan Presiden untuk merevisi UU Pilkada. Hal ini jelas mengganggu logika semua orang yang belajar hukum. Saya kira mereka yang menyusun revisi UU Pilkada tahu betul bahwa ada kekeliruan yuridis dalam proses maupun materi perubahan UU Pilkada ini. Sayangnya, elite politik sudah terlanjur bungkam karena timbunan kasus yang digendongnya. Mereka memilih cuci tangan dan membiarkan pertunjukan brutal ini berlalu begitu saja.

Persoalan substansial yang kedua adalah pembajakan terhadap ketentuan ambang batas pencalonan Kepala Daerah. Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 sebelumnya telah menyatakan bahwa syarat threshold (ambang batas) pencalonan kepala daerah disetarakan dengan besaran threshold calon perseorangan dengan berbasis pada jumlah penduduk. Ini artinya, syarat threshold tidak lagi dibedakan antara kandidat yang diusung oleh Partai yang memiliki kursi di DPRD dan yang tidak. Penafsiran MK tersebut kemudian dipandang sebagai angin segar bagi beberapa calon Kepala Daerah yang sebelumnya terhambat oleh ketentuan threshold, termasuk Anies Baswedan. Namun nahas, perkembangan pembahasan di Baleg DPR justru menyepakati untuk memberlakukan syarat ambang batas perolehan suara sah hanya diberlakukan bagi persyaratan untuk mendaftarkan calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Padahal jelas tidak demikian bunyi Putusan MK.

Selain persoalan substansi, secara formal proses pembentukannya pun bermasalah. DPR dalam hal ini mengaktifkan klausul Rancangan Undang-Undang yang boleh diajukan di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) atau sering disebut RUU Kumulatif Terbuka. Salah satu syarat untuk mengajukan RUU tanpa melalui Prolegnas berdasarkan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah manakala RUU tersebut memenuhi beberapa kualifikasi, salah satunya adalah ‘akibat dari Putusan MK’. Padahal, jika membaca lebih sistematis, tentu bukan hal sulit untuk membaca bagian penjelasan dari ketentuan Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2011 beserta penjelasannya yang tegas menyatakan bahwa Undang-Undang yang merupakan tindak lanjut dari Putusan MK hanya boleh mengakomodasi ketentuan yang sejalan dengan pertimbangan hukum dalam Putusan MK. Ini artinya, tidak dibenarkan jika perubahan tersebut justru bertentangan dengan Putusan MK.

Akrobat legislasi ini terjadi sebagai akibat dari tidak diaturnya ketentuan mengenai lame duck session. Secara umum, lame duck session merujuk pada periode transisi kepemimpinan di pemerintahan yang terbentang dalam kurun waktu setelah pemilu dan sebelum pelantikan pemerintahan baru, di mana pejabat yang lama memiliki pengaruh politik yang cukup besar untuk menentukan pemerintahan yang baru. Beberapa negara mengatur mengenai lame duck session. Konstitusi Meksiko, misalnya melarang Presiden lama untuk menerbitkan UU baru selama masa transisi. India pun, demikian. Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam Konstitusi India, terdapat konvensi dan praktik politik yang membatasi kewenangan Perdana Menteri lama selama masa transisi.

Seorang demonstran di Bandung di tengah kabut asap gas air mata dan meriam air pada demonstrasi 2020. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Seorang demonstran di Bandung di tengah kabut asap gas air mata dan meriam air pada demonstrasi 2020. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Mengeraskan Suara

Muara dari catatan di atas adalah semakin memburuknya demokrasi kita. Pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi melalui revisi UU Pilkada dapat menguatkan kesan pengabaian terhadap supremasi konstitusi dan di saat yang sama telah melemahkan peran MK sebagai penjaga konstitusi. Hal ini mengancam prinsip checks and balances dalam sistem pemerintahan. Mayoritarianisme di parlemen yang mendukung Presiden lama sekaligus pemerintahan Prabowo-Gibran akan datang secara nyata telah memperkuat konsentrasi kekuasaan pada eksekutif dan melemahkan fungsi pengawasan legislatif. Pemerintah dengan begitu menjadi kedap akan kritik, sinis, bahkan resisten terhadap suara perubahan yang digaungkan rakyatnya sendiri.

Jika sudah ada resistensi untuk mendengarkan, yang dibutuhkan adalah aksi mengeraskan suara itu. Bukan hanya di ruang digital, tapi juga di ruang nyata. Gerakan sosial perlu menjadi katalis bagi munculnya perubahan.

Beberapa peristiwa dalam lima tahun terakhir di berbagai negara menunjukkan indikasi serius bilamana suara rakyat terus-terusan diabaikan. Protes terhadap RUU Ekstradisi di Hong Kong pada 2019-2020 yang dianggap mengikis kebebasan warga negara dan otonomi wilayah Hong Kong telah melahirkan pemogokan massal dan aksi protes berhari-hari. Contoh lain, protes terhadap Presiden Alexander Lukashenko di Belarusia yang dianggap memanipulasi hasil Pemilu pada tahun 2020 juga telah membawa ribuan orang turun ke jalan. Aksi-aksi ini tidak hanya merupakan gerakan kelas menengah karena, seperti di India pada 2020-2021, pengesahan Undang-Undang Pertanian lantas menggerakkan jutaan Petani berkemah di perbatasan New Delhi selama berbulan-bulan. Tekanan-tekanan semacam ini pada akhirnya memaksa Pemerintah memekakkan telinga dan mencabut Undang-undang yang tidak sebangun dengan kebutuhan rakyatnya.

Perihal ini, Montesquieu pernah menulis “There is no greater tyranny than that which is perpetrated under the shield of law and in the name of justice”. Tidak ada tirani yang lebih besar dari ia yang dilakukan di bawah naungan hukum dan atas nama keadilan. Lewat kata-katanya itu, Montesquieu memperingatkan tentang bahaya penyalahgunaan hukum oleh kekuasaan yang ingin melegitimasi tindakan otoriternya.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Demokrasi

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//