Demokrasi Mati dan akan Lahir Berkali-kali
Pemerintah berusaha mereduksi artikulasi demokrasi hanya menjadi konsensus. Tak ada jalan lain selain mengembalikan demokrasi sebagai pergulatan "yang-politis".
Irfan Fauzan
Masyarakat Sipil
23 Mei 2024
BandungBergerak.id – "Democracy is the menopause of Western society" diucapkan dari Perancis menjelang akhir abad ke-20 oleh Jean Baudrillard dalam Cool Memories. Dari Indonesia, di abad ke-21, dalam cuitan akun anonim atau obrolan abang-abangan gondrong, beredar frase yang mengabarkan bahwa yang menopause itu telah mati: "Kematian Demokrasi”. Kita berhak untuk menggugat: sebenarnya demokrasi apa yang mati? Atau, yang lebih penting, apa alasannya kita mengatakan bahwa yang "ini" demokrasi, sedangkan yang "itu" tidak? Akhirnya, yang paling penting, jika yang "ini" telah mati, apa dasarnya perlu melahirkannya kembali?
Artikel ini adalah yang paling ringkas yang bisa diucapkan. Tidak akan bisa mendalam tapi juga tentu jangan sampai terlalu dangkal. Di mulai dari ringkasan dua tradisi demokrasi yakni libertarian dan demokratik. Lalu bagaimana hari-hari ini kekuasaan hanya menghidupkan satu tradisi demokrasi (libertarian) dan mematikan tradisi yang lain (demokratik). Serta uraian perlunya menghidupkan tradisi yang mati itu demi kembalinya demokrasi.
Baca Juga: Di Balik Pesta Demokrasi
Sikap Presiden Jokowi Berpihak Dalam Pemilu Bisa Merusak Demokrasi
Demokrasi Rungkad
Dua Tradisi Demokrasi
Demokrasi modern adalah produk Revolusi Perancis. Saat gairah perlawanan menggejala, para revolusionis abad ke-18 itu memegang demokrasi di tangannya untuk meruntuhkan absolutisme raja. Dalam upaya ini, tiga prinsip menjadi landasan yakni kebebasan, kesetaraan, persaudaraan. Prinsip liberal, seperti kebebasan, hadir untuk melepaskan diri dari keterkekangan raja. Di sisi yang lain, ada prinsip demokratik seperti kesetaraan –antara pemerintah dan yang diperintah– dan kedaulatan rakyat. Sampai di sini, kita bisa cermati perbedaan demokrasi modern dan demokrasi kuno di Athena.
Dalam demokrasi kuno, konsep demos (rakyat) terjebak pada eksklusivisme segelintir orang, yakni para filsuf dan bangsawan dengan mengeliminir kaum perempuan, anak-anak, dan budak. Dalam versi modern, demos itu mencakup seluruh warga negara (citizen, Ing; citoyen Prnc.). Tetapi, sebagaimana ditekankan Carl Schimtt, demos sebagai konsep sentral dalam demokrasi itu tetap memerlukan adanya eksklusi. Tetapi kini, eksklusi tidak terletak pada subjek imanen: kaum perempuan, anak-anak, dan budak. Melainkan antara batasan imajiner "kami" dan "mereka". "Kami" adalah kawan, "mereka" adalah lawan. Atau dalam praktik kita sebut sebagai oposisional. Perbedaan lainnya yaitu terkait dengan motivasi demokratisasi.
Demokrasi modern, di dalam dirinya bersemayam dua tradisi, yakni libertarian dan demokratik. Dalam tradisi demokratik, pluralitas dijunjung tinggi. Pluralitas ini diperlukan sebagai upaya pencegahan dari otoriterianisme. Terlebih lagi, dalam pluralitas itu diterima adanya kesetaraan, sehingga setiap perbedaan diandaikan memiliki kesempatan yang sama untuk diucapkan. Berbeda dengan itu, tradisi libertarian berupaya mengedepankan kesamaan. Bagi libertarian, perbedaan adalah ancaman yang bisa mengganggu hak-hak individu mereka. Mereka membutuhkan stabilitas dan kondusivitas untuk memuluskan kepentingan utama mereka yakni harta milik (private property).
Perbedaan ini mengimplikasikan perbedaan respons mereka terhadap pluralitas: demokratik melestarikannya, libertarian menegasikannya. Dalam tradisi demokratik, pluralitas diapresiasi untuk memungkinkan adanya antagonisme antara "kami" dan "mereka". Kondisi ini sama sekali tidak dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, melainkan sebaliknya, pluralitas dan antagonisme adalah nilai intrinsik yang memungkinkan adanya demokrasi itu sendiri; ia tidak bisa dihilangkan, segala kompromi hanyalah kesementaraan. Antagonisme adalah cara demokrasi membuka dirinya terhadap disensus bagi pihak-pihak yang berpartisipasi (Nur Iman, Hizkia Yosie, Prasojo, 2010).
Di sisi yang lain, bagi libertarian, pluralitas dan antagonisme perlu dicarikan solusi; perlu dihilangkan atas nama persatuan. Dari sini libertarian mengimani apa yang disebut konsensus. Teori ruang publik (public sphare) Jurgen Habermas adalah bentuk kontemporer konsepsi ini. Dari yang plural perlu diciptakan yang universal. Di sinilah konsep "pertemuan konsensus" (overlapping consensus) diciptakan untuk menunjukkan titik temu yang menyatukan pandangan yang berbeda (Iman, Yosie, Prasojo, 2010). Setelah pandangan tersebut di satukan, maka terciptalah kebenaran universal. Rasionalitas publik (public reason) dan moral obyektif adalah kriteria kebenaran universal itu (John Rawls, 1996).
Oposisi adalah Lalat Pengganggu!
"Kalau sudah tidak mau diajak kerja sama, jangan mengganggu!" Ucap Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam pidatonya di acara Bimtek dan Rakornas PAN, (9 Mei 2024). Logika analitiknya adalah: kata "bekerja sama" adalah eufemisme kata "konsensus", dan siapa yang "mengganggu" artinya melawan "konsensus" itu. Lebih lagi, siapa yang melawan konsensus ekuivalen mengancam demokrasi. Dalam lain perkataan, jika melawan (sebagai oposisi) pemerintahan Prabowo (sebagai konsensus), maka mengancam demokrasi. Demikian kiranya, apa yang disebut Foucault sebagai “governmentality’ (rasionalitas kepemerintahan) pemerintahan Prabowo.
Wacana "jangan-ganggu-pemerintah" ini bukan sekedar kalimat tak berujung yang statis atau mati. Melainkan akan menjadi seperangkat wacana hidup yang memiliki kriteria mengenai benar/salah, baik/buruk, pantas/tidak pantas, normal/tidak normal, dsb. Dan dengan begini, wacana akan melahirkan efeknya, yakni efek regulatori; ia akan menata realitas berdasarkan standar kriterianya. Dalam hal ini, diperlukan adanya aparatus. Aparatus akan menjadi kendaraan wacana untuk mereplikasi dirinya terus-menerus. Melalui hukum, sosial-media, tempat ibadah dsb. wacana akan memonitor, membentuk, mengendalikan sikap, opini, bahkan pengetahuan masyarakat; bukan hanya melalui apa, tapi juga melalui siapa: dosen, influencer, bahkan selingkuhan Anda (Giorgio Agamben, 2009). Aparatus akan terus mengedarkan wacana agar realitas tertata dan berhak mendapat predikat "normal" berdasarkan standar pemerintah. Dengan cara beginilah wacana "jangan-ganggu-pemerintah" akan menghegemoni dan menjadi kebenaran universal (Laclau dan Mouffe, 1985).
Pada dasarnya, kebenaran universal adalah ancaman bagi politik. Politik adalah suatu perjuangan untuk mengisi kuasa hegemonik ruang wacana (Lihat Laclau dan Mouffe, Hegemony and Social Strategy [London: Verso, 1985]). Paradoksnya, sebagaimana diperingatkan Foucault, suatu wacana yang telah menguasai takhta hegemoni akan selalu mendepolitisasi dirinya. Ia akan melucuti (baca: mengaburkan) dimensi kepolitikan dari makna wacananya sehingga memungkinkannya menutup diri dari wacana alternatif; dari segala macam perdebatan dan interograsi, dan dengan demikian menutup juga ruang kontestasi wacana yang adalah politik itu sendiri. Sementara itu, makna wacana yang telah didepolitisasi akan di-fix-kan sebagai yang-benar secara universal dan pemaknaan lain sebagai yang-salah; "Ini" adalah makna demokrasi yang-benar, sedangkan "itu" yang-salah; bekerja sama dengan pemerintah adalah demokrasi, sedangkan "mengganggu"-nya tidak. Keadaan fiksasi makna atau yang disebut Mouffe sebagai "politik tanpa politik" ini berakibat serius, wacana alternatif mengenai demokrasi tidak lagi dipandang dalam matriks "politik sebagai kontestasi wacana", melainkan akan dianggap sebagai sesuatu yang melawan kebenaran universal yang taken for granted, diterima secara sah tanpa keraguan, maka dengan begitu si wacana alternatif itu berhak ditumpas atas nama "kebenaran".
Di titik ini, frase "Kematian Demokrasi" ada benarnya. Namun perlu diperhatikan, yang mati adalah demokrasi yang berbasis pluralitas dan antagonisme; yang menghendaki batasan jelas antara "kawan" dan "lawan"; antara incumbent dan oposan. Pemerintah berusaha mereduksi artikulasi demokrasi hanya menjadi konsensus; hanya berhak hidup dalam rapat institusi, kabinet koalisi, prosedur pemilu 5 tahun sekali. Demokrasi menjadi, dalam istilah Baudrillard "menopause", atau bahkan, dalam istilah abang-abangan "mati", karena kehilangan, dalam istilah Alan Badiou "yang-politis".
Demokrasi sebagai Kata Kerja
"Yang-politis" selalu tak ternamai. Ia adalah agregat dari gerak, keberanian, subjektivitas kolektif saat mencapai titik kulminasinya. Ia menerobos ketakmungkinan dan dilakukan demi adanya kebaruan. Kebaruan masyarakat, kebaruan kebudayaan, kebaruan kemanusiaan. Ia adalah politik yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi: politik sebagaimana diidamkan, yang tertekan di bawah instansi ketaksadaran (Robertus Robet, 2008).
Politik sebagai yang tak ternamai namun dengan begitu ia menyatukan (dalam kesementaraan) segala yang terfragmentasi. Politik yang suatu waktu bisa menyatukan buruh-tani, mahasiswa, rakyat miskin, golongan kanan-tengah-kiri, dalam satu lokus energi dan harapan yang sama demi meruntuhkan satu rezim yang kemudian kita sebut Reformasi.
Reformasi hanyalah perdikat bagi "yang-politis". Satu nama yang terberi setelah "kejadian" (event) itu tiba. Dalam bentuknya kini, Reformasi telah menjadi struktur, prosedur, mekanis. Reformasi merosot menjadi tatanan yang diam-diam menegakkan tubuh politik kedurjanaan –La Police dalam filsafat Ranciere. Pemerintahan korup mengatasnamakan Reformasi, nepotisme bersarang dalam Reformasi, otoriterianisme membunyikan dirinya demi Reformasi. Dalam jenis inilah yang menurut pandangan awan disebut politik: sebagai aktivitas rutin tukar tambah kekuasaan dan mempertahankan mati-matian hantu kedaulatan. (Mengenai hantu kedaulatan lihat Hizkia Yosie, Asal Usul Kedaulatan)
Tetapi "yang-politis" melampaui ini. Yang-politis adalah yang dalam psikoanalisis disebut sebagai The Real; yang kata Lacan "that which resist symbolisation"; "what is strictly unthinkable". Ia selalu diingkari, berusaha disingkirkan, berada di tepi yang tidak mencuat; suatu obsene dari sebentuk scene tubuh politik yang mapan, dari format The Symbolic. Dan oleh yang mapan (status quo) akan dianggap ancaman. Oleh negara disebut pemberontakan, makar, anarkis dst. Oleh agama disebut bidah. Oleh sosiologi disebut perilaku menyimpang. Oleh psikologi disebut simptom kegilaan. Tetapi ia SELALU KEMBALI! Ia kembali ketika tubuh politik yang mapan itu retak.
Dalam suatu "kejadian" (event) ketika sistem turbulensi dan membutuhkan lompatan. Tentu "yang-politis" itu tidak bisa dipastikan kapan, tidak dapat diprediksi dan belum diberi nama. Sebagaimana Reformasi bukan agenda 5 tahun sekali. Maka hanya melalui "kesetiaan" (fidelity) dalam keyakinan pada faktisitas bahwa "kejadian" akan tiba, segala gerak, keberanian, dan subjektivitas kolektif akan tumbuh dan terawat. Saat-saat ini yang oleh orang Yunani disebut Kairos. Kairos adalah suatu "waktu" yang menghasilkan kesempatan untuk mengambil keputusan eksistensial. Suatu waktu "pra-kejadian" yang tidak akan datang dua kali: golden moment; dan pada saatnya menentukan "kejadian" itu sendiri. Adalah suatu waktu ketika Soekarno-Hatta diculik golongan muda ke Rengasdengklok yang pada saatnya melahirkan "kejadian" Hari Kemerdekaan.
Inilah jalan yang terbuka bagi "kami" sebagai kawan dan "mereka" sebagai lawan. Tak ada jalan lain selain mengembalikan demokrasi sebagai pergulatan "yang-politis" dalam "kesetiaan" pada "kejadian" yang ada di depan sana. Jalan yang hendak diretas ini tak perlu menjadi sebentuk resep rigid; dalam kairos diperlukan kelenturan metode, taktik, dan strategi: untuk satu waktu melalui partai atau melawan partai, melalui hukum atau memperbarui hukum, percakapan di parlemen atau menduduki parlemen. Melalui segala jenis panggilan keadilan yang tak pernah membisu "kami" merelakan diri untuk melawan (GM, 2009). Satu hal yang pasti: "THEY can cut all the flowers, but NO ONE can’t keep spring from coming"—Pablo Neruda.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang demokrasi