• Opini
  • Di Balik Pesta Demokrasi

Di Balik Pesta Demokrasi

Pemilu sebagai prosedur demokrasi menjadi salah satu kunci perbaikan dan pengawasan terhadap kekuasaan. Kepentingan rakyat harus menjadi fokus utama proses politik.

Munanda Okki Saputro

Mahasiswa S-2 Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pegiat Monolog Pejalan serta ruang puisi Kelompok Selokan.

Diorama Rumah Pintar Pemliu KPU Provinsi Jawa Barat di Bandung, Rabu (8/6/2022). Tahapan pemliu dimulai 14 Juni 2022. Ditetapkan biaya tahapan sampai pelaksanaan pemilu 2024 yaitu Rp 76,6 triliun rupiah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

6 Desember 2023


BandungBergerak.id – Pemilihan umum yang berlangsung setiap lima tahun sekali di Indonesia sering kali digambarkan sebagai “pesta demokrasi.” Pada masa itulah rakyat memiliki kesempatan untuk menggunakan suara mereka dalam menentukan pemimpin negara, dengan harapan bahwa pemimpin yang terpilih akan membawa negara ke arah kemajuan dan peningkatan kesejahteraan. Namun, istilah “pesta” ini membutuhkan introspeksi yang lebih mendalam. Pesta memang sudah seharusnya menjadi momen yang riuh dan meriah, tetapi pada siapa sebenarnya pesta ini ditujukan? Apakah ini pesta bagi rakyat?

Teori demokrasi, terutama dalam konsep modernnya, menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik. Demokrasi bukan hanya tentang pemilihan pemimpin, tetapi juga tentang Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan berekspresi, keterlibatan warga dalam urusan negara, dan perlindungan hak-hak minoritas. Masyarakat seharusnya tidak hanya diberi suara sekali dalam lima tahun, melainkan juga memiliki akses yang lebih besar terhadap perwakilan politik dan proses pembuatan kebijakan dalam kehidupan bernegara.

Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat) yang dibuktikan dengan tingginya angka money politics, diskriminasi politik, dan kebijakan yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat (Hilmy, 2020 : 148). Menjadi sebuah tanda tanya besar jika kembali menilik frasa “pesta demokrasi,” masihkah layak menjadi slogan untuk menarik optimisme dan antusiasme masyarakat dan siapa saja yang menjadi aktor “pesta demokrasi” 2024 cukup menarik untuk ditelisik lebih dalam.

Baca Juga: Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Ketiadaan Politik Kewargaan di Tengah Pemilu
Mewaspadai Hoaks pada Pemilu 2024

Relasi Politik Bisnis

Hubungan politik bisnis bukan menjadi hal yang asing lagi di Indonesia. Berdasarkan data relasi politik dan bisnis, 55% dari seluruh jumlah DPR RI tahun 2019-2024 atau sekitar 5 – 6 orang dari 10 anggota DPR merupakan pengusaha. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fachri Aidulsyah pada “Peta Pebisnis di Parlemen Potret Oligarki di Indonesia”, dari jumlah tersebut, sebanyak 26% menduduki posisi sebagai pemilik perusahaan, 25% sebagai direktur/wakil direktur, 18% sebagai direktur utama/presiden direktur, 15% sebagai komisaris serta 16% sisanya duduk sebagai posisi strategis perusahaan lainnya.

Dalam Pemilu 2024, dapat kita amati bersama pada komposisi tim pemenangan dari masing-masing calon, tim pemenangan pasangan capres cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD diketuai oleh Arsjad Rasyid yang merupakan Presiden Direktur PT Indika Energy Tbk. Selain di bidang energi, ia juga menduduki beragam posisi di beberapa perusahaan bidang media, keuangan, dan teknologi. Struktur tim pemenangan Ganjar-Mahfud juga melibatkan pebisnis seperti Sandiaga Uno yang mendirikan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk bersama Edwin Soeryadjaya. Bisnis Sandiaga Uno merambat pada perusahaan pembangunan telekomunikasi, energi batu bara, dan sawit. Selain kedua tokoh bisnis tersebut, dilengkapi juga dengan Bagas Adhadirga, Angela Tanoesoedibjo, Orias Petrus moedak, Heru Dewanto, Denon Prawairaatmaja, Regi Wahyu, dan Dharmaji Suradika.

Pada kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar diisi oleh tiga pengusaha besar, seperti Thomas Trikasih Lembong, Letotinus Alpha Edison, Gede Widiade dan dukungan dari ketua partai pengusung, Partai Nasdem, Surya Paloh. Sedangkan pada kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diliputi oleh pebisnis besar di antarannya Rosan Roeslani sebagai ketua, Abu Rizal Bakrie, Hasim Djojohadikusumo, Erwin Aksa, Pandhu Sjahrir, Putri Kuswisnu Wardani, Maher Algadri, dan Teo Samboaga.

Nama-nama besar pebisnis papan atas Indonesia tersebut menjadi begitu wajar sebab modal kampanye yang diperlukan tentu tidak sedikit. Hal ini memicu hubungan simbiosis mutualisme, maka tak heran jika banyak kebijakan negara yang pada akhirnya akan lebih berpihak pada elite bisnis. Dampaknya adalah konflik kepentingan, beberapa kasus kebijakan yang mengakibatkan gejolak pada masyarakat menjadi perhatian serius, sebab Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat perusahaan swasta terlibat dalam 100 konflik kekerasan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.

Tantangan Demokrasi

Profesor demokrasi, Larry Diamond dalam bukunya yang berjudul “The Spirit of Democracy” menggarisbawahi pentingnya partisipasi publik dalam menjaga kesehatan demokrasi. Ia berpendapat bahwa demokrasi bukan hanya tentang pemilihan umum, melainkan juga tentang budaya politik yang memungkinkan partisipasi warga negara dalam pembuatan keputusan, penguatan lembaga sipil, dan transparansi pemerintahan. Diamond menekankan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan keterlibatan warga negara yang aktif dan sadar akan tanggung jawab kewarganegaraan mereka sepanjang waktu, bukan hanya saat pemilu.

Pemikiran Larry Diamond mengungkapkan pandangan tentang demokrasi yang sehat sangat relevan. Kita juga perlu mempertimbangkan pemikiran Colin Crouch tentang konsep “Post-Demokrasi”. Crouch berargumen bahwa dalam era kontemporer, demokrasi sering kali menjadi semacam pertunjukan simbolis, di mana partisipasi publik telah berkurang dan kekuasaan politik sebenarnya dipegang oleh elite korporat dan birokratis. Dalam konteks ini, pemilu dapat menjadi semacam “pameran” demokrasi daripada sebuah mekanisme untuk menggambarkan kekuasaan rakyat. Indonesia juga menghadapi tantangan dalam konteks “Post-Demokrasi” yang dijelaskan oleh Crouch, di mana banyak partai politik lahir dan berkembang dari modal elite pebisnis. Hal itu memungkinkan orientasi partai politik akan bergeser pada kepentingan kelompok atau golongan tertentu.

Dengan demikian, kita harus lebih memahami bahwa demokrasi tidak boleh hanya menjadi “pesta” yang di adakan setiap lima tahun sekali. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemerintah dan pengambilan keputusan harus ditingkatkan sepanjang waktu. Hal ini tidak hanya akan menguatkan demokrasi, tetapi juga akan memastikan bahwa kepentingan rakyat selalu menjadi fokus utama dalam proses politik. Dalam menyikapi pemilu 2024, kita harus mengingatkan pemerintah dan perwakilan politik bahwa mereka bertanggung jawab kepada rakyat, bukan sebaliknya. Kita perlu menjadikan demokrasi sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat, di mana nilai-nilai demokrasi seperti partisipasi, keterbukaan, dan perlindungan hak asasi manusia dijunjung tinggi sepanjang waktu. Diperlukan pula kesadaran politik lebih mendalam untuk mendorong munculnya kritik yang masif dan berkelanjutan sebagai bentuk pengawasan terhadap kekuasaan

Keluwesan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan pada semua orang untuk berhak memilih dan dipilih memungkinkan orang-orang lalim juga untuk menjadi pemimpin. Demokrasi adalah sistem yang tidak mudah untuk dijaga, keterlibatan aktif, dan selalu mendiskursi prosedur demokrasi menjadi kunci perbaikan dan pengawasan terhadap kekuasaan. Bicara soal demokrasi, tentu tidak hanya soal capres-cawapres dan pemilu. Bicara soal demokrasi berarti bicara soal kebijakan negara yang beberapa tahun terakhir menimbulkan gejolak besar, mulai dari RUU KUHP, Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK, Proyek Strategis Nasional yang banyak  berujung konflik antara negara dengan warga melalui aparatnya, dan penjaminan akan kebebasan berekspresi dari ketakutan atas ancaman pasal karet UU ITE.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//