• Berita
  • Mewaspadai Hoaks pada Pemilu 2024

Mewaspadai Hoaks pada Pemilu 2024

Media harus mewaspadai peredaran hoaks pada Pemilu 2024. Informasi hoaks dapat merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi.

Seminar Netralitas Media dan Arus Informasi untuk Pemilu 2024 yang Demokratis di Bale Rumawat, Universitas Padjadjaran (Unpad) Dipatiukur, pada Rabu, 22 November 2023. (Foto: Muhammad Andi Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Andi Firmansyah24 November 2023


BandungBergerak.id – Sebagian besar orang, kalau bukan semuanya, akan setuju bahwa berita dan informasi yang kita terima—terutama seputar Pemilu 2024—begitu bias. Keluhan dan persoalan ini menjadi topik inti dari seminar nasional berjudul “Netralitas Media dan Arus Informasi untuk Pemilu 2024 yang Demokratis”, di Bale Rumawat, Universitas Padjadjaran (Unpad) Dipatiukur, pada Rabu, 22 November 2023 pagi. Acara ini diselenggarakan oleh program studi Ilmu Politik Unpad.

Ceramah Yusa Djuyandi, dosen Ilmu Politik Unpad membuka seminar dengan pendapatnya mengenai fungsi media massa dalam konteks demokrasi. Ia memosisikan media sebagai pilar keempat dari demokrasi yang memengaruhi publik, serta agen-agen politik dalam pembuatan kebijakan. Media punya beberapa kekuatan yang tak dimiliki oleh tiga pilar demokrasi ala Montesquieu, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Yusa berpandangan, dengan posisinya tersebut maka media harus menyediakan informasi yang dibutuhkan warga negara untuk menjadi bebas dan otonom, menyuplai informasi yang diperlukan pemerintah untuk merancang keputusan demi kepentingan bersama, menjadi arena diskusi publik, serta bertindak sebagai pengawas penyalahgunaan kekuasaan di bidang politik dan bidang-bidang lain dalam masyarakat.

“Ketika media menyampaikan suatu informasi,” ungkap Yusa tentang peran media terhadap demokrasi, “di situ juga ada tanggung jawab media untuk memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat. Informasi dan pendidikan ini sangatlah penting bagi keberadaan media, termasuk mengontrol aktivitas pemerintahan supaya pemerintah dalam menjalankan atau membuat kebijakannya memang sesuai dengan yang dikehendaki masyarakat.”

Namun, fungsi ideal tersebut terhambat  oleh kenyataan media sebagai entitas bisnis. Mungkin bisa dibilang bisnis yang mulia, tapi tetap saja bisnis. Ini tak berarti Yusa mendiskreditkan peran besar media, tapi faktanya organisasi berita mana pun pasti akan membutuhkan sumber daya modal untuk terus bertahan. Sebuah media akan mati kalau tak bisa menjual langganan dan iklan, atau bersandar pada kekayaan pemilik dan donaturnya.

“Di tengah adanya suatu proses industrialisasi,” ujar Yusa, “maka di situ terletak kelemahan media. Kenapa? Karena kemudian para politisi atau pemilik media yang mempunyai suatu keinginan untuk masuk ke dunia politik akhirnya memanfaatkan media sebagai corong dari kekuasaannya. Apakah ini hanya terjadi di Indonesia? Sebenarnya tidak… Politisi dan partai turut memanfaatkan media dengan modal ekonomi yang mereka miliki.”

Pendapat tersebut diamini oleh pembicara lainnya, Kardono Setyorakhmadi, eks jurnalis Jawa Pos. Bagi Kardono, problem mendasar yang dihadapi media saat ini selain terdesak media sosial, juga semakin menipisnya “kue iklan”. Kehadiran internet mendisrupsi model bisnis media tradisional, mengubah cara orang mengonsumsi berita, dan akhirnya menantang media massa untuk memonetisasi produknya secara online.

“Situasi ini berimbas pada media mainstream hari ini kesulitan mencari model bisnisnya apa. Antara mempertahankan jurnalisme yang baik dengan sustainability, nggak pernah ketemu sampe sekarang. Terus kemudian karena mengejar efektivitas, otomatis produk jurnalisnya menjadi terpengaruh. Lalu karena mengejar omzet juga, akhirnya redaksi mengalah kepada pemasang iklan, dan kemudian pencarian bentuk bisnisnya pun jadi bingung,” terang Kardono.

Baca Juga: Jawa Barat Lumbung Suara Pemilu 2024, Jumlah Pemilih Terbanyak Kabupaten Bogor
Perebutan Pengaruh Partai Politik Berhaluan Agama dan Nasionalis di Jawa Barat Menjelang Pemilu 2024
Calon Pemilih Muda Rentan Menjadi Sasaran Hoaks Politik

Media Partisan, Bias, dan Penyebaran Hoaks

Bagi Yusa, media di Indonesia saat ini masih menjadi corong politik dari kekuasaan kelompok tertentu. Hal yang tak kalah mirisnya adalah bagaimana media, alih-alih menawarkan akurasi dan akuntabilitas, malah menjadi medium untuk menyerang lawan politik secara tak adil.

“Maka media tidak boleh berpihak kepada calon tertentu ataupun partai politik tertentu. Media juga harus menjadi saluran informasi yang tepat dan berguna bagi publik. Dan yang tidak kalah penting, informasi yang disampaikan oleh media juga tidak boleh bias,” ujar Yusa.

Kardono menyampaikan pendapat senada. Media harus memperjuangkan kepentingan rakyat, dan bukan menjadi suara dari kepentingan kelompok politik tertentu.

Perspektif serupa juga disampaikan pembicara ketiga, Shinta Ressmy Cakra Ningrat, anggota Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). “Media harus tetap mengabarkan berita benar,” ujarnya.

Shinta secara khusus menyoroti media partisan dan bias dengan penyebaran kabar hoaks dalam konteks Pemilu. Dampak informsai hoaks selain merugikan kandidat yang berkontestasi dalam pemilu, juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi. Ketika masyarakat meragukan keandalan sumber berita, maka mereka akan kian kesulitan untuk membuat keputusan yang tepat dan rasional.

“Ketika kita berbicara dampak,” tutur Shinta, “tentu kita bicara satu hal yang beyond—atau lebih jauh. Karena ketika kita melihat dampak, itu tidak bisa ketika satu hoaks beredar hari ini, kita gak bisa langsung melihat dampak atau hasilnya hari ini juga. Tapi itu (baru) bisa kita lihat beberapa waktu atau beberapa tahun kemudian.”

Terlebih, menurutnya, apa yang menjadikan informasi hoaks lebih berbahaya lagi adalah bahwa sebuah hoaks acap kali diproduksi dan direproduksi berulang-ulang. Dengan kata lain, satu hoaks saja, sekalipun telah berumur belasan tahun, masih bisa berbahaya—dan terkadang lebih berbahaya karena pengulangan kebohongan akan membuatnya seolah-olah benar. Jadi, pada Pemilu 2024 nanti, hoaks di Pemilu 2019 mungkin bakal muncul lagi.

“Kemudian yang terakhir, hoaks itu dapat menyebar dan melekat pada pikiran orang,” tutur Shinta saat menerangkan efek aneh hoaks secara psikologis. “Seperti yang tadi udah aku singgung, hoaks itu tuh bisa menjadi bola liar dan sulit untuk dikendalikan, apalagi hoaks yang memang udah familier banget dan sering banget kita dengar, misal Jokowi keturunan China dan komunis. Hal-hal seperti ini bisa melekat di kita tahunan, bahkan puluhan tahun.”

Peliknya, tak ada cara mudah untuk memberantas informasi bohong dan bias. Berita-berita ini sering kali menggunakan bahasa yang ambigu, sehingga kita sulit untuk menentukan itikad yang sebenarnya dari media tersebut. Kesulitan ini diperparah efek filter bubble, yang mana algoritma media sosial dan situs berita memungkinkan kita hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan pandangan kita sendiri.

Lalu, haruskah kita pesimis? Tidak, tegas Shinta. Ada cara sederhana untuk mengenali serta memberantas berita bohong. Pertama, verifikasi sumber, terutama memeriksa reputasi dan riwayat sumber berita. Kedua, bandingkan berbagai sumber untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap. Ketiga, cek fakta menggunakan situs pemeriksa fakta. Keempat, pahami konteks dari cerita atau berita tersebut.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyahserta artikel-artikel lain bertema politik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//