• Kolom
  • CATATAN SI BOB #14: Totti dan Pertanyaan Eksistensi

CATATAN SI BOB #14: Totti dan Pertanyaan Eksistensi

Sejarah seni penuh dengan jiwa-jiwa yang mendahului masanya, yang mati dalam kemiskinan sebelum karyanya dihargai.

Bob Anwar

Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]

Konser Kemiskinan dan Kelaparan dimotori Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Bandung di depan gedung DPRD Kota Bandung, Senin, 20 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

9 April 2025


BandungBergerak.id – Sepi itu adalah bentuk kemewahan bagi mereka yang hidup di masa bising. Totti, 27 tahun, berdiri dengan gitar di punggungnya. Benda yang sebagian orang menyebutnya alat, sebagian lain menyebutnya jiwa. Ia terjebak antara dua dunia. Di satu kaki, ia masih menginjak tanah analog yang semakin gersang, di kaki lainnya, ia terperosok ke dalam lautan algoritma yang menentukan siapa layak didengar. Dua puluh tujuh: angka yang menandai keabadian bagi Jim Morrison, Kurt Cobain, dan Amy Winehouse. Bagi Totti, usia itu hanya menandai pertanyaan tentang keberadaan.

Cahaya digital dari layar gadget menerpa wajahnya yang lelah. Angka-angka statistik berkedip: jumlah pendengar, jumlah pengikut, jumlah apresiasi. Matematika baru yang mengukur nilai seni. Dingin, mekanis, hampa. Jauh berbeda dari kehangatan yang ia rasakan ketika pertama kali jari-jarinya memetik senar gitar. Di sudut kamarnya yang sempit, tiga album rekaman mandirinya kini seperti prasasti dari zaman yang keliru. Bukan karena tidak bernilai, tetapi karena tidak terbaca oleh mesin pencatat nilai zaman ini, mesin yang hanya mengenali like, share, dan comment sebagai buah eksistensi.

Apa yang terjadi dengan dunia ketika nilai tidak lagi ditentukan oleh kedalaman, tetapi oleh keluasan? Media sosial adalah agora modern, tetapi juga bisa menjadi kuburan massal bagi gagasan-gagasan yang tak memiliki tubuh menarik untuk dipajang. Totti sering termenung di depan layar gadgetnya: "Haruskah aku menanggalkan substansi demi tampilan?" Pertanyaan yang absurd, namun nyata. Seperti seorang pendeta yang harus memilih antara keimanan dan megah gedung gereja.

Orang-orang terdekatnya mulai menjauh. Tidak secara fisik, tetapi dalam percakapan yang semakin dangkal. "Masih bermain musik?" tanya mereka, seakan bermain musik adalah hobi masa remaja, bukan pilihan hidup. Dulu, mereka berbagi mimpi malam, ditemani kopi murah dan lagu-lagu perlawanan. Kini, mereka sibuk dengan laporan keuangan dan rapat pagi. Totti tak bisa menyalahkan. Semua orang punya definisi masing-masing tentang 'hidup'. Namun baginya, hidup dan musik adalah dua kata untuk hal yang sama.

Ibunya menelepon tiap akhir pekan. Selalu dengan pertanyaan sama: "Sudah dapat kerja tetap?" Pertanyaan itu tidak menghakimi, hanya khawatir. Namun tetap saja, pertanyaan itu menusuk hingga ke sumsum. Apakah menghabiskan belasan jam sehari untuk menemukan satu melodi yang sempurna, satu lirik yang jujur, satu harmoni yang tepat? Apa itu bukan kerja? Setiap kali sambungan telepon terputus, Totti merasakan kekosongan yang sama. Lubang hitam yang menelan keyakinannya, menariknya ke dalam spiral ketidakpastian. Ia ingin menjelaskan bahwa ia sedang membangun sesuatu, bahwa proses ini sama berharganya dengan hasil. Tapi kata-katanya selalu hilang sebelum terucap.

Makna Keberadaan Zaman

Persoalannya bukan sekadar tentang musik, tetapi tentang makna keberadaan di zaman ketika nilai manusia diringkas menjadi metrik digital. Totti bukan yang pertama menghadapi dilema ini. Sejarah seni penuh dengan jiwa-jiwa yang mendahului masanya, yang mati dalam kemiskinan sebelum karyanya dihargai. Franz Kafka meminta sahabatnya membakar semua naskahnya. Emily Dickinson menyimpan ratusan puisi di laci tanpa pernah dipublikasikan. Tapi setidaknya pada masa itu, kegagalan masih memiliki wibawa. Di zaman digital, kegagalan berarti ketiadaan. Bagaimana menjadi Chairil masa kini jika tulisanmu bahkan tidak muncul dalam penelusuran Google?

Petang mulai melingkupi kamarnya. Totti kembali meraih gitarnya. Ia memetik beberapa nada. Tetapi tidak ada yang terdengar benar. Pandangannya melayang ke luar jendela, mencari inspirasi dari cahaya-cahaya kota yang mulai menyala satu persatu. Beberapa hari lalu, seorang produser komersial menawarkan kerja sama. "Dalam seminggu, kita bisa membuatmu viral," ujarnya dengan keyakinan penuh, seolah viralitas adalah pencapaian tertinggi seni. Totti menolak, tapi kini ia bertanya-tanya: apakah keputusan itu tepat? Apakah terlalu naif mempertahankan idealisme di zaman ketika idealisme tidak lagi memiliki nilai tukar?

Di tengah keraguan itu, ponselnya bergetar. Pesan dari seseorang tak dikenal: "Saya menemukan musik Anda secara tak sengaja. Ini telah menemani saya melalui masa-masa tersulit dalam hidup saya." Hanya itu. Tanpa permintaan, tanpa harapan balasan. Sebuah kesaksian murni dari seorang pendengar anonim. Totti merasakan sesuatu bergerak dalam dirinya. Bukan kepuasan ego, bukan pula ambisi terpenuhi, melainkan pengingat sederhana: musik dicipta untuk didengar, untuk dirasakan, untuk membuat perbedaan, meski hanya pada satu jiwa yang kesepian di suatu tempat tak bernama.

Mungkin inilah yang ia perlukan untuk melanjutkan. Bukan janji kemasyhuran, bukan jaminan kesuksesan finansial, tetapi bukti kecil bahwa ia tidak berkarya dalam kehampaan. Bahwa ada makna dalam perjuangannya, sekecil apa pun itu. Di dunia yang terobsesi dengan kuantitas, mungkin kualitas dari satu koneksi manusiawi masih memiliki nilai tak tergantikan. Totti memejamkan mata, merasakan kayu gitar dan senar di bawah jari-jarinya, mulai membayangkan melodi baru. Ia tahu, jalannya masih panjang dan gelap, tapi setidaknya untuk malam ini, ia telah menemukan alasan untuk melangkah. Dan kadang, itu sudah cukup.

08/04/2025

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//