Festival Bandung Menggugat: Menguatkan Supremasi Sipil di Tengah Iklim Militerisme
Pembangunan infrastruktur meningkatkan eskalasi kekerasan terhadap rakyat. Menguatnya militer dikhawatirkan semakin melemahkan supremasi sipil.
Penulis Yopi Muharam14 April 2025
BandungBergerak.id - Demonstrasi besar-besaran yang meletus di lebih dari 57 titik di Indonesia sebagai bentuk penolakan terhadap Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI) menunjukkan gelombang penolakan terhadap kebijakan yang bisa menghidupkan kembali rezim otoriter. Setelah jatuhnya Orde Baru dan pengembalian militer ke barak melalui reformasi, pemerintahan di bawah Prabowo Subianto kini dianggap berpotensi mengembalikan militer ke ranah sipil, yang bisa mengancam supremasi sipil di negara ini.
Asfinawati, pegiat hak asasi manusia (HAM) dan akademisi di Sekolah Tinggi Hukum Jantera, menyatakan bahwa dalam draf RUU TNI terdapat satu pasal yang memungkinkan TNI mengawasi buruh, yang baginya jelas-jelas mengembalikan sistem dwifungsi militer yang telah dibongkar sejak reformasi.
“Tentara harusnya ngelihatin apakah ada pulau kita dicuri oleh asing, apakah pasir kita dijual ke luar negeri, ikan kita dicuri oleh negara tetangga,” ujarnya saat menjadi pembicara di Festival Bandung Menggugat di Bale Dago Elos, Bandung, pada Sabtu, 12 April 2025.
Asfin menambahkan bahwa keberadaan pasal tersebut berisiko besar bagi kebebasan sipil. Ia menilai bahwa militer seharusnya tidak terlibat dalam pengawasan terhadap buruh yang hanya berjuang untuk pemenuhan hak-haknya. Pasal ini, menurutnya, menciptakan ancaman yang nyata bagi masyarakat, khususnya buruh yang kerap terlibat dalam demonstrasi menuntut hak atas upah.
Mantan koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini juga menegaskan bahwa meskipun pemerintah berusaha keras mempertahankan kebijakan ini, rakyat akan tetap melawan.
Menurutnya, corak pemerintahan militerisme selalu beriringan dengan militerisasi. Asfin mengkritik praktik militerisasi yang sudah mulai merambah lembaga pemerintahan, bahkan di sekolah-sekolah dasar, di mana siswa diwajibkan mengikuti upacara bendera setiap Senin. Hal ini, menurutnya, adalah bentuk nasionalisme yang sesungguhnya lebih merupakan bentuk militerisasi.
“Nasionalisme yang dibangun dengan cara-cara seperti itu sesungguhnya adalah militerisasi,” ujarnya tegas.

Kekerasan Militer
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat bahwa dalam setahun terakhir, militer telah terlibat dalam 64 peristiwa kekerasan, termasuk penganiayaan, penyiksaan, dan intimidasi terhadap masyarakat sipil. Dimas, koordinator KontraS, menyatakan, “64 peristiwa tersebut menyebabkan 75 orang luka-luka dan 18 orang tewas,” yang menunjukkan betapa besar ancaman kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap rakyat, dikutip dari Tempo.
Selain itu, Dimas juga menyoroti ketidakseimbangan anggaran negara yang lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan militer dibandingkan dengan sektor pendidikan dan kesehatan. Kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan infrastruktur pendidikan atau kesehatan akan lebih kecil ketimbang memenuhi keperluan militer agar terpenuhi.
Virdinda La Ode Achmad, perwakilan KontraS, juga menyatakan bahwa HAM saat ini sangat dipertaruhkan di bawah pemerintahan yang beralih ke tangan Prabowo. Dinda, panggilan akrabnya, mengungkapkan bahwa setelah kepemimpinan Jokowi, yang melahirkan Asta Cita, kini pemerintahan yang ada justru melemahkan supremasi sipil.
Sejak pemerintahan Prabowo, Aksi Kamisan yang sebelumnya rutin digelar untuk menuntut penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, kini tidak lagi mengirimkan surat ke Istana Presiden. “Kita berteriak kepada orang yang masih harus bertanggung jawab atas kasusnya,” ujar Dinda, menggambarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap pemerintah saat ini.
Dinda juga mengkritik pembentukan Kementerian HAM oleh Prabowo, yang menurutnya hanya sekadar gimik belaka. “Rezim kita pedulikan HAM tapi HAM yang hampa,” tegasnya.
Baca Juga: Mengeja Semangat Zaman dan Upaya Membangun Gerakan Politik Alternatif
Festival Bandung Menggugat, Merawat Napas Perlawanan dan Menyatukan Suara-suara Kritis
Merawat Demokrasi dari Ancaman Kekuasaan Melalui Solidaritas Mahasiswa, Komunitas, dan Masyarakat Sipil di Festival Bandung Menggugat
Infrastruktur yang Menambah Ketegangan Sosial
Heri Pramono, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung), menyatakan bahwa peningkatan pembangunan infrastruktur di Jawa Barat kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat sipil. Heri menyoroti kasus di Sukahaji, Bandung yang baru-baru ini menjadi sorotan setelah terjadi penggusuran paksa. Di Sukahaji, masyarakat sering kali dihadapkan pada ancaman kekerasan, dan intimidasi.
“Ini membuktikan adanya penciutan gerakan rakyat yang dihadapkan dengan kekerasan,” ungkap Heri, yang menambahkan bahwa masyarakat yang menolak penggusuran sering kali dipaksa untuk menuruti kehendak penguasa yang membawa kekerasan fisik.
Heri menekankan pentingnya perlawanan, bahwa perlawanan terhadap kebijakan ini tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga melalui media sosial dan bentuk lainnya. “Perlawanan itu mulainya dari bawah,” ujarnya. Ia menekankan bahwa setiap individu berhak untuk berbicara dan berkumpul, serta mengkritik pemerintah yang dinilai tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat.
“Perlawanan itu bisa dilakukan dengan cara apa pun, termasuk dalam berkumpul dan berbicara terkait kondisi negara yang sedang tidak baik-baik saja,” tambah Heri, menekankan pentingnya kebebasan sipil dalam menghadapi rezim otoriter yang semakin menguat.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur yang marak di Jawa Barat, meskipun penting untuk kemajuan, sering kali diliputi dengan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Namun, adanya upaya pengembalian militer ke ranah sipil, seperti yang tercermin dalam RUU TNI, supremasi sipil semakin terancam.
Masyarakat, aktivis, dan pegiat HAM menilai bahwa kekuatan militer yang lebih dominan ini dapat menambah ketegangan sosial dan semakin memperlemah ruang demokrasi di Indonesia. Rakyat harus terus bersolidaritas untuk menjaga hak-hak mereka dan mencegah kekuasaan yang terpusat menjadi alat untuk menindas kebebasan sipil.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Festival Bandung Menggugat