Negara Milik Segelintir
Pembangunan infrastruktur menghasilkan ketimpangan struktural. Manfaat ekonomi dinikmati segelintir elite, sementara biaya sosial dan ekologis ditanggung masyarakat.

Ahmad Rizki Alimudin
Direktur Eksekutif SALAM Institute Periode 2022-2024
7 Mei 2025
BandungBergerak.id – Apakah negara ini benar-benar milik semua, atau telah berubah menjadi ruang privat bagi segelintir elite yang melanggengkan kekuasaan atas nama pembangunan dan kemajuan? Di tengah jargon kemakmuran dan diskursus pertumbuhan hijau, terhampar jurang kesenjangan sosial yang kian menganga antara rakyat biasa dan kelompok elite. Paradoks ini bukan sebatas soal angka statistik, tetapi menyangkut lanskap konkret kehidupan sehari-hari: siapa yang mengakses udara bersih, siapa yang melintasi kota dalam kenyamanan, dan siapa yang dikorbankan atas nama investasi. Negara, alih-alih menjadi penengah kepentingan, tampak lebih sering berperan sebagai fasilitator akumulasi kapital bagi minoritas pemilik modal –sebuah perwujudan nyata dari accumulation by dispossession.
Dalam konfigurasi kapitalisme kontemporer, rakyat dipaksa memaknai ulang hak atas ruang hidup sebagai komoditas yang dapat dinegosiasikan. Ketika warga desa berjejalan di transportasi publik yang rapuh, para pejabat sibuk terbang melintasi langit dalam jet pribadi, menyumbang emisi karbon tanpa pertanggungjawaban. Ketika tanah dirampas demi tambang nikel dan proyek energi terbarukan, para oligark menuai profit dari ekspor bahan baku yang diklaim “hijau”. Saat warga menghirup debu batu bara dari PLTU yang tua dan kotor, elit berdiskusi dalam hotel ber-AC tentang transisi energi tanpa membocorkan angka emisi. Bahkan ketika pejuang lingkungan dikriminalisasi, jalan-jalan mulus justru dibangun untuk mempermudah investor masuk ke kawasan konservasi.
Fenomena-fenomena ini bukan sekadar anomali, melainkan gejala struktural dari model pembangunan yang bercorak ekstraktif dan bersifat elitis. Teori Karl Marx tentang relasi kelas menemukan aktualitasnya di sini: alat produksi dan kontrol atas sumber daya berada di tangan minoritas, sementara mayoritas hanya menjadi objek penderita. Perampasan ruang, polusi sistemik, dan krisis iklim yang ditanggung rakyat bukanlah konsekuensi kebetulan, melainkan bagian dari sistem yang dirancang untuk mempertahankan privilese segelintir orang. Artikel ini hendak membedah lima fragmen ketimpangan yang mencerminkan krisis keadilan ekologis dan sosial di Indonesia hari ini.
Kesenjangan sosial antara rakyat dan elite di Indonesia bukan sekadar perbedaan pendapatan atau akses terhadap sumber daya, melainkan manifestasi dari ketimpangan struktural yang sistemik. Fenomena ini mencerminkan bagaimana akumulasi kapital oleh segelintir elit sering kali terjadi melalui perampasan ruang hidup dan hak-hak dasar rakyat. Kondisi ini dapat dipahami sebagai bentuk “accumulation by dispossession” atau akumulasi melalui perampasan.
Baca Juga: Jejak Hitam Kekuasaan di Gedung Dewan
Sawit dan Komitmen Palsu Penurunan Emisi
Karena Kita Warga Republik maka Kedaulatan di Tangan Rakyat
Ketimpangan Mobilitas dan Emisi
Dalam lanskap urban Indonesia, mobilitas telah menjelma menjadi indikator nyata dari ketimpangan struktural. Rakyat kebanyakan, terutama kelas pekerja urban dan suburban, bergantung pada moda transportasi massal yang rentan, sempit, dan penuh sesak. KRL Commuter Line misalnya, setiap harinya mengangkut lebih dari 1 juta penumpang dalam kondisi yang tidak manusiawi, menunjukkan keterbatasan infrastruktur negara dalam menjamin hak dasar warga atas mobilitas yang bermartabat. Sementara itu, kemacetan kronis akibat ledakan kendaraan pribadi turut memperburuk kualitas udara, menyebabkan Jakarta menduduki peringkat kota dengan tingkat polusi udara tertinggi di Asia Tenggara menurut IQAir 2023.
Kontras mencolok dapat kita amati dalam pola mobilitas para oligark dan pejabat tinggi negara yang kerap menggunakan jet pribadi, helikopter, hingga kendaraan lapis baja. Jet pribadi, menurut studi Transport & Environment (2022), menyumbang emisi karbon hingga 10 kali lipat lebih besar dibanding pesawat komersial per penumpang, dan 500 kali lebih besar dibanding kereta. Namun, dalam kalkulasi politik lingkungan nasional, emisi dari mobilitas elite ini kerap luput dari perhitungan resmi. Negara justru lebih fokus menargetkan konsumsi energi rumah tangga sebagai penyumbang emisi, alih-alih menyoroti gaya hidup kelas atas yang intensif karbon.
Fenomena ini memperjelas bahwa hak atas ruang dan waktu telah menjadi komoditas yang diprivatisasi. Mobilitas, dalam artian luas, tidak lagi sekadar soal berpindah tempat, melainkan tentang siapa yang berhak atas akses terhadap ruang-ruang sosial, dan siapa yang harus bernegosiasi dengan waktu, cuaca, dan risiko sosial. Ketika warga miskin kota terlambat ke tempat kerja karena kereta mogok atau jalan tergenang, elit dengan mudah menavigasi langit Nusantara dalam kabin kedap suara. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi tentang siapa yang memiliki kedaulatan atas waktu.
Kondisi ini mencerminkan bentuk baru dari spatial injustice, atau ketidakadilan spasial, di mana ruang-ruang publik dipereteli fungsinya dan digantikan oleh arsitektur eksklusif bagi kelompok kaya. Negara, alih-alih meratakan akses, justru menjadi operator dari politik diferensiasi ini. Paradoks muncul ketika narasi pembangunan transportasi publik disuarakan dengan gegap gempita, namun pada saat yang sama negara memberikan insentif fiskal untuk kepemilikan kendaraan pribadi dan pembelian avtur jet pribadi yang dikenakan pajak lebih rendah dibanding bensin rakyat.
Akhirnya, negara tidak hanya gagal dalam membangun ekuitas spasial, tetapi juga menjadi katalisator dari logika logistik kapitalistik yang eksploitatif. Infrastruktur dibangun bukan untuk membebaskan rakyat dari alienasi ruang, melainkan untuk mempercepat sirkulasi komoditas dan mengakomodasi kenyamanan kelas atas. Maka tak heran jika ketimpangan mobilitas ini menyublim menjadi bentuk kekerasan struktural yang kasat mata.
Nikel, Perampasan Tanah, dan Keuntungan Elite
Booming nikel dalam lanskap geopolitik global tidak bisa dilepaskan dari ambisi transisi energi dunia. Namun, alih-alih menjadi berkah bagi masyarakat lokal, nikel justru menjadi instrumen baru kolonialisme internal. Di Halmahera Tengah, Morowali, dan Konawe, ekspansi tambang nikel telah memicu eksklusi agraria secara masif. Lahan-lahan adat dialihfungsikan menjadi konsesi tambang, tanpa konsultasi yang bermakna, dan warga dipaksa berpindah tanpa kompensasi yang layak. Relasi kuasa ini mengingatkan pada tesis Saskia Sassen tentang "expulsions" –yakni pengusiran sistemik sebagai modus pengakumulasian baru.
Menurut data JATAM (2023), lebih dari 200 konflik agraria bersumber dari aktivitas pertambangan nikel. Ironisnya, keuntungan dari sektor ini terakumulasi di tangan korporasi tambang dan pemodal besar, yang sebagian besar terhubung dengan elit politik melalui skema oligarki ekonomi-politik. Hilirisasi nikel yang dijadikan andalan dalam program industrialisasi nasional, nyatanya juga melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional yang menguasai teknologi dan rantai pasok, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh berupah rendah dan korban dari degradasi lingkungan.
Kondisi ini memperlihatkan bagaimana pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya tidak pernah benar-benar berorientasi pada distribusi keadilan sosial. Tanah sebagai ruang kehidupan mengalami de-subjektifikasi –menjadi objek tak bernyawa yang nilainya diukur semata dari kandungan mineralnya. Dalam logika kapitalisme ekstraktif, ekosistem dan relasi sosial tradisional dianggap sebagai hambatan bagi akumulasi, dan oleh karenanya harus dieliminasi.
Nikel, yang semula digadang sebagai logam masa depan untuk mobil listrik, telah menjadi wajah baru dari green colonialism. Proyek transisi energi, dalam konteks ini, hanyalah wajah lain dari akumulasi melalui perampasan (Harvey, 2004), di mana narasi keberlanjutan justru menjadi legitimasi untuk ekspropriasi. Negara, alih-alih menjadi pelindung hak konstitusional warga atas tanah, justru berperan sebagai mediasi antara modal dan ruang hidup rakyat.
Dalam ranah hukum, hal ini tercermin dari berbagai regulasi yang mengendurkan izin lingkungan dan memperkuat dominasi korporasi tambang. UU Cipta Kerja, misalnya, secara sistemik memarginalkan partisipasi publik dan memperlemah mekanisme evaluasi lingkungan. Maka yang terjadi bukan sekadar perampasan lahan, tetapi juga amputasi terhadap hak demokratis masyarakat dalam menentukan masa depan ekologis mereka.
Polusi Batu Bara dan Kurangnya Transparansi Emisi
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara merupakan penopang utama energi di Indonesia, namun sekaligus penyumbang emisi karbon terbesar dan pencemar udara lokal yang paling mematikan. Studi Greenpeace Indonesia (2021) mencatat bahwa emisi dari PLTU batu bara menyebabkan sekitar 10.000 kematian prematur setiap tahun akibat penyakit pernapasan, stroke, dan kanker paru. Namun, hingga hari ini, data emisi aktual dari tiap PLTU tidak tersedia secara publik secara rinci. Ketertutupan ini memperlihatkan defisit transparansi dalam tata kelola lingkungan.
PLTU di Cirebon, Suralaya, dan Batang menjadi contoh konkret bagaimana rakyat di sekitar kawasan industri energi ini harus menanggung konsekuensi lingkungan yang berat. Anak-anak mengalami gangguan tumbuh kembang, nelayan kehilangan akses ke laut karena pembuangan limbah termal, dan petani kehilangan produktivitas tanah akibat akumulasi partikel debu. Sementara itu, para pemilik konsesi tambang batu bara dan pengembang PLTU menikmati stabilitas profit dari skema jual beli listrik yang dijamin negara melalui skema take or pay.
Kurangnya transparansi emisi adalah bagian dari politik epistemik yang disengaja. Negara, melalui Kementerian ESDM dan KLHK, kerap menggunakan narasi teknokratis yang menjauhkan masyarakat dari kemampuan untuk memahami dan mengintervensi kebijakan energi. Bahkan ketika proyek transisi energi digaungkan, PLTU tetap dibangun dengan dalih kebutuhan energi nasional, meskipun sebagian besar listrik digunakan untuk mendukung kawasan industri ekstraktif dan smelter nikel.
Dalam teori Michel Foucault, situasi ini mencerminkan "biopolitik lingkungan" di mana tubuh rakyat dijadikan alat tukar dalam kalkulasi rasional pembangunan energi. Negara tidak hanya menciptakan ketimpangan dalam distribusi dampak lingkungan, tetapi juga dalam distribusi pengetahuan dan akses informasi. Hal ini menghalangi masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban, dan pada akhirnya menciptakan invisible suffering –penderitaan yang tidak tercatat dalam statistik negara.
Ketika elite bisa memilih tinggal di kawasan bebas polusi dan memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan terbaik, rakyat di lingkaran PLTU tidak memiliki pilihan selain bertahan dalam kondisi lingkungan yang semakin tidak layak huni. Maka polusi bukan hanya persoalan teknis, tetapi problem politik dan etika publik yang mencerminkan siapa yang layak hidup sehat dan siapa yang bisa dikorbankan.
Kriminalisasi Aktivis Lingkungan dan Pembangunan Infrastruktur
Dalam dekade terakhir, Indonesia menyaksikan peningkatan signifikan dalam kriminalisasi terhadap para pembela lingkungan hidup. Menurut data dari berbagai organisasi masyarakat sipil, antara tahun 2014 hingga 2023, setidaknya terjadi 133 kasus kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan. Fenomena ini mencerminkan bagaimana negara, alih-alih melindungi hak-hak warga untuk mempertahankan lingkungan hidup yang sehat, justru memosisikan diri sebagai alat represi demi kepentingan investasi dan pembangunan infrastruktur yang sering kali merugikan masyarakat lokal.
Pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol dan proyek-proyek strategis nasional lainnya, sering kali dijustifikasi dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan peningkatan konektivitas. Namun, di balik narasi tersebut, terdapat praktik-praktik eksklusi sosial dan ekologis yang menyingkirkan komunitas lokal dari ruang hidup mereka. Proyek-proyek ini sering kali dirancang tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat terdampak, sehingga melanggengkan ketimpangan kekuasaan antara negara, investor, dan rakyat.
Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tetapi juga mencerminkan krisis demokrasi ekologis di Indonesia. Dalam kerangka ini, negara berperan sebagai fasilitator bagi akumulasi kapital oleh segelintir elite, dengan mengorbankan hak-hak dasar rakyat atas lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
Pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan ekologis, berpotensi memperdalam krisis lingkungan yang sudah ada. Dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur menjadi instrumen bagi reproduksi ketimpangan struktural, di mana manfaat ekonomi terakumulasi di tangan segelintir elite, sementara biaya sosial dan ekologis ditanggung oleh masyarakat luas.
Oleh karena itu, diperlukan paradigma pembangunan alternatif yang menempatkan keadilan sosial dan ekologis sebagai prinsip dasar. Hal ini mencakup pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal, partisipasi bermakna dalam proses pengambilan keputusan, serta penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif terhadap para pembela lingkungan.
Hambatan Energi Terbarukan dan Pembangunan PLTU Baru
Transisi menuju energi terbarukan di Indonesia menghadapi berbagai hambatan struktural dan kebijakan yang menguntungkan kepentingan elite dan industri besar. Salah satu contohnya adalah revisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021 yang membatasi kapasitas pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap hanya 10-15% dari kapasitas terpasang. Kebijakan ini dianggap menghambat pengembangan energi terbarukan dan partisipasi masyarakat dalam transisi energi.
Selain itu, aturan baru yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 menetapkan sistem kuota untuk PLTS atap, yang dinilai mempersulit izin dan penetrasi PLTS atap. Klausul evaluasi kuota yang dilakukan setiap lima tahun sekali dapat menghambat iklim pengembangan PLTS atap yang justru ditargetkan bertumbuh pesat hingga 3,6 gigawatt (GW) pada 2025.
Di sisi lain, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru seperti PLTU Suralaya Unit 9 dan 10 terus berlanjut, meskipun dampak lingkungan dan kesehatan dari PLTU batu bara sudah diketahui luas. PLTU ini berisiko menyebabkan ribuan kematian dini dan menyumbang lebih dari 250 juta metrik ton CO2 ke atmosfer. Selain berdampak pada kesehatan, PLTU di Suralaya juga telah menghancurkan mata pencaharian petani dan nelayan, serta menyebabkan penggusuran paksa tanpa kompensasi yang memadai.
Pembangunan PLTU baru ini bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sesuai dengan Perjanjian Paris. Meskipun teknologi modern pada unit baru diharapkan mampu mengurangi dampak polusi, pembakaran batu bara tetap menjadi ancaman serius bagi lingkungan. Operasional unit baru ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi pemerintah dan pelaku industri untuk memprioritaskan transisi ke energi bersih.
Keseluruhan fenomena ini mencerminkan ketimpangan struktural yang mendalam antara rakyat dan elite di Indonesia. Kebijakan dan praktik pembangunan saat ini sering kali mengorbankan kepentingan rakyat demi keuntungan segelintir elite. Perubahan mendasar dalam paradigma pembangunan dan kebijakan publik diperlukan untuk mencapai keadilan sosial dan lingkungan yang sejati.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya mengenai lingkungan