Sawit dan Komitmen Palsu Penurunan Emisi
Rencana perluasan lahan sawit bukan hanya pengkhianatan terhadap komitmen lingkungan, tetapi juga pelecehan terhadap prinsip keadilan sosial.
Ahmad Rizki Alimudin
Direktur Eksekutif SALAM Institute Periode 2022-2024
27 Januari 2025
BandungBergerak.id – Pemerintah Indonesia kembali melangkah mundur dalam upaya melawan krisis iklim. Di tengah berbagai janji untuk menurunkan emisi dan menjaga kelestarian lingkungan, rencana perluasan lahan sawit yang diajukan justru bertolak belakang dengan komitmen tersebut. Kebijakan ini bukan hanya mempercepat kerusakan ekosistem hutan tropis, tetapi juga mengabaikan dampak sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat lokal. Dalam beberapa dekade terakhir, ekspansi perkebunan sawit telah menjadi momok bagi lingkungan, dari deforestasi besar-besaran hingga perampasan lahan masyarakat adat.
Indonesia telah berulang kali menegaskan komitmennya terhadap perjanjian internasional seperti Paris Agreement, di mana negara ini berjanji menurunkan emisi hingga 31,89% pada 2030. Namun, realitas di lapangan jauh berbeda. Pembukaan lahan sawit tidak hanya merusak hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia, tetapi juga memicu konflik agraria yang melibatkan masyarakat lokal yang hidup di sekitar kawasan perkebunan.
Dengan terus didorongnya kebijakan ekspansi lahan sawit, jelas bahwa ada kepentingan oligarki di balik keputusan ini. Sebagian besar lahan yang dialokasikan untuk sawit berada di bawah kendali perusahaan besar yang berafiliasi dengan elite politik, mencerminkan fenomena korupsi struktural yang mengakar. Ketika keuntungan pribadi lebih diutamakan daripada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, kebijakan publik berubah menjadi alat penindasan yang legal, menimbulkan kerusakan ekologis yang sulit dipulihkan. Kritik dari berbagai pihak semakin keras, terutama dalam konteks dampaknya terhadap krisis iklim global yang kian memburuk.
Baca Juga: Menguji Klaim Ramah Lingkungan dari Produsen Produk Minyak Goreng
Alih Fungsi Lahan Gambut di Indonesia Mempercepat Kerusakan Lingkungan dan Krisis Iklim
Bahaya Memperluas Perkebunan Kelapa Sawit bagi Masa Depan Hutan Indonesia
Sawit dan Kerusakan Ekologis
Perkebunan sawit telah menjadi salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa Indonesia kehilangan lebih dari 3,47 juta hektar hutan antara 2011 dan 2019, sebagian besar untuk perluasan perkebunan sawit. Pembukaan lahan yang sering kali dilakukan melalui pembakaran menyebabkan pelepasan karbon dalam jumlah besar, memperparah dampak perubahan iklim global. Dalam laporan Greenpeace, sekitar 40% dari kebakaran hutan pada tahun 2019 terjadi di lahan konsesi sawit, menimbulkan kabut asap yang mencemari udara hingga ke negara-negara tetangga.
Kerusakan ekologis yang diakibatkan oleh sawit tidak hanya terjadi pada hutan dan atmosfer. Keanekaragaman hayati Indonesia, yang merupakan salah satu yang terkaya di dunia, berada di ambang kepunahan. Satwa-satwa endemik seperti orangutan dan harimau Sumatra kehilangan habitat alaminya akibat pembukaan lahan sawit. Laporan WWF menyebutkan bahwa populasi orangutan Kalimantan telah menurun lebih dari 50% dalam dua dekade terakhir akibat ekspansi perkebunan ini. Ketika hutan digantikan oleh monokultur sawit, ekosistem yang kompleks terganggu, menyebabkan hilangnya stabilitas lingkungan yang penting bagi kehidupan makhluk hidup lainnya.
Dari segi iklim, deforestasi untuk sawit merupakan sumber emisi karbon terbesar kedua di Indonesia setelah sektor energi. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa antara tahun 2002 dan 2021, Indonesia kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan primer. Angka ini tidak hanya merujuk pada kerugian karbon yang dilepaskan ke atmosfer, tetapi juga pada hilangnya kemampuan hutan untuk menyerap emisi karbon. Dengan demikian, perluasan lahan sawit menjadi salah satu penyumbang utama bagi percepatan pemanasan global, yang ironisnya terjadi di tengah komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi.
Pengkhianatan Terhadap Komitmen Iklim
Indonesia telah menandatangani Paris Agreement dengan janji untuk menurunkan emisi sebesar 31,89% pada tahun 2030. Namun, dengan kebijakan ekspansi sawit, komitmen ini menjadi sebuah ilusi. Sejak komitmen tersebut ditandatangani, deforestasi yang dipicu oleh sawit terus berlanjut tanpa hambatan berarti. Laporan dari Global Carbon Project bahkan menunjukkan bahwa emisi karbon Indonesia dari sektor lahan terus meningkat setiap tahun, sebagian besar terkait dengan ekspansi industri sawit.
Tidak hanya itu, kebijakan ini juga melanggar janji Indonesia dalam inisiatif global lainnya seperti UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Alih-alih menurunkan emisi, pemerintah justru terus mendorong sektor agribisnis yang sangat bergantung pada pembukaan lahan. Proses pengelolaan lahan gambut, yang banyak digunakan untuk perkebunan sawit, semakin memperburuk masalah ini. Ketika lahan gambut dikeringkan, emisi gas rumah kaca yang dilepaskan dari tanah tersebut lebih besar dibandingkan dengan hutan tropis biasa, mempercepat kerusakan lingkungan.
Pengkhianatan ini memperlihatkan ketidakkonsistenan kebijakan Indonesia di ranah internasional. Meski telah menyepakati perjanjian iklim yang ambisius, pada kenyataannya, pemerintah lebih memilih untuk mengutamakan kepentingan ekonomi jangka pendek yang dihasilkan dari industri sawit. Langkah mundur ini tidak hanya merugikan citra Indonesia sebagai pemimpin dalam isu iklim, tetapi juga mencederai kepercayaan global terhadap komitmen lingkungan yang diemban oleh negara ini.
Kepentingan Oligarki di Balik Kebijakan
Di balik rencana perluasan lahan sawit, terdapat kepentingan oligarki yang semakin mendominasi kebijakan publik di Indonesia. Banyak perusahaan sawit besar dikuasai oleh oligarki yang memiliki akses langsung ke pengambil keputusan di pemerintahan. Praktek korupsi struktural ini telah menciptakan pola perizinan yang longgar, di mana perusahaan-perusahaan besar dengan mudah mendapatkan akses ke lahan hutan untuk dieksploitasi.
Sebagian besar lahan sawit di Indonesia dikuasai oleh segelintir perusahaan yang memiliki hubungan erat dengan elite politik. Menurut laporan tersebut, sekitar 60% dari total lahan sawit di Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang memiliki afiliasi dengan penguasa lokal maupun nasional. Hubungan antara perusahaan dan pejabat pemerintah ini menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus, di mana pengusaha dan politisi sama-sama memperoleh keuntungan besar dari eksploitasi lahan, sementara masyarakat lokal semakin terpinggirkan.
Tidak hanya perizinan yang diperjualbelikan, tetapi juga penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan sering kali diabaikan. Kasus-kasus pembakaran lahan yang melibatkan perusahaan besar jarang berakhir dengan hukuman tegas. Sementara itu, masyarakat adat yang mencoba mempertahankan tanah mereka dari ekspansi sawit sering kali diintimidasi dan dikriminalisasi. Fenomena ini mencerminkan bagaimana oligarki telah mengambil alih kontrol atas kebijakan lingkungan, menjadikannya instrumen untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan pribadi.
Rencana perluasan lahan sawit bukan hanya pengkhianatan terhadap komitmen lingkungan, tetapi juga pelecehan terhadap prinsip keadilan sosial. Di saat dunia semakin mendesak tindakan nyata untuk menanggulangi krisis iklim, Indonesia justru memperparah masalah dengan melindungi kepentingan oligarki di atas kepentingan rakyat dan lingkungan. Krisis iklim bukan lagi isu masa depan; itu adalah kenyataan yang sudah menghantui kita saat ini. Dan jika kebijakan yang merusak ini terus berlanjut, maka Indonesia hanya akan dikenang sebagai negara yang gagal melindungi masa depannya sendiri.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya mengenai lingkungan