Alih Fungsi Lahan Gambut di Indonesia Mempercepat Kerusakan Lingkungan dan Krisis Iklim
Lahan gembut di Indonesia diperkirakan sekitar 13,43 juta hektare atau 10 persen dari luas daratan Indonesia, terutama tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Penulis Yopi Muharam31 Oktober 2024
BandungBergerak.id - Restorasi lahan utan di Indonesia mepercepat terjadinya perubahan iklim yang dampaknya semakin nyata. Lahan gambut kerap menjadi sasaran empuk untuk melakukan restorasi lahan. Hal tersebut menyebabkan banyak lahan gambut sering terbakar di tiap tahunnya akibat kekeringan. Kondisi ini juga diperparah dengan alih fungsi lahan untuk proyek food estate seperti di Kalimantan dan Papua.
Mengutip dari laman pantaugembut.id luas lahan gembut di Indonesia diperkirakan sekitar 13,43 juta hektar atau 10 persen dari luas daratan Indonesia. Tiga pulau besar yang menyumbang lahan gembut tersebut antara lain seperti pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Maka dari itu, Indoensia menjadi salah satu negara dengan luas lahan gembut tersebesar di dunia.
Akan tetapi, alih fungsi lahan yang melibatkan lahan gembut ini dapat berpotensi merusak ekosistem yang harusnya menjadi penyeimbang alam dan penyimpan karbon terbesar. Atas nama pembangunan pula, ekosistem tersebut terganggu oleh program keberlanjutan proyek strategis nasional yang sering digaungkan oleh rezim sebelumnya, Joko Widodo.
Kepala Global untuk Hutan Indonesia Greenpecae Kiki Taufik menjabarkan, luas areal terbakarnya lahan gembut di Indonesia tahun 2023 mencapai 2,13 juta hektare. Dari jumlah itu, sebanyak 1,3 juta hektare merupakan lahan yang sebelumnya pernah atau bahkan sering terbakar sepanjang tahun 2015-2022. Artinya, menurut Kiki permasalahan menyoal lahan gembut tidak terselesaikan, bahkan makin memburuk.
Kiki menyinggung tentang regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait kegunaan lahan gambut biasanya hanya menguntungkan pihak swasta saja. Salah satuya tentang kedalaman gambut yang boleh dimanfaatkan ialah kurang dari 3 metere. Menurutnya hal tersebut dapat berisiko besar lahan akan terbakar. Dia juga mengungkapkan bahwa penertbitan izin perudahaan tidak transparan.
"Transparansi data sangat penting agar publik bisa memantau kebijakan pemerintah, termasuk izin-izin perkebunan dan proyek strategi nasional yang merusak ekosistem gambut," ujarnya saat pemaparan materi di webinar yang diselenggarakan Warga Berdaya tentang Warisan Kekacauan Restorasi Gambut Era Jokowi, Rabu, 20 Oktober 2024.
Dia melanjutkan dengan ketiadaan transparasi data membuat upaya pelestarian dan perlindungan lingkungan akan sulit terwujud. Kiki juga mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia agar jangan berhenti bersuara untuk mendukung lingkungan hidup.
Warisan Kekacauan
Di sisi lain, juru kampanye Pantau Gambut menilai buruknya kinerja pemerintahan era Jokowi saat menjabat sebagai presiden. Dia mengungkapkan sedikitnya 4.000 hektar area ekstensifikasi food estate yang dibangun di lahan ex-PLG di seluruh Indonesia terbengkalai. Ada temuan terjadinya tumpang tindih antara area estensifikasi dengan konsesi perkebunan kepala sawit.
Lebih dari itu, dari total 4.000 ribu hektare yang dijadikan lahan food estate tersebut hanya satu persen lahan yang cocok untuk pertanian. Jika mengulas empat tahun ke belakang, saat masa Covid-19 masih mewabah, pemerintahan Jokowi menunjuk Meneri Pertahanan, Prabowo Subianto – saat ini Presiden RI – untuk membuka lumbung pangan di pulau Kalimantan, tepatnya di 19 desa di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisang.
Lahan seluas 30 ribu hekatare tersebut akan dijadikan sawah dan kebun singkong. Namun temuan di lapangan mengungkapkan sebanyak 30 titik lahan food estate, ada sekitar 15 titik lahan seluas 4,159 hektare yang terbengkalai. Alih-alih mengevaluasi, Jokowi malah memperluas area food esetate hingga lebih dari 16 ribu hektare di Kabupaten Kapuas dan Pulau Pisang pada 2022.
Padahal perluasan lahan food esatate telah menyebabkan hilangnya hutan seluas kurang lebih 3 ribu hektare. Abil menyebut dari perluasan lahan food estate ini menyebabkabkan kerusakan fatal infrastruktur sekat kanal di kawasan restorasi gambut. Bahkan, temuan Abil menyebutkan ada seluas 274,64 hektare lahan ekstesifikasi yang menjadi perkebunan sawit.
Abil menegaskan seharusnya infrastruktur ini menjadi sarana utama untuk memulihkan lahan gembut. Akan tetapi, fakta di lapangan malah menyulitkan dan menghambat upaya pelestarian lahan gambut. Sama seperti Kiki, Abil juga menyoroti tentang pentingnya keterbukaan data.
“Salah satu tantangan utama restorasi lahan gambut adalah keterbatasan data," ujarnya. “Untuk mewujudkan pemulihan yang utuh, ketersediaan data dan keterbukaan informasi adalah pondasi utama.”
Di sisi lain, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang diwakilkan oleh Agus Yasin mengatakan dalam 10 tahun terakhir BRGM tengah berupaya semaksimal mungkin untuk melestarikan lahan gambut. Agus terus mendorong masyarakat, LSM, dan media untuk turut berkontribusi dalam melestarikan lahan gambut.
"Tujuannya, agar program restorasi ini bisa terus berlanjut," ujar Kepala Kelompok Kerja Teknik Restorasi itu.
Baca Juga: Cara Perhutana Membangun Hutan di Majalengka ala Kavling Properti
Saung Monteng, Gerakan Mandiri Menghutankan Hutan Kamojang
Mengurai Kebakaran Hutan di Bromo dan Rekomendasi
Pengabaian Lingkungan di Era Jokowi
Pemanfaatan lahan gabut ini sudah dijalankan sejak Orde Lama. Pada tahun1994, menjadi tahun pertama dimulainya proyek pengembangan lahan gambut (PLG). Salah satu tujuan dari PLG ini adalah menambah lahan pertanian di luar pulau Jawa. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan mencapai swasembada pangan.
Namun, di era pemerintahan Jokowi PLG ini mulai dialihkan menjadi proyek lumbung pangan atau food estate. Lumbung pangan ini menjadi hal yang prioritas di era Jokowi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya banyak kegagalan. Lebih dari itu, kegagalan di proyek sebelumnya tidak membuat proyek tersebut berhenti.
Di akhir masa jabatannya, Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2023 tentang percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati. Pepres tersebut tujuannya untuk menjalankan proyek di tanah Papua seluas 2 juta hektar untuk ditanami tebu dan cetak sawah.
Melihat banyakya kegagalan lumbung pangan di era Jokowi, dosen sosiologi Universitas Palangkaraya (UPR) Yuliana menjelaskan, betapa dashyatnya kerusakan yang ditimbulkan akibat proyek ambisius Jokowi, lumbung pangan. Yuli melakukan riset di desa Anjir Sarapat Baru, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah yang terdampak dari proyek food estate.
Hasil temuan Yuli mengungkapkan banyak kekecewaan, lantaran padi tidak menghasilkan bulir beras sama sekali. Setelah dicoba kembali dengan menyadur sawah, hasilnya tetap nihil. Padi tak bisa dipanen secara maksimal.
Dampak dari kegagalan tersebut menyebabkan dampak ekonomi dan sosial yang sangat besar. Yuli melanjutkan, sebanyak 60 persen petani di desa akhirnya hanya menjadi konsumen beras.
"Padahal sebelumnya cukup berladang untuk mendapatkan beras. Mereka kehilangan sumber pangan utama," ungkap Yuliana.
Praktik perampasan lahan
Mengutip dari laman Konsorium Pembaharuan Agraria, konflik agraria di Indonesia menjadi yang tertinggi dari enam negara di Asia. Konflik sepanjang tahun 2023 contohnya, telah menyebabkan 241 letusan konflik. Impaknya, lahan seluas 638.188 hektare tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman paling terdampak atas nama pembangunan dan proyek strategis nasional.
Direktur Eksekutif Yayasan Pustaka Bentala Rakyat Franky Samperante menjelaskan, adanya praktik perampasan lahan masyarakat yang disebabkan oleh proyek food estate. Di mencontohkan pembebasan tanah yang sedang terjadi di Merauke, Papua Selatan. Di sana banyak tanah adat digusur menggunakan ratusan eksavator.
Franky mengatakan, negara sering menggunakan diskursus krisis sebagai alasan pengembangan proyek energi dan pangan untuk menggusur tanah masyarakat. Dampaknya sangat berpengaruh terhadap sosial-ekonomi masyarakat. Lebih dari itu, pembebasan lahan atas nama pengembangan dapat merusak lingkungan.
"Proyek-proyek ini malah merusak ekosistem dan pengetahuan lokal yang seharusnya dilindungi,” ucap Franky Samperante. Di sisi lain, Redaktur Pelaksana Desk Sains dan Lingkungan Tempo, Agoeng Wijaya Soedjito mempunyai keresahan yang sama terkait terdampaknya masyarakat dari proyek ini.
Belum lama ini, Tempo melakukan reportase ke Merauke untuk melihat pembangunan food estate yang akan dijadikan lahan tebu dan cetak sawah. Masing-masing luas lahan dari dua megaproyek adalah satu juta hektare. Selama perjalanan Tempo meliput memperlihatkan dampak bagi masyarakat adat di sana.
Kekhawatiran Cak Goeng, begitu Agoeng dikenal, ialah kekuasaan oligarki yang bakal menyebabkan banyak masyarakat di Papua terusir. Belum lagi, kekhawatirkan Cak Goeng terhadap pemerintahan baru akan memanfaatkan isu-isu iklim/lingkungan untuk kepentingan ekonomi belaka. Nantinya para oligarkilah yang akan memanfaatkan momen tersebut untuk dijadikan proyek-proyek besar lainnya.
Cak Goeng merekomendasikan agar memperkuat aliansi masyarakat sipil, media, hingga akademisi untuk menghadapi tantangan proyek nasional ini. "Kekuatan aliansi ini penting untuk memperpanjang napas perjuangan dalam menghadapi isu-isu lingkungan, keberlanjutan, dan kesejahteraan sosial,” katanya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang Hutan