Mengurai Kebakaran Hutan di Bromo dan Rekomendasi
Kebakaran hebat di Gunung Bromo tak bisa dilepaskan dari konsekuensi membuka penuh gunung untuk faktor ekonomi dengan bertumpu pada wisata berbasis turisme masal.
Wahyu Eka Styawan
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur & Anggota FNKSDA
17 September 2023
BandungBergerak.id – Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Gunung Bromo telah melahap hampir sekitar 504 hektar. Gunung yang populer sebagai destinasi wisata ini menjadi satu dari sekian titik yang mengalami kebakaran hebat sepanjang bulan Agustus sampai September 2023. Kejadian di Bromo semakin menambah catatan betapa masifnya kebakaran hutan dan lahan di Jawa Timur, tentu setelah Arjuno Welirang yang telah ditelan api sehingga menghabiskan hampir 3.000 hektar hutan dan lahan.
Sebelum kebakaran hebat yang diakibatkan oleh flare dari pasangan yang sedang mengambil foto prewedding. Wilayah Bromo yang sakral bagi Suku Tengger telah mengalami banyak kejadian bencana. Seakan-akan sebagai tulah dari tidak dihargainya kawasan suci ini.
Sebelumnya pada Agustus 2022 ada sekelompok klub mobil Pajero yang mengacak-acak kawasan Bromo. Mereka berkonvoi melewati tanah pasir di sekitar area inti Bromo, padahal area tersebut merupakan wilayah yang dilindungi. Selain itu area tersebut juga merupakan kawasan suci bagi orang Tengger.
Kejadian ini pun berulang, kala sepasang kekasih yang akan mengikat janji suci dengan bodohnya menyalakan flare di tengah situasi Bromo yang kering dan anginnya kencang hanya untuk kebutuhan estetika semata. Hasil dari kebodohan tersebut adalah hampir separuh kawasan Bromo terbakar dan mengakibatkan warga sekitar Bromo kesulitan air bersih akibat pipa saluran air yang terganggu karena kebakaran tersebut.
Meski kebakaran hutan dan lahan di sekitar wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru khususnya Bromo merupakan siklus tahunan, tetapi kejadian berulang dan dampaknya semakin luas tentu menimbulkan pertanyaan besar, apa memang semata faktor human error atau kebodohan wisatawan sebagai penyebab bencana ini? Atau ada yang lainnya?
Baca Juga: IPB Bahas Hubungan Kebakaran Hutan dengan Pandemi Covid-19
Kebakaran yang Menerjang TPA Sarimukti Menjadi Potret Buruk Pengelolaan Sampah Bandung Raya
Satu Abad NU, Menagih Keberpihakan Organisasi Pada Rakyat
Multifaktor Penyebab Kebakaran di Bromo
Menjawab persoalan ini memang tidak bisa semata-mata menyalahkan wisatawan. Tetapi memang harus membacanya secara jeli dan menyeluruh.
Kebakaran hutan dan lahan di Bromo sudah sering terjadi, sebelumnya di bulan Agustus 2023 juga ditemukan kejadian kebakaran, meski luasannya tidak seluas bulan September 2023. Ternyata kebakaran di Bromo juga pernah terjadi di tahun 2019 dan 2021 lalu. Serta di tahun-tahun sebelumnya. Artinya peristiwa ini bukan hal yang baru, karena terus berulang dan berulang, semacam repetisi.
Penyebab kebakaran di Bromo pun tidak serta merta karena faktor alamiah. Karena saat ini faktor alami yang berbaur dengan dampak perubahan iklim akan meningkatkan kerawanan bencana. Faktor perubahan iklim inilah yang mendorong munculnya cuaca ekstrem seperti panas yang tidak wajar sehingga membakar sabana, ditambah faktor angin membuat kebakaran cepat membesar dan meluas.
IPCC dalam laporan terbarunya AR6 yang terbit pada Maret 2023 telah menyampaikan bahwa suhu permukaan bumi telah meningkat menjadi 1.1 derajat Celsius. Peningkatan suhu ini telah mengganggu tata iklim, sehingga meningkatkan kerawanan bencana.
BMKG sejak awal tahun 2023 telah mengingatkan bahwa Indonesia akan terkena dampak dari cuaca ekstrem salah satunya peningkatan suhu dan kemarau yang panjang, mereka pun mewanti-wanti pemerintah untuk siap siaga menghadapi kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan. Tetapi peringatan tersebut seolah-olah tidak diindahkan oleh berbagai stakeholder untuk menerapkan sistem mitigasi yang baik. Bahkan tidak belajar dari kejadian sebelumnya, sehingga kebakaran yang terjadi di berbagai wilayah termasuk Bromo bukan mitigasi yang tampak, tetapi hanya sekedar memadamkan api.
Tidak adanya mitigasi yang baik ini diakibatkan oleh minimnya asesmen dan kajian utuh untuk menelisik akar penyebab kebakaran, lalu titik mana saja yang rawan, seperti area yang menjadi langganan kebakaran, sampai pada area mana saja yang tingkat kerawanannya tinggi. Akibatnya tidak ada peta jalan mitigasi yang terukur dan terstruktur. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya sistem peringatan dini kebakaran yang efektif sampai tidak adanya upaya pencegahan.
Bahkan kejadian bodoh yang diakibatkan oleh pasangan prewedding itu pun bisa diminimalisir. Karena kebakaran hebat di Bromo juga tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi menjadikan Gunung Bromo sebagai kawasan wisata yang bertumpu pada turisme masal. Konsekuensi membuka penuh Bromo untuk faktor ekonomi dengan bertumpu pada wisata berbasis banyak wisatawan telah melemahkan faktor keamanan lingkungan.
Karena dengan banyaknya wisatawan, proses kontrol dan pengawasan akan sulit, ditambah masih minimnya eco-literasi dan tanggung jawab pada wisatawan kita. Karena kebanyakan dari mereka adalah penikmat alam, bukan pecinta alam. Kondisi tersebut semakin menegaskan bagaimana faktor ekonomi lebih dikedepankan daripada faktor lingkungan. Sehingga tidak ada keseimbangan di antara keduanya, akibatnya persoalan demi persoalan muncul, dari pengelolaan sampah, alih fungsi kawasan, betonisasi hingga meningkatnya risiko kebakaran.
Lalu Apa yang Seharusnya Dilakukan
Agar peristiwa ini tidak terus berulang dan stakeholder terkait yang memangku kawasan Bromo tidak sekedar memadamkan api. Memang perlu ada upaya signifikan yang harus dilakukan. Pertama, melakukan kajian dan asesmen kerawanan kawasan untuk melihat pola kebakaran, titik rawan kawasan dan faktor sosial ekonomi, karena akan berguna dalam memberikan masukan dalam membuat kebijakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Kedua, membuat peta jalan pencegahan dan penanggulangan bencana kebakaran, seperti membuat konsep dan implementasi sistem peringatan dini yang efektif. Peringatan dini ini bukan sekedar memanfaatkan alat, tetapi meningkatkan partisipasi masyarakat dan seluruh elemen agar dapat bekerja sama dalam mendeteksi titik kebakaran, melakukan pencegahan agar kebakaran tidak meluas dan turut menjadi pengawas untuk memantau aktivitas dari wisatawan atau warga sendiri. Mengingat wilayah Bromo cukup luas, sementara petugas sangat minim, maka perlu melibatkan masyarakat hingga wisatawan untuk menjadi sistem peringatan dini hingga kelompok tanggap bencana.
Tentu cara ini membutuhkan proses panjang, sehingga perlu ada peta jalan, semisal dalam waktu dekat untuk mencegah kebakaran, maka harus menyiapkan informasi seputar kondisi kawasan, lalu membuat skema pencegahan seperti melakukan skrining ketat di setiap pintu masuk serta memberikan peringatan kepada wisatawan. Lalu dalam jangka panjang paling tidak sudah memiliki sistem peringatan dini yang tidak hanya mengandalkan alat, tetapi mengandalkan partisipasi warga dan wisatawan.
Ketiga atau yang terakhir adalah melakukan peningkatan kapasitas pada wisatawan dan warga di sekitar Bromo dengan mengadakan kegiatan seperti pelatihan, membuat produk pengetahuan seperti booklet, poster atau video. Sehingga kemampuan eco-literasi wisatawan meningkat, harapannya mereka lebih sadar lingkungan dan turut menjadi bagian dari penjaga dan pelestari kawasan Bromo. Dan, poin ini tentunya juga memiliki keterkaitan dengan poin pertama dan kedua. Bahwa warga dan wisatawan harus ditingkatkan kapasitas pengetahuannya agar menjadi bagian dari pencegah bencana dan kelompok tanggap bencana.
Catatan ini paling tidak harapannya dapat menjadi pertimbangan ke depan agar stakeholder terkait benar-benar berbenah menjadi lebih baik. Agar ke depannya paling tidak kebakaran hutan dan lahan minimal dapat dikurangi risikonya dan secara maksimal kebakaran hutan di Bromo dapat dicegah atau dikurangi jumlah titik rawan bencana.