Saung Monteng, Gerakan Mandiri Menghutankan Hutan Kamojang

Gerakan menghutankan hutan semakin mendesak ketika alih fungsi lahan berlangsung gila-gilaan. Gerakan ini bergulir di hutan Kamojang.

Kegiatan Monitoring Kawasan Restorasi di Kamojang, Garut, Minggu 21 Juli 2024. Tahun 2020. kawasan ini mengalami kerusakan (lihat foto ini di dokumentasi 2020). (Foto: Nabila Eva Hilfani/BandungBergerak.id)

Penulis Nabila Eva Hilfani 24 Juli 2024


BandungBergerak.id - Menelusuri kawasan cagar alam Kamojang barat sembari menjenguk setiap anak pohon yang telah ditanam, memetakan kawasan, hingga mengkaji perawatan pohon menjadi agenda wajib tahunan Saung Monteng, akronim dari Monitoring Wilayah Restorasi, Minggu, 21 Juli 2024.

Saung Monteng adalah rangkaian program penanaman pohon sebagai bagian dari gerakan pelestarian kawasan yang dijalankan yayasan. Nama yayasan ini sama dengan nama programnya, yaitu Yayasan Saung Monteng yang memiliki fokus terhadap gerakan sadar kawasan cagar alam, khususnya cagar alam daerah Kamojang, Kabupaten Garut.

“Jadi memang monitoring tuh kalau kita sebutkan sifatnya wajib. Wajib dalam artian kenapa, karena kan salah satu gerakan kita terhadap kawasan di sini tuh penanaman pohon. Nah kita tuh, teman-teman Saung Monteng tuh dengan pohon tuh punya yang namanya ikatan emosional. Dalam artian apa? Kita tidak hanya bisa menanam tanpa melakukan peninjauan atau perawatan,” ujar Aditya, project manager Saung Monteng.

Kegiatan Monitoring Wilayah Restorasi yang diselenggarakan Saung Monteng sesungguhnya terbuka untuk siapa pun yang memiliki ketertarikan untuk terlibat dalam kegiatan konservasi, selain yang paling utama yaitu masyarakat sekitar dan pihak-pihak yang telah melakukan penanaman pohon.

Keterbukaan atas keterlibatan kegiatan monitoring berkaitan erat dengan kesadaran yang disampaikan Aditya sebagai anggota Saung Monteng bahwa, “urusan lingkungan itu urusan semua orang”.

Monitoring Kawasan Restorasi di hutan Kamojang tahun 2020. Area ini kini mengalami perubahan signifikan (lihat foto dokumentasi 2024 di tempat yang sama). (Foto: Dokumentasi Monitoring Kawasan Restorasi)
Monitoring Kawasan Restorasi di hutan Kamojang tahun 2020. Area ini kini mengalami perubahan signifikan (lihat foto dokumentasi 2024 di tempat yang sama). (Foto: Dokumentasi Monitoring Kawasan Restorasi)
Program Bulanan, Menengok Pohon

Agenda tahunan ini berbeda halnya dengan agenda perawatan pohon yang lebih intens dilakukan oleh Saung Monteng dalam jangka waktu yang lebih pendek yaitu setiap bulan. Agenda bulanan ini tidak memiliki rangkaian pengkajian pemetaan kawasan seperti dalam agenda Saung Monteng tahunan.

“Meski kegiatan monitoring dalam konteks perawatan, tapi kita panglayadan-nya (perawatan pohon) mah berkala. Biasanya tiap bulan tuh ada. Kalau monitoring tuh, perawatan juga sebenarnya, cuma yang bedanya kalau monitoring ada kajian pemetaan, untuk membandingkan hasil penanaman pohon,” tutur Aditya.

Secara keseluruhan, rangkaian program restorasi kawasan yang dilakukan Saung Monteng bertujuan untuk memulihkan kembali kawasan cagar alam Kamojang; juga sebagai gerakan untuk mengurangi dampak kerusakan hutan.

“Tujuannya satu, untuk kembalinya fungsi hutan Kamojang dengan baik, karena saya latar belakang di Majalaya hidup teh, saya kebanjiran. Nah minimal dengan saya melakukan penanaman-penanaman pohon di Kamojang, ini salah satu catchment area, jadi saya bisa meminimalisir terjadinya banjir di Majalaya,” kata Aditya.

Selain mengembalikan fungsi hutan sebagaimana fungsinya, upaya ini merupakan satu jalan yang lebih berpeluang besar untuk memulihkan kembali kawasan dibandingkan suksesi.

“Kawasan yang sedang kita restorasi itu beresiko tinggi. Kalau misalkan kita mengharapkan suksesi, karena diapit oleh dua kawasan. Kawasan konservasi itu diibaratkannya ada di tengah-tengah, kiri-kanan, diapit oleh hutan lindung yang bahkan lebih parah adanya perhutanan sosial yang tingkat kerusakannya mungkin bisa disebut kacau, ya kacau,” paparnya.

Ia menambahkan, pemulihan hutan akan lama jika hanya mengandalkan suksesi. Pohon yang tumbuh pub bukan endemik. Maka, penanaman pohon melalui program Saung Monteng ini dinilai lebih efektif untuk menjaga dan memulihkan hutan.

Para aktivis Saung Monteng rata-rata membekali diri dengan botol-botol plastik besar kosong yang digantung di tas punggung mereka selama menjelajahi hutan. Mereka akan menyusuri jalan setapak, berhenti kala bertemu sungai untuk memenuhi perbekalan air, menyirami setiap anak pohon hasil tanam di banyak sisi jalur penelusuran, hingga berhenti pada satu titik kawasan restorasi.

Berhenti, tinjau, dan kaji. Peninjauan dan pengkajian pertumbuhan pohon menjadi agenda pertama yang memiliki tujuan untuk melihat tingkat keberhasilan restorasi yang telah dilakukan. Pertumbuhan pohon dan ekosistem yang berjalan menjadi dua indikator yang digunakan.

Pengkajian tutupan lahan menjadi agenda kedua yang seharusnya dilakukan. Penerbangan pesawat tanpa awak untuk meninjau warna dan tekstur kawasan pun dilakukan sebagai metode peninjauan tingkat keberhasilan restorasi kawasan.

“Kita lihat kawasan dari atas untuk kita lihat dari segi warna dan struktur. Kalau misalkan warnanya hijau dan strukturnya galing-galing (keriting) berarti dia notabenenya di pohon. Berarti apa? berarti kawasan tersebut terpulihkan sebagai dampak kegiatan yang dilaksanakan oleh kita (Saung Monteng) dan masyarakat umum terkait penanaman pohon,” tutur Aditya.

Jika tim melihat kawasan berwarna kuning atau oranye, maka kawasan tersebut menandakan disusun oleh vegetasi tumbuhan bawah, rambatan, atau gulma. Kawasan tersebut menjadi pertimbangan untuk d restorasi.

Terakhir, peninjauan kawasan lain juga seharusnya dilakukan dalam agenda monitoring, khususnya kawasan yang masih memiliki tingkat kerusakan yang cukup tinggi, sehingga dapat dijadikan target operasi pemulihan kawasan yang selanjutnya.

Menjaga Hutan Secara Mandiri

Monitoring Wilayah Restorasi menjadi salah satu gerakan Saung Monteng dalam menjaga kawasan cagar alam bersama masyarakat Kamojang secara mandiri.

“Sampai saat ini, kita mah tetep mandiri (menjalankan gerakan menjaga kawasan). Temen-temen selalu ngomong ‘the power of udunan’,” tandas Aditya.

Keterlibatan pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan pihak yang memiliki tanggung jawab lebih dalam upaya penjagaan kawasan cagar alam di lapangan nyatanya minim. Selama 10 tahun perjalanan Saung Monteng dalam upaya pemulihan dan penjagaan kawasan cagar alam Kamojang, hanya tiga kali pemerintah ‘berkunjung’.

“Kunjungan dari pemangku kebijakan yang punya tugas dan fungsi lebih dari kita (masyarakat) terhadap kehutanan ini, dia (pemerintah) ke sini cuma tiga kali. Itu pun, bukan kita yang ngundang, tapi karena ada arahan dari atas dan juga undangan dari pihak kecamatan,” jelas Aditya.

Upaya menghadirkan keterlibatan pemerintah dalam menjaga cagar alam bersama pun telah sering kali dilakukan Saung Monteng.

“Kita sering kali melakukan undangan kepada mereka. Undangan untuk datang pada aktivitas sosialisasi, undangan untuk datang di agenda penanaman, tetapi belum pernah hadir,”  katanya.

Kemitraan bersama pemerintah dalam menjalankan upaya konservasi cagar alam pun sudah pernah diajukan. Terlebih ketika adanya dorongan dari Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDE) pada tahun 2019 untuk menjalin kemitraan dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Pengajuan kemitraan tersebut hingga saat ini yang telah menginjak tahun ke-3, belum pernah dikabulkan karena hambatan urusan birokrasi.

Urang mah, aya atau euweuh aya na kemitraan ini, urang mah jalan (kami, mau ada atau tidak adanya kemitraan bersama pemerintah, kami tetap jalan), karena kita juga tidak ingin menjadi orang yang justru bergerak karena legalitas. Kita mah eweuh legalitas der (ayo), ada legalitas, ya moal ngarobah (gak akm merubah),” lanjut Aditya.

Meski tanpa adanya kemitraan bersama pemerintah, program konservasi yang dilakukan Saung Monteng tetap berlanjut atas dasar status urgensi. Memang aturan terkait cagar alam melarang adanya aktivitas manusia di dalamnya. Namun, upaya pemulihan dan penjagaan yang dilakukan Saung Monteng dan masyarakat Kamojang secara mandiri ini tidak dapat dikatakan melanggar hukum.

Seperti yang dijelaskan oleh Pepep Didin Wahyudin (Pepep DW), dosen sekaligus pegiat alam bebas, bahwa gerakan yang dilakukan Saung Monteng dan masyarakat sekitar justru dilindungi oleh Undang-Undang.No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

“Di Undang-undang No. 5 tahun 1990, jadi masyarakat sekitar itu bahkan wajib menjadi bagian daripada penyelamatan, pengamanan kawasan konservasi, khususnya cagar alam,” jelas Pepep D.W.

Sesi pemenuhan perbekalan air untuk perawatan pohon dalam kegiatan Monitoring Kawasan Restorasi di Kamojang, Garut, Minggu, 21 Juli 2024. (Foto: Nabila Eva Hilfani/BandungBergerak.id)
Sesi pemenuhan perbekalan air untuk perawatan pohon dalam kegiatan Monitoring Kawasan Restorasi di Kamojang, Garut, Minggu, 21 Juli 2024. (Foto: Nabila Eva Hilfani/BandungBergerak.id)

Restorasi Kawasan sebagai Bab Lanjutan dari Gerakan Sadar Kawasan

Program pemulihan dan penjagaan yang dilakukan Yayasan Saung Monteng merupakan langkah keberlanjutan yang digagas oleh Saung Monteng yang terlibat gerakan Sadar Kawasan. Gerakan ini dilakukan gencar oleh banyak komunitas pegiat alam bebas di Jawa Barat sejak 2014.

Aditya menjelaskan, kawasan Kamojang berdekatan dengan Saung Monteng. Yayasan ini melihat langsung terjadinya degradasi atau alih fungsi lahan yang masif, ditambah lagi dengan maraknya penebangan liar (illegal logging).

‘‘Nah, di situ mungkin muncul ide dan gagasan dari teman-teman Saung Monteng. Kita tetap melakukan sosialisasi terhadap Ciharus, tetap, tapi karena ini (Cagar Alam Kamojang) berhadapan langsung dengan kawasan Saung Monteng yang secara kebetulan berada di kampung Patrol Kamojang, ya masa sih yang di atas (sungai Ciharus) kita urus, tapi yang berada di depan mata kita, kita biarkan,” terang Aditya.

Bentuk sosialisasi yang dilakukan Saung Monteng juga terinspirasi dari gerakan Sadar Kawasan. “Bagaimana kita melakukan sosialisasi yang sama, tapi di lokasi yang berbeda,” lanjutnya.

Baca Juga: Cara Perhutana Membangun Hutan di Majalengka ala Kavling Properti
DAS Citarum Kritis, Luas Hutan Penyangga Tinggal 10 Persen
Fakta-fakta Sejarah Babakan Siliwangi, Pemkot Bandung Pernah Tergoda Mengomersialkan Hutan Kota

Berawal dari Save Ciharus

Sadar Kawasan merupakan bentuk perkembangan dari gerakan Save Ciharus yang awalnya hanya fokus pada penjagaan danau alami yang berada di kawasan cagar alam Kamojang, yaitu Danau Ciharus.

“Di kawasan cagar alam itu ada danau, namanya danau Ciharus. Danau Ciharus ini setiap minggu itu didatangi pemotor trail, yang dampaknya parah bangetlah. Danau mengalami pendangkalan, terus hutan juga ikut rusak karenanya,” terang Pepep D. W.

Bukan hanya penjagaan dari intervensi manusia, Sadar Kawasan juga merupakan gerakan yang mempertahankan status kawasan Danau Ciharus  sebagai Cagar Alam dari rencana penurunan status menjadi Taman Wisata Alam (TWA) yang berpotensi menghasilkan dampak kerusakan yang lebih luas.

Pepep D. W. sebagai salah seorang yang menyaksikan perjalanan gerakan Saung Monteng sejak 10 tahun lalu juga mengakui bahwa upaya restorasi yang dilakukan oleh Saung Monteng telah berhasil. Berawal dari kawasan yang gundul tanpa pohon, kini kawasan kembali dirimbuni oleh pepohonan, bahkan dapat menjadi tempat berteduh.

“Di sana sudah menarik banget. Menariknya tuh, dulu di situ (kawasan restorasi) foto tuh gersang banget. Sekarang kita di sana sudah bisa berteduh, udah jadi hutan lagi. Jadi proses 10 tahun yang panjang itu udah menuai hasillah,” terang Pepep.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain Nabila Eva Hilfani, atau artikel-artikel lain tentang Komunitas Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//