• Berita
  • Offroad ATV Berdampak Buruk pada Lahan Konservasi Alam Gunung Papandayan

Offroad ATV Berdampak Buruk pada Lahan Konservasi Alam Gunung Papandayan

Penyewaan wahana ATV di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat viral di media sosial. Wahana motor roda empat ini berpotensi merusak alam.

Suasana diskusi dan konsolidasi menanggapi aktivitas ATV di TWA Gunung Papandayan yang diinisiasi oleh Sadar Kawasan, di kafe Layaran, Bandung, Selasa, 26 Maret 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul28 Maret 2024


BandungBergerak.id - Keindahan kawasan konservasi alam rentan mengundang aktivitas ilegal yang merusak lingkungan. Belakangan viral, terdapat penyewaan motor roda empat all-terrain vehiclecode (ATV) di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Papandayan, Garut. Para pegiat alam menilai aktivitas offroad ATV berdampak buruk terhadap alam dan perlu ditolak.

Koordinator Sadar Kawasan Kidung Saujana menyampaikan penolakannya mengenai aktivitas ATV yang menggunakan jalur di Taman Wisata Alam. TWA merupakan kawasan konservasi yang perlu dilindungi sesuai amanat Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

TWA Papandayan dikelola oleh PT. AIL. Kidung mempertanyakan legalitas yang dikantongi pengelola untuk melakukan kegiatan offroad ATV. Kalaupun ada perizinan, ia mempertanyakan siapa yang mengeluarkan izin dan bagaimana kajian terhadap lingkungan hidupnya. Sebab, kegiatan ATV tidak sejalan dengan aturan dan berpotensi mengubah keutuhan kawasan.

Sadar Kawasan sejak 2019 menolak SK 25 tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan. SK ini memang berakhir dibekukan. Namun kegiatan macam ATV dikhawatirkan menjadi pintu masuk untuk SK pengganti.

“Yang kita takutkan aktivitas-aktivitas seperti ini akan berdampak terhadap keputusan SK pengganti dari SK 25. Di mana luasan kawasan Cagar Alam Papandayan bisa berkurang. Ini yang perlu kita tegaskan dan kita tolak,” ungkap Kidung, dalam kegiatan diskusi dan konsolidasi menyikapi aktivitas ATV di Gunung Papandayan, di kafe Layaran, Selasa, 26 Maret 2024.

Kidung menyebutkan, pelanggaran aturan macam ini akan melemahkan integritas kawasan konservasi dan menimbulkan ancaman terhadap keberlangsungan ekosistem makhluk hidup. Namun secara lebih luas, akan berdampak sebagai preseden buruk bagi kawasan konservasi lainnya.

Ia menilai, Balai Besar Konservasi Daya Alam (BBKSDA) yang bertanggung jawab mengurusi perihal ini abai. BBKSDA Jawa Barat bahkan dinilai sering kali abai dalam penegakan aturan. Makanya, pihaknya pun akan melakukan somasi terhadap BBKSDA Jawa Barat dan PT. AIL sebagai pengelola.

Pihaknya memberi waktu dua minggu untuk mendapatkan klarifikasi. Jika dalam kurun waktu tersebut pihak terkait tak memberi respons, maka organisasi lingkungan dan perseorangan pegiat lingkungan akan melakukan langkah aksi dan mengambil upaya litigasi hukum.

“Dua langkah serius yang akan dilakukan bertujuan menjaga kelestarian cagar alam,” kata Kidung.

Sadar Kawasan menyatakan sikap bahwa BBKSDA Jawa Barat dan PT AIL untuk menghentikan kegiatan wahana offroad ATV di dalam kawasan TWA Gunung Papandayan di Kabupaten Garut. BBKSDA Jawa Barat dan PT AIL harus memberikan informasi keterbukaan publik terkait izin kegiatan penyewaan/transportasi offroad ATV di dalam kawasan TWA Gunung Papandayan.

BBKSDA Jawa Barat dituntut untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terkait kegiatan dan dampak pariwisata alam, termasuk wahana offroad ATV di dalam kawasan TWA Gunung Papandayan. Pihak PT AIL dituntut untuk melakukan kewajibannya dalam merehabilitasi dampak kerusakan yang terjadi akibat kegiatan wahana offroad ATV di TWA Gunung Papandayan.

Gumpalan uap menyembul dari kawah Gunung Papandayan yang terbentuk akibat letusan yang terjadi pada tahun 1772 silam, Sabtu (4/9/2021). Setelah lama ditutup untuk kegiatan wisata selama pandemi Covid-19, kawasan ini kembali dibuka. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Gumpalan uap menyembul dari kawah Gunung Papandayan yang terbentuk akibat letusan yang terjadi pada tahun 1772 silam, Sabtu (4/9/2021). Setelah lama ditutup untuk kegiatan wisata selama pandemi Covid-19, kawasan ini kembali dibuka. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Hal Baru yang Merusak

Perwakilan Gunung Institute Taufik Nurdin berpendapat, wahana ATV di Gunung Papandayan sebagai pintu. Jika wahana tersebut ‘berhasil’ tanpa penolakan masyarakat, bisa jadi akan terjadi kegiatan lainnya yang menyebabkan eksploitasi lebih jauh, yaitu menjadi pergeseran pencaplokan cagar alam. Ia juga tegas mempertanyakan, apakah kegiatan tersebut sudah mengantongi izin.

“Pintu masuk saja. Sudah sepatutnya kita mempertanyakan kok tiba-tiba ada wahana ATV,” katanya, dalam diskusi.

Pegiat lingkungan Abdul Malik juga berpendapat, sudah banyak terjadi perubahan di Gunung Papandayan. Meski belum mengetahui pasti apakah jalur yang digunakan ATV bersinggungan dengan kawasan konservasi atau tidak, semestinya jenis wisata macam ini tidak lolos meski di kawasan TWA.

“Kenapa ini sampai ramai, ya karena ini hal baru. Kalau sudah lama, pasti itu sudah jadi pembahasan khusus dalam Forum Evaluasi Kesesuaian Fungsi (EKF) sama BBKSDA. Karena hal baru makanya jadi permasalahan,” kata Abdul.

Malik menyebutkan, terdapat aturan yang ketat mengenai jenis usaha yang dapat dilakukan di kawasan alam, yang diatur pada PP No. 36 tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Aturan tersebut mengatur, penyelenggaraan usaha kegiatan wisata alam harus mengindahkan asas-asas dan prinsip konservasi.

“Naha ieu aya ATV? Jangankan ATV, wisata kayak mendaki juga dibatasi. Ini yang jelas-jelas meninggalkan jejak di tanah. Jelas ini bertentangan dengan asas konservasi. Benar-benar patut dipertanyakan,” ungkapnya.

Abdul menerangkan kalau kegiatan ATV jelas berdampak terhadap keutuhan kawasan, salah satu yang paling kentara adalah merusak permukaan tanah. Aktivitas ojek di gunung saja, lanjut Abdul, begitu terlihat dampaknya. Pegiat alam ini tegas mengingatkan ada hak dan kewajiban pemegang izin untuk mencegah kerusakan dan merehabilitasi kerusakan.

“Dalam hal ini PT. AIL juga bertanggung jawab mengawasi dan melakukan rehab dari kerusakan wisata alam,” ungkap Abdul.

Abdul menyebutkan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan kegiatan wisata selama sesuai dengan aturan. Adapun soal ATV, jika hanya didiamkan, dikhawatirkan akan menjadi contoh untuk diterapkan di kawasan lainnya. Pola macam ini dinilai bisa menjadi alasan bagi BBKSDA untuk menurunkan status suatu kawasan.

“Kalau ngomong kawasan lain, TWA aja boleh ATV, nanti gimana hutan lindung, gimana hutan produksi yang di Bandung utara sudah masif. Takutnya terjadi di TWA lain. Kalau kawasannya sudah rusak, nanti mau mendaki ge atau berkegiatan alam bade kamana, ningali kawasan teh rusak,” katanya.

Mengenai ini, sebenarnya juga merupakan poin dalam menjaga semangat berwisata yang sesuai dengan aturan dan tetap dapat melakukan pelestarian. Namun secara jangka panjang, semangat untuk menjaga air dan kehidupan masa mendatang. Sebab kerusakan alam, bisa mendatangkan bencana dan bahaya lainnya di masa yang akan datang.

Baca Juga: Bukan Bunga Rawa saja yang Hancur di Ranca Upas, Kesadaran Lingkungan Turut Tercerabut
Belajar dari Perusakan Ranca Upas, Hutan Lindung Harga Mati!
VIDEO: Merusak Ranca Upas, Merusak Kawasan Bandung Selatan

Tanggung Jawab Mutlak Negara

Daffa dari LBH Bandung menyebutkan, mengenai TWA diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990. Pada prinsipnya, perlindungan terhadap lingkungan hidup dibebankan kepada negara. Sehingga, negara memiliki tanggung jawab mutlak. Namun begitu, yang memiliki izin pemanfaatan lingkungan hidup juga memiliki tanggung jawab.

“Yang perlu dipertanyakan, ketika usaha ini berlangsung dan cukup merusak lingkungan sekitar, pemerintahnya ke mana? Gak melakukan pengawasan atau apa?” tanya Daffa.

Sehingga, tak salah mempertanyakan mengenai izin aktivitas ATV di Gunung Papandayan sebab perlu bermula dari sana. Jika tidak mengantongi izin, maka jelas illegal. Jika pun sudah mengantongi izin, tentunya memiliki batas-batas yang jelas. Seperti, ketika terjadi dampak, pihak pemberi izin, yaitu pemerintah harus melakukan evaluasi secara berkala.

“Setiap badan usaha jika ada dampak buruk, dia yang harus bertanggung jawab. Adapun negara harus berperan aktif melakukan pengawasan,” pungkasnya dalam diskusi tersebut.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Awla Rajul, atau artikel-artikel lain tentang Lingkungan Hidup

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//