Bukan Bunga Rawa saja yang Hancur di Ranca Upas, Kesadaran Lingkungan Turut Tercerabut
Selain hancurnya bunga-bunga rawa Ranca Upas, kerusakan juga terjadi di hutan bagian dalam yang disebut leuweung tengah. Kesadaran lingkungan perlu ditanam.
Penulis Dini Putri12 Maret 2023
BandungBergerak.id - Kerusakan wilayah Ranca Upas, Ciwidey, Kabupaten Bandung, menjadi luka di hati mayarakat khusunya warga pecinta alam. Vegetasi yang tadinya hijau dan asri berubah menjadi kubangan lumpur pascaacara motor trail, Minggu (5/3/2023). Kawasan hutan lindung Ranca Upas juga ikut terjamah.
Dalam sebuah video viral yang diunggah oleh akun Tiktok @mang_uprit_mangprang79 pada Selasa (7/8/2023) memperlihatkan kemurkaan seorang pria bernama Supriatna atau kerap disapa Mang Uprit. Aktivis sekaligus petani di Ranca Upas ini menunjukan kerusakan sebagian lahan Ranca Upas yang ditumbuhi oleh bunga rawa (Syngonatus flavidulus) atau Yellow hatpins.
Mang Uprit menuturkan tanaman tersebut merupakan bunga langka yang di Indonesia hanya tumbuh pada dua tempat saja.
“Sudah saya tanam lagi, saya kembangbiakan di sini bunga rawa. Ya, sedangkan bunga ini itu di dunia itu hanya ada di dua tempat, paham ga kalian? Termasuk di Indonesia pun hanya dua tempat, Ranca Upas sama Danau Ciharus Kamojang Garut,” ungkap Mang Uprit, dalam video tersebut.
Kerusakan Ranca Upas terus menggelinding menjadi topik perbincangan khususnya di komunitas pecinta lingkungan. Jumat (10/3/2023) lalu, misalnya, Keluarga Mahasiswa Baleendah menggelar diskusi “Mengupas Kerusakan Ranca Upas” di Kedai Kabuka Baleendah.
Dalam diskusi tersebut, pengamat lingkungan dari Gunung Institute Pepep DW menyoroti permasalahan Ranca Upas bukan hanya persoalan rusaknya bunga rawa saja, akan tetapi lebih dari itu: kerusakan hutan.
“Ayeuna, kasus Ranca Upas itu dilokalisasi seolah-olah hanya masalah bunga rawa yang rusak, kebon yang rusak, padahal bukan hanya itu. Itu bener, Mang Uprit benar, tetapi bukan hanya sekadar itu, ada masalah yang lebih besar, misalnya hiji, bunga rawa itu sendiri. Kadua, rawa gunung yang hanya ada di Ciharus jeung di Ranca Upas. Kemudian hutan,” papar Pepep dalam diskusi tersebut.
Menurutnya, berdasarkan konsepsi kawasan, Ranca Upas berstatus sebagai hutan lindung dan di dalamnya memiliki beberapa zonasi dengan fungsi yang berbeda. Di antaranya ada zona inti yang mutlak dilindungi dan tidak boleh dilakukan perubahan sedikit pun.
Kemudian, zona tutupan yang masih diperbolehkan adanya kegiatan di dalamnya namun tetap dengan tujuan konservasi dan sifatnya terbatas. Berikutnya, zona pemanfaatan merupakan wilayah yang potensi alamnya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat terutama pariwisata namun tetap diberlakukan aturan-aturan yang berlaku untuk menjaga kelestarian wilayah.
“Berdasarkan konsepsi kawasan, Ranca Upas itu statusnya hutan lindung, di hutan lindung di jerona aya zonasi deui, zona inti, zona tutupan, baru zona pemanfaatan. Ranca Upas zona pemanfaatan teh nepi ka tugu TNI, ka ditu na itu ka rawa jeung leuweung tengah geus zona inti, geus teu meunang hal-hal semacam itu anu bersifat bisa mengubah keutuhan kawasan,” kata Pepep DW.
Peserta acara motor trail bukan hanya merusak lahan yang ditumbuhi bunga rawa, mereka juga memasuki kawasan leuweung tengah yang menjadi habitat inti bagi satwa-satwa endemik dilindungi seperti surili, macan tutul (Phantera pardus), lutung jawa, dan masih banyak lainnya. Kegiatan motor trail jelas mengganggu kelangsungan hidup satwa-satwa tersebut.
Pepep DW juga menjelaskan wilayah leuweung tengah Ranca Upas memiliki tingkat pelapukan yang sangat tinggi, terlebih dengan dilewati oleh ribuan motor trail. Mata struktur tanah leuweung tengah akan berubah, bahkan dalam beberapa video yang sempat beredar di media sosial memperlihatkan motor-motor trail yang terperosok ke dalam tanah dan tak bisa melaju.
“Rata-rata motor tibatan maju akseleratif, itu justru kadon tenggelam, naha? Nah karena ieu leuweung tengah pelapukan na teh geus tinggi pisan,” katanya.
Kejadian motor trail menjadi pembelajaran penting bagi semua kalangan. Pepep mengatakan, ada kesadaran baru bahwa hutan atau gunung rupanya nama atau identitas, punya status mana yang bisa dimanfaatkan dan mana yang tidak sama sekali.
Kabar terbaru dari Perhutani sebagai pengelola Ranca Upas yang perannya juga disorot karena mengizinkan acara motor trail kemarin, bahwa kini Wana Wisata Ranca Upas ditutup untuk sementara. Penutupan dilakukan demi kelancaran proses perbaikan dan pemulihan lokasi savana. Penutupan dimulai tanggal 8 Maret 2023 sampai waktu yang belum ditentukan, demikian menurut akun instagram resmi Ranca Upas yang dikutip Minggu (12/3/2023).
Baca Juga: Pengabaian Undang-undang Perlindungan Hutan dalam Kasus Pengrusakan Ranca Upas
Buntut Kerusakan Ranca Upas oleh Acara Motor Trail, Perhutani Harus Melarang seluruh Aktivitas Offroad di Hutan Lindung Jawa Barat
Komunitas Motor Trail Perlu Pemahaman Isu Lingkungan
Masih pada diskusi yang sama, komunitas Trabas yang merupakan komunitas motor trail di Bandung terkena dampak dari mencuatnya isu pengrusakan Ranca Upas ini. Padahal komunitas ini sama sekali tak terlibat pada acara di Ranca Upas.
Oo Komara, perwakilan komunitas Trabas, mengatakan komunitasnya menjadi sasaran bulan-bulanan masyarakat terutama warganet yang menganggap bahwa komunitas Trabas yang menjadi pelaku dalam kegiatan motor trail tersebut.
Oo menyayangkan acara motor trail di Ranca Upas. Menurutnya, perlu adanya pemberian pemahaman lebih kepada para penggiat motor trail agar turut berpartisipasi menjaga etika, kedisiplinan, dan menjaga kelestarian lingkungan.
“Atas kejadian yang di Ranca Upas kita tidak menutup diri, jadi bahan istilahnya evaluasi dan intropeksi diri buat kita. Berarti selama ini kita mengajak atau menyuarakan kebaikan atau etika berlingkungan dengan berkendara motor trail itu kita masih kurang,” katanya.
Kampanye #SadarKawasan Perlu Digaungkan
Isu Ranca Upas setidaknya membangunkan kepedulian serta pemahaman masyarakat mengenai pentingnya melestarikan ekosistem alam yang ada. Penanaman sikap etis terhadap lingkungan menjadi landasan dalam usaha menancapkan supremasi kelestarian alam.
Pepep DW dalam bukunya, “Sadar Kawasan”, menuliskan bahwa dimensi etis yang seharusnya dilakukan untuk melestarikan alam berawal dari memahami konsep “hak alam” yang menentukan “hak manusia terhadap alam”. Dengan hal tersebut maka dikedepankanlah konsepsi “berhak” dan “tidak berhak” dalam memanfaatkan alam termasuk hak akses.
Menurut Pepep DW, konsep ekologi dalam kebudayaan Sunda dikenal dengan kawasan atau wilayah titipan (hak alam), tutupan (hak perlindungan), dan buukaan (hak pemanfaatan langsung manusia). Melalui pengenalan dan pemahaman mengenai “hak” dan pendekatan kawasan maka kerusakan alam sendiri pada hakikatnya memiliki definisi, batasan, dan juga toleransi terhadap penentuan seberapa besar kerusakan itu diperbolehkan atau dapat terjadi.
Penyalahgunaan kawasan atau wilayah akan berdampak pada kelangsungan hidup manusia dan alam itu sendiri. Untuk itu kampanye #SadarKawasan perlu terus digaungkan.