Pemerintah KBB dan Jawa Barat Mendukung Pertambangan Cagar Alam Hawu dan Pabeasan yang Terlarang Ditambang
Ada dua perusahaan tambang yang beroperasi di Kawasan Cagar Alam Geologi Gunung Hawu dan Pabeasan. Kawasan lindung ini seharusnya terlarang ditambang.
Ode Baru
Pemerhati sosial dan lingkungan.
13 Februari 2022
BandungBergerak.id - Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat (KBB) No. 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung Barat Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2012 No. 2 Sei E, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat No. 1) bahwa lokasi dengan peruntukan ruangnya Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG) berada di Gunung Masigit (Gua Pawon) Desa Cipatat, Kecamatan Cipatat, dan Gunung Hawu dan Pabeasan, Desa Padalarang, Kecamatan Padalarang (peta terlampir).
Namun faktanya di lapangan menurut pengamatan penulis masih ada perusahaan tambang yang beroperasi di KCAG Gunung Hawu dan Pabeasaan, tepatnya di sebelah barat Gunung Pabeasan.
Berdasarkan pengamatan penulis, ada dua perusahaan tambang yang beroperasi di Kawasan Cagar Alam Geologi. KCAG adalah kawasan lindung geologi yang seharusnya terlarang ditambang berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2013 tentang Kawasan Lindung. Kedua perusahaan itu konon menurut kabar yang beredar telah memiliki IUP (Izin Usaha Pertambangan). Namun informasi seputar itu masih gelap sebab pemerintah selaku pihak yang berwenang tidak mempublikasikannya di sarana-sarana termutakhir yang ada, misalnya website. Informasi yang dimaksud penulis di antaranya: Peta WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan), masa berlaku IUP Operasi Produksi dan lain sebagainya.
Informasi mengenai hal itu memang sengaja ditutup rapat-rapat, karena diasumsikan bukan urusan rakyat banyak. Maka wajar jika rakyat dilucuti hak informasinya, setidak-tidaknya kesimpulan itu penulis dapat setelah meninjau dengan seksama Peraturan Mentri ESDM No 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Di dalamnya, rakyat/publik tidak pernah jadi diksi penting pada saat menteri atau gubernur mengeluarkan izin tambang. Berdasarkan aturan menteri di atas, pertambangan adalah urusan pengusaha, bupati, gubernur, dan menteri. Adapun bupati berperan sebagai pemberi rekomendasi terhadap izin yang diajukan pengusaha untuk kemudian diteruskan pada gubernur dan atau menteri. Karena tidak penting, akhirnya rakyat/publik ditempatkan di luar aturan, perannya adalah menanggung segala risiko tambang.
Seandainya, masyarakat terdampak langsung punya akses informasi terhadap peta WIUP perusahaan tambang yang kini beroperasi di KCAG Hawu dan Pabeasan, mungkin masyarakat kampung Cidadap RW 12 desa Padalarang yang berprofesi sebagai petani bisa mengantisipasi dampak buruk dari kegiatan pertambangan. Misalnya, longsor dan kerap jatuhnya pecahan batu besar dari lokasi tambang ke area pertanian. Lokasi pertambangan berada di atas bukit (gunung Pabeasan) sedangkan pertanian warga berada di bawahnya. Dampak buruk tersebut berdasarkan pengamatan penulis kerap terjadi di sekitar area pertambangan.
Baca Juga: Pembangunan di Jawa Barat tidak Ramah Lingkungan
Pemerintah Mengabaikan Masyarakat Terdampak Pertambangan
Sampah Mikroplastik tak Kasat Mata Banyak Ditemukan di Pantai Pangandaran
Kelalaian atau Kesengajaan Pemerintah?
Namun, jauh sebelum mata diarahkan ke urusan hak informasi dan dampak buruk pertambangan, hemat penulis, mata pemerintah baiknya diarahkan terlebih dahulu untuk melihat peta pola ruang yang pemerintah buat sendiri. Terutama dalam hal ini soal penetapan Gunung Hawu dan Pabeasan sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi. Penulis yakin sebelum Gunung Hawu dan Pabeasan ditetapkan sebagai KCAG, ada prosedur ketat yang ditapaki pemerintah dari mulai pengumpulan data, pengolahan data, pemetaan, FGD, penyelidikan dan tetek bengek istilah teknis yang kerap dipakai dalam dokumen keuangan pemerintah, yang itu tentu saja menghabiskan uang yang tidak sedikit. Uang itu kita tahu asalnya dari rakyat juga. Singkatnya, ada waktu dan tenaga yang tercurah untuk menetapkan Gunung Hawu dan Pabeasan sebagai kawasan lindung geologi dan itu ongkosnya tidak murah.
Sayangnya ongkos yang tidak murah itu tidak digunakan sebagaimana mestinya. Berdasarkan Peraturan Mentri ESDM No. 7 Tahun 2020, bupati berperan memberi rekomendasi izin tambang pada gubernur. Dalam hal ini Pemerintah KBB tidak menjadikan perda RTRW buatannya sendiri sebagai dasar pertimbangan memberi rekomendasi izin tambang. Indikasinya jelas, meskipun Hawu-Pabeasan telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, operasi tambang nampaknya telah dan sedang berjalan saat ini. Begitu pun dengan pemerintah provinsi, gubernur sebagai salah satu pemegang kewenangan dengan mudahnya meloloskan izin tambang di Hawu-Pabeasan tanpa meninjau status kawasan.
Apakah itu kelalaian atau kesengajaan pemerintah? Setelah penulis meneliti dengan hati-hati, kesimpulannya ada unsur kesengajaan di situ. Bagaimana tidak, baik Pemerintah KBB maupun Pemerintah Jabar kompak tidak mencantumkan Gunung Hawu dan Pabeasan sebagai KCAG di dalam Perda RTRW KBB (Pasal 31) dan Perda Jabar No. 1 Tahun 2013 (Pasal 7 huruf G) padahal seharusnya dicantumkan, karena dalam peta pola ruangnya Hawu-Pabeasan adalah KCAG. Penulis menduga ini akal-akalan pemerintah KBB dan Jabar mengelabui publik untuk melanggengkan pertambangan di Kawasan Cagar Alam Geologi Hawu dan Pabeasan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa mesti pertambangan yang dilanggengkan? Padahal di KCAG Hawu-Pabeasan dan sekitarnya pertanian serta pariwisata sedang berkembang pesat, setidaknya bila melihat arah ekonomi yang dicanangkan dalam visi-misi pemerintah Desa Padalarang periode saat ini (2019-2025) dan hadirnya kelompok masyarakat seperti Pokdarwis Hawu dan Pabeasan, Kampung Berseri Astra, serta Kelompok Tani Giri Rahayu. Di samping itu, terutama sektor pariwisata sudah terbukti andal. Jika melihat data yang dirilis oleh pemerintah KBB, sektor pariwisata menyumbang PAD lebih besar daripada sektor tambang. Pada tahun 2020 Disparbud KBB mengungkapkan bahwasannya sektor pariwisata menyumbang PAD Rp 28 miliar per tahun (turun 50 persen dibanding tahun sebelumnya; tahun 2019 PAD dari sektor pariwisata sebesar Rp 48 miliar), lebih besar daripada sektor tambang yang hanya menyumbang Rp 5 miliar per tahun (data tahun 2018).
Atas dasar kondisi objektif itu menurut penulis, sektor ekonomi yang harus didorong penuh oleh pemerintah KBB dan Jabar di KCAG Hawu-Pabeasan dan sekitarnya adalah sektor ekonomi pertanian dan pariwisata, karena sejauh ini dua sektor itulah yang dipandang realistis jadi solusi pengalihan mata pencaharian untuk pemulihan kawasan karst Hawu dan Pabeasan yang rusak berat karena tambang, telah banyak kajian ilmiah mengenai hal itu baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat sipil. Agenda pemulihan karst Hawu-Pabeasan bisa berjalan bila ada keberpihakan dan kemauan politik yang kuat terutama dari Pemerintah KBB dan Jabar. Bila dua hal ini tidak ada, untuk apa Gunung Hawu dan Pabeasan ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi?