DAS Citarum Kritis, Luas Hutan Penyangga Tinggal 10 Persen
Pakar konservasi sumber daya air, Dede Rohmat, mengatakan saat ini terjadi ketidakseimbangan ekologis di DAS Citarum.
Penulis Iman Herdiana27 April 2021
BandungBergerak.id - Sungai Citarum menyimpan potensi bencana yang perlu diwaspadai warga Jawa Barat, maupun Bandung khususnya. Terbaru, banjir melanda Kabupaten Bekasi pada Februari 2021 akibat jebolnya tanggul di Kecamatan Pebayuran.
Luapan Sungai Citarum sangat besar sehingga menjebol tanggul yang ada. Menurut catatan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil, kapasitas Sungai Citarum di Bekasi sebesar 800 meter kubik, namun pada peristiwa itu total air mencapai 1.300 meter kubik.
Berdasarkan data Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi saat itu, tinggi muka air di Kecamatan Pebayuran sekitar 80-250 cm. Salah satu langkah pencegahan agar Sungai Citarum tak kembali meluap, dilakukan penyodetan Sungai Cisangkuy, anak Sungai Citarum.
Tadinya, air dari Cisangkuy melewati permukiman warga sebelum mengalir ke Citarum. Maka dengan penyodetan, air dari Sungai Cisangkuy langsung diarahkan ke Citarum. Selain Sodetan Cisangkuy, sejumlah bendungan untuk mengendalikan banjir di beberapa daerah, seperti Bendungan Sadawarna yang sedang berjalan, juga banjir di Kali Bekasi.
"Kali Bekasi ada tiga proyek baru dimulai awal tahun. Upaya penanganan sedang dikerjakan. Ada yang baru dimulai, ada yang sudah 50 persen, ada yang sudah 100 persen," kata Ridwan Kamil, dalam siaran persnya.
Ketidakseimbangan DAS Citarum
Sudah lama kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum divonis mengkhawatirkan. Bencana banjir seperti yang terjadi di Bekasi, hanya satu saja dari rangkaian bencana akibat kerusakan DAS.
Pakar konservasi sumber daya air (hidrology), Dede Rohmat, mengatakan saat ini terjadi ketidakseimbangan ekologis di DAS Citarum. Masalah ini semakin sulit ditangani karena kendala koordinasi penanganan DAS.
Sungai terpanjang di Jawa Barat ini melintasi 13 satuan daerah administratif, sejak dari Bandung Raya yang merupakan wilayah hulu Citarum sampai Bekasi. “Jika koordinasi tidak jalan itu potensi bencana sangat besar,” kata Dede Rohmat, pakar Konservasi Sumber Daya Air (Hidrology), dalam Clubinar “Urgensi Pemetaan Bentuk & Potensi Bencana secara Komprehensif”, di kanal Youtube Bandung Mitigasi Hub, 16 Desember 2020.
Sekarang, hutan primer yang menyangga DAS Citarum hanya 10,99 persen. Teorinya, hutan primer untuk menyangga suatu DAS minimal 30 persen. “Kalau saya lebih setuju kalau hutan primernya lebih dari 30 persen untuk menopang untuk kehidupan di sekitar DAS,” kata Dede.
Kepadatan penduduk sangat memengaruhi keseimbangan DAS Citarum. Tercatat, Kota Bandung menjadi daerah yang masuk wilayah DAS Citarum yang memiliki kepadatan paling tinggi. Penduduk Kota Bandung saja sebesar 2,5 juta, belum lagi penduduk Bandung Raya lainnya yang dilintasi Sungai Citarum, seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi. Daerah padat lainnya seletah Bandung adalah Kota dan Kabupaten Bekasi.
Panjang Sungai Citarum sekitar 300 kilometer, 3 kali pulang pergi Bandung-Jakarta. Total sungai dan anak sungai Citarum seluas 6.800 kilometer, dengan luas DAS 6.600 kilometer. Sungai Citarum saat ini telah memanjang 1,5 kali dari panjang sebenarnya.
Dede menjelaskan, perpanjangan Sungai Citarum sebenarnya terjadi alami, untuk menyesuaikan dengan beban air yang dialirkan sungai. Salah satu penyesuaian alami ialah dengan bertambahnya kelokan sungai.
“Semakin banyak kelokan artinya beban sungainya terlalu tinggi. Kelokan sungai untuk memperbesar kapasitas tampungnya,” terang Dede.
Kelokan sungai berfungsi untuk menjaga air agar tidak meluber ke luar sungai. Masalahnya, saat ini hampir di setiap kelokan sungai Citarum, terutama di kawasan padat penduduk, terjadi aktivitas manusia, baik permukiman maupun aktivitas industri.
Padahal seharusnya wilayah kelokan sungai tidak diganggu dan dibiarkan secara alami. Potensi bencana di setiap kelokan sungai adalah banjir. Titik-titik banjir di Jawa Barat, misalnya di Bandung Selatan yang dialiri Sungai Citarum, rata-rata berada di wilayah kelokan sungai.
Tapi kenyataannya, manusia banyak memanfaatkan lahan di kelokan tersebut. Tak heran jika terjadi banjir, wilayah kelokan sungai inilah yang paling terdampak.
Indikasi Sungai Citarum mengalami kelebihan kapasitas dapat dilihat dari jumlah anak sungainya. Anak-anak Sungai Citarum, misalnya, banyak ditemukan di Kota Bandung.
“Semakin banyak sungai dalam per satuan km/luas menandakan tanahnya seacra geologi tak mampu meresap air. Air lari ke permukaan, terjadi torehan baru sehinga terjadi sungai. Kalau sungai banyak menghasilkan runoff dan sebagainya, itu menghasilkan bahaya luar biasa, longsor, banjir, dan sebagainya,” katanya.
Definisi DAS Tidak Tepat
Dede mengatakan Undang-undang mendefinisikan DAS sebagai satu wilayah daratan yang menjadi kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya. DAS berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan ke danau, sungai, yang kemudian dialirkan ke laut.
Namun definisi tersebut dinilai kurang pas karena memandang DAS dari segi fisik saja, yakni sebagai penampungan air. Padahal DAS sangat bersifat dinamis dan aktif. Di dalam DAS terdapat manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga pendekatan terhadap DAS perlu diakukan secara ekologis.
Kompnen utama DAS terdiri dari manusia, lahan, dan air. Posisi manusia bisa sebagai penyelaras atau pembuat kerugian DAS. Manusia bisa melakukan rekayasa iklim, mengenal pola hujan, tetapi di sisi lain bisa merugikan DAS. Komponen lainnya ialah iklim, lahan atau tanah, dan air.
“Air merupakan hasil akhir yang bisa kita pantau dari kualitas DAS. Semua proses aktivitas DAS dari kmponen iklim, manusia, lahan bisa dipantau dari hasil akhirnya, yaitu air. DAS yang baik jika debit airnya seimbang, kualitasnya, kontinuitasnya, akuifer air tanahnya,” paparnya.
DAS yang baik menyediakan cukup mata air. Dede menurutkan, kondisi DAS yang buruk pernah terjadi di Sungai Cipunegara. Di wilayah DAS tersebut ada danau yang kering kerontang karena proses pengambilan air tanah. “Jadi setiap komponen DAS ada bahayanya. Sehingga memerlukan pendekatan ekologis untuk mengatasi DAS,” katanya.