• Berita
  • Menguji Klaim Ramah Lingkungan dari Produsen Produk Minyak Goreng

Menguji Klaim Ramah Lingkungan dari Produsen Produk Minyak Goreng

Sejauh ini baru satu perusahaan minyak kelapa sawit yang memiliki sertifikat ramah lingkungan. Masyarakat belum punya banyak pilihan.

Diskusi tentang Kenalan Yuk dengan Produk Ramah Lingkungan yang diselenggarakan WWF Indonesia dan Earth Hour (EH) Bandung, di One Eighty Coffee & Music, Sabtu, 20 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul25 Januari 2024


BandungBergerak.id - World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia tengah mengkampanyekan produk kelapa sawit yang diklaim berkelanjutan dan “ramah lingkungan” kepada masyarakat. Peningkatan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan disebut penting sebagai upaya mendongkrak pasar dalam negeri dan mendorong masyarakat untuk menggunakan produk yang berkelanjutan.

Angga Prathama, koordinator minyak kelapa sawit berkelanjutan dari WWF Indonesia menyampaikan, tidak semua produk kelapa sawit buruk. Sebab produk turunannya sudah ada dalam segala lini kehidupan. Dalam hal penggunaan minyak goreng, Angga menyebut agar masyarakat pandai memilih menggunakan minyak goreng biasa ke produk minyak goreng yang sudah tersertifikasi ekolabel.

Angga menyebut, sertifikasi ekolabel ini tidak hanya melihat dampak lingkungan, tapi juga sosial, dan profit ekonomi. Produk minyak goreng yang sudah tersertifikasi ekolabel diklaim dari hulu hingga ke hilir tidak merusak dan membakar hutan, tidak membunuh hewan endemik dan spesies terancam punah, dan tidak ada konflik sosial dengan masyarakat adat. Lantas sisi ekonominya terdapat anggaran untuk keberlanjutan dalam bisnis modelnya, seperti penjagaan hutan dan lingkungan.

“Dari sisi ekonominya biasa memastikan bahwa di dalam rencana anggaran bisnis mereka ada anggaran untuk sustainability. Apa aja? Menjaga hutan, meningkatkan kesejahteraan karyawan, dan ada anggaran lainnya. Jadi makanya people, sosial, dan lingkungan,” kata Angga di diskusi tentang “Kenalan Yuk dengan Produk Ramah Lingkungan” yang diselenggarakan WWF Indonesia dan Earth Hour (EH) Bandung, di One Eighty Coffee & Music, Bandung, Sabtu, 20 Januari 2024.

Angga melanjutkan, komoditas kelapa sawit merupakan peringkat pertama yang menghasilkan GDP tertinggi. Makanya komoditas ini perlu dipastikan keberlanjutannya dan tidak merusak lingkungan, sebab akan berdampak banyak pada ekonomi dan berpengaruh kepada multisektor.

Angga mengungkapkan, jika masyarakat menggunakan produk minyak goreng yang tersertifikasi ekolabel, maka masyarakat perkotaan, misalnya, telah berkontribusi menjaga hutan Indonesia, menjaga habitat hewan endemik dan spesies terancam punah, dan menjaga masyarakat adat. Selain itu masyarakat membantu membangkitkan ekonomi lokal.

Sayangnya, pasar produk minyak goreng yang tersertifikasi ekolabel belum besar di Indonesia, berbeda dengan negara-negara Eropa. Namun berdasarkan riset yang dilakukan pihak WWF dan kolaboratornya, Angga mengungkapkan 55 persen masyarakat yang menjadi responden di delapan kota besar di Indonesia pada tahun 2019 bersedia beralih menggunakan produk minyak goreng yang tersertifikasi ekolabel.

Hasil survei itu meningkat di tahun 2020 mencapai 82 persen masyarakat yang menjadi responden bersedia beralih ke produk ekolabel. Angga menjelaskan, produk yang tersertifikasi ekolabel otomatis harganya meningkat. Namun berdasarkan survey tersebut, masyarakat bersedia menambah 5.000 hingga 15.000 untuk produk bersertifikasi ekolabel sebagai ganti menjaga lingkungan dan hutan. Makanya Angga optimis, persoalan yang harus dihadapi selanjutnya adalah menciptakan pasar.

“Jadi masih ada kemampuan membeli itu dengan anggapan harga itu bisa berkontribusi dalam “menjaga” orang utan, harimau, gajah, dan lainnya. Ternyata benar pasanya ada, tinggal cuma meng-create pasar,” kata Angga.

Selain tantangan nilai ekonomi dan persoalan masih minimnya pasar, persoalan lainnya adalah masih terbatasnya produk tersertifikasi ekolabel RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) di Indonesia. Sejauh ini baru satu perusahaan yang tersertifikasi RSPO di Indonesia yang didampingi WWF sejak 2018.

Makanya, pihaknya perlu mencari perusahaan dan produk baru agar mau tersertifikasi ekolabel. Untuk edukasi ke masyarakat, pihaknya akan mengkampanyekan dengan kolaborator, komunitas, dan stakeholder terkait.

Kepala bidang industri logam mesin, alat transportasi, dan elektronika, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat Meidy Mahadani menyebut, masyarakat belum sepenuhnya sadar dengan produk yang tersertifikasi ekolabel, meski ada peluang. Ia menyebut, secara regular pihaknya mensosialisasikan masyarakat melalui program Konsumen Cerdas.

Program ini mensosialisasikan bagaimana konsumen memilih barang secara bijak, bukan yang diinginkan, tetapi sesuai yang dibutuhkan. Ada pula soal keamanan produk. Sayangnya, khusus soal produk kelapa sawit belum ada sosialisasi secara spesifik, makanya butuh kolaborator sosialisasi.

“Cuma khususnya untuk palm oil ini kita butuh kolaborasi lebih lanjut. Padahal ini kan secara ekspor dan penjualan besar sekali, domestiknya juga pasar yang besar sekali dan bisa digenjot lagi,” ungkap Meidy.

Klaim Ramah Lingkungan

Angga menjawab dua pertanyaan peserta soal istilah dan definisi “merusak lingkungan” dalam sertifikasi ekolabel RSPO. Angga mengaku sulit menjelaskannya, sebab definisi merusak lingkungan akan berbeda tergantung bagaimana mengambil perspektif. Angga menyebut masyarakat perlu memilah narasi merusak lingkungan seperti apa, mana yang berbicara dalam konteks lingkungan, mana yang bicara soal pasar.

“Karena memang kalau yang paling sederhana merusak lingkungan adalah membuka hutan alam menjadikan monokultur,” jawab Angga.

Angga mengungkapkan bahwa WWF mendukung platform RSPO, sebab merupakan salah satu pendiri platformnya. Makanya dibuatkan indikator dan kriterianya. Label RSPO sendiri merupakan permintaan pasar global. Berbeda dengan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) yang merupakan standar mutu pengelolaan bisnis kelapa sawit berkelanjutan Indonesia.

Pria ini menyebutkan, praktik sederhana bagi masyarakat memilih produk yang ramah lingkungan adalah dengan adanya ekolabel sebagai salah satu indikator. “Ada perusahaan-perusahaan yang sudah punya ekolabel, itu diindikasikan mereka melakukan monitoring, perlindungan hak-hak masyarakat adat, melakukan penjagaan hewan,” kata Angga.

Ia mengklaim, perusahaan yang tersertifikasi RSPO, ketika ada hewan langka yang masuk ke konsesi lahan kelapa sawit bukan ditembak atau dibunuh, melainkan direlokasi. Misalnya gajah direlokasi dengan flying squad atau orangutan direlokasi bekerjasama dengan NGO terkait.

Angga menyebutkan bahwa WWF mendukung keberlanjutan. Sehingga terdapat check and balance dalam RSPO terhadap perusahaan-perusahaan yang sudah tersertifikasi ekolabel ini. Ia juga menyebut ada auditor dari NGO-NGO external yang melakukan audit.

Angga menjelaskan, dibandingkan dengan produk minyak kelapa sawit biasa, produk minyak kelapa sawit yang tersertifikasi lahannya diklaim memiliki keanekaragaman hayati, kepastian kesejahteraan dan pendampingan petani, mitigasi persoalan komunitas adat, larangan membuka hutan alam, lahan baru dan gambut baru.  Sertifikasi ini pun memiliki enam indikator nilai konservasi tinggi dan FPIC (Free, Prior, and Informed Consent).

“Kadang (dianggap mendapatkan) label RSPO itu gampang, susah, susah banget dapatnya, karena pasarnya Eropa,” kata Angga.

Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS EARTH HOUR BANDUNG: Gaya Hidup Hemat Listrik Demi Bumi
Fesyen Ramah Lingkungan versus Baju Lebaran
Rumah Pintar untuk Hunian Ramah Lingkungan

Bijak Menggunakan Minyak Goreng

Pemilik Toko Nol Sampah dan Pegiat Lingkungan @zerowasteadventure, Siska Nirmala menyebutkan, persoalan nol sampah bukan hanya berkaitan dengan menghasilkan sampah, tetapi juga berkaitan dengan sumber produk. Sebab produk yang berkelanjutan perlu ditelaah bukan hanya dengan kemasan dan kandungannya, tetapi juga bijak dalam penggunaannya.

Siska menyebut, minyak goreng memiliki permintaan yang tinggi. Tapi sayangnya, limbah minyak goreng atau minyak jelantah terbuang sia-sia, yang menjadikan persoalan minyak jelantah ini menjadi isu baru di isu kelestarian lingkungan. Persoalan kelapa sawit ini perlu berkesinambungan dari hulu ke hilir selaras berkelanjutan.

“Ini juga jadi concern saya, bahwa kita gak cuma bicara nolaknya, tapi di hilirnya juga gimana kita bijak mengkonsumsi supaya ketika di hulunya didorong supaya sustainable, itu saling berkesinambungan,” ungkap Siska.

Siska yang sudah mempraktikan gaya hidup nol sampah sejak 2012 menyebutkan, masyarakat memang cenderung mau untuk pindah ke produk berkelanjutan. Tapi sayangnya bingung harus mulai dari mana. Makanya Siska menyebut, perlu dibuatkan sistem pendukungnya untuk melahirkan ekosistem. Sebagaimana Siska mendirikan Toko Nol Sampah sebagai sistem pendukung gaya hidup nol sampah. Kini ia mengaku, dampak dari tokonya ini sudah melahirkan ekosistem nol sampah.

“Jadi orang butuh supporting system. Ketika supporting system-nya sudah ada, nantinya ekosistem akan terbentuk,” terang Siska, penulis buku Zero Waste Adventure ini.

Pada persoalan produk minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, Siska mengkritisi perlu upaya edukasi. Jika sudah banyak produk yang diketahui masyarakat, otomatis akan teredukasi. Sayangnya, produknya pun masih terbatas dan masyarakat belum banyak mengetahui.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang isu Ramah Lingkungan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//