• Kampus
  • Fesyen Ramah Lingkungan versus Baju Lebaran

Fesyen Ramah Lingkungan versus Baju Lebaran

Di saat momen penuh euforia seperti lebaran, konsep-konsep fesyen ramah lingkungan seperti ekonomi sirkuler, industri hijau, sustainable textile, akan tenggelam.

Muslim Fashion Festival yang digelar jurusan Fashion Design Politeknik STTT Bandung, 6 Mei 2021. Fesyen ramah lingkungan diusung beberapa desainer muda. (Foto: Politeknik STTT Bandung)

Penulis Iman Herdiana15 Mei 2021


BandungBergerak.idTsania Haniifah menampilkan busana yang terinspirasi dari Dolce & Gabbana Fall 2019 Ready-To-Wear Collection dengan mengangkat sub tema Exploitation. Kain printing motif berbahan rayon merepresentasikan tentang keharusan manusia untuk bertanggung jawab pada lingkungan. Berikutnya, Nuril Aini Wanodya Mega membawakan busana yang terinspirasi dari sub tema exploitation yang memiliki tampilan maksimal, hiperbolis, serba menonjol, dominan, dengan warna- warna earth tone dan dipadukan dengan wild motif. Ia mensisipkan sedikit wild motif pada lengan dengan teknik printing dan busana dengan bahan rayon agar ramah lingkungan.

Konsep fesyen yang mengusung lingkungan itu terselip di acara Muslim Fashion Festival yang digelar jurusan Fashion Design Politeknik STTT Bandung, 6 Mei 2021 lalu. Pertunjukan perancangan busana ini diikuti enam calon desainer muda yang memamerkan karya dari proyek studi mereka. Masing-masing desainer memiliki cara khas dalam menafsirkan gagasan dan konsep mereka dalam show parade bertema “Contradiction” itu, dua di antaranya desainer yang mengusung konsep lingkungan di atas.

Konsep fesyen ramah lingkungan kerap muncul di tengah membanjirnya fesyen dunia, meski tak jarang (atau lebih sering) tertindih oleh semangat produksi dan konsumsi yang biasanya terkait dengan momen-momen tertentu, misalnya hari raya Idulfitri atau lebaran di mana penjualan fesyen selalu meningkat. Tengok saja di pusat wisata belanja di Bandung menjelang hari lebaran 2021 yang penuh sesak walau di tengah pandemi Covid-19 yang mensyaratkan tidak boleh berkerumun untuk menghindari penularan virus corona.

Biasanya di saat momen penuh euforia seperti lebaran, konsep fesyen ramah lingkungan seperti ekonomi sirkuler, industri hijau, sustainable textile atau tekstil berkelanjutan, akan tenggelam dan dilupakan. Industri fokus pada raihan penjualan sebesar-besarnya, terlebih di masa kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19, dan target industri diamini konsumen yang fokus memiliki fesyen baru.

Tetapi konsep fesyen ramah lingkungan yang mengendap tak bisa dilupakan. Isu ini sempat muncul sebelum lebaran lewat webinar “Sustainable Textile” yang digelar Politeknik STTT Bandung 21 april 2021.

Pipit F. Hayati, GM for Indonesian, PT. Testex, selaku moderator mengemukakan bahwa industri tekstil merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara. Namun di sisi lain, proses tekstil sering dianggap kurang atau bahkan tidak ramah lingkungan oleh banyak pihak.

“Setiap tahunnya, industri tekstil/fashion dunia menyumbangkan tidak kurang dari 20 persen limbah air bumi dan 10 persen dari emisi karbon dioksida. Limbah dan polusi hasil buangan industri ini bahkan lebih banyak dari hasil emisi gabungan seluruh penerbangan internasional dan pelayaran,” ujar Pipit F. Hayati.

Baca Juga: Hari Bumi di Bandung Diperingati Walhi Jabar, Pemudi, dan Tarian
Jabar Hadapi Krisis Petani Muda dan Tantangan Teknologi
Bandung Kota Rawan Bencana (3): Kang Pisman vs Bom Waktu Sampah
Sungai Cikapayang: Dari Bau tak Sedap, Temuan Bakteri E. Coli, hingga Lelang Rp 8 Miliar
Insinerator Cara Paling Akhir untuk Musnahkan Sampah Medis B3

Berangkat dari kondisi itu, konsep sustainable textile menemukan kekuatannya. Konsep ini salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan industri hijau yang ramah lingkungan.

Gati Wibawaningsih, Direktur Jenderal IKMA Kemenperin, mengaku sustainable textile sendiri telah banyak dilakukan di ranah IKM dibawah pembinaan IKMA. Pihaknya telah menerapkan langkah strategis guna mendukung sustainable textile di IKM, di antaranya dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi di IKM tekstil mengenai serat alam sebagai bahan baku tekstil berkelanjutan.

“Tujuan dari pembangunan industi hijau yang juga tercantum dalam RIPIN adalah mewujudkan industri yang berkelanjutan dalam rangka efisiensi dan efektivitas penggunaan SDA secara berkelanjutan, menjaga kelestarian lingkungan dan memberikan manfaat kepada masyarakat,” ujar Gati.

Kemenperin, lanjut Gati, dalam upaya mendorong industri menuju industri hijau melakukan kolaborasi pentahelix, yaitu kolaborasi lima unsur pemangku kepentingan (stakeholder) di mana terdapat pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas dan juga media yang berperan penting dalam pengembangan industri, terutama dalam industri perwarnaan alam.

Narasumber lainnya, Aryenda Atma selaku praktisi yang juga Founder & Creative Director of Pable.id menyampaikan pengalamannya dalam menjalankan sustainable textile. Ia menerapkan konsep ekonomi sirkular dengan mendaur ulang limbah kain dan pakaian bekas menjadi kain tenun yang memiliki ciri khas #wearecircular.

“Menerapkan Closed Loop System pada Ekonomi Sirkular, Pable mengekstrak nilai maksimum dari potensi limbah tekstil dengan mendaur ulang dan memprosesnya kembali menjadi material terbarukan (secondary material), sehingga dapat digunakan kembali menjadi bahan siap olah berupa kain tanpa harus mengeksploitasi material baru (virgin material),” ujar Atma.

Atma menjelaskan prinsip recycle-reduce-reuse yang dijalankan dalam memproduksi fesyen baru dari fesyen bekas. Prosesnya dimulai sortir berdasarkan jenis bahan dan warna tekstil, proses pemotongan atau pencacahan secara manual maupun otomatis, proses pelembaban untuk mempekuat serat, pembuatan fiber sebagai output pertama dari olahan daur ulang, pemintalan fiber, pemintalan fiber ke benang, untuk kemudian dilakukan proses pertenunan untuk menjadi kain.

Pengolahan fesyen lama menjadi fesyen baru sebenarnya punya nilai ekonomi. Pengolahan pakaian bekas masih sangat luas, karena belum banyak yang menyentuhnya. “Potensi pengolahan limbah tekstil ini masih sangat luas, dan ini memerlukan upaya serta kerjasama dari banyak pihak untuk dapat membantu serta memanfaatkan potensi dari limbah-limbah tekstil menjadi produk baru yang memiliki nilai lebih serta ciri khas tersendiri,” kata Atma.

Atma mengakui, mengembangkan tekstil berkelanjutan dan ekonomi sirkular membutuhkan dukungan dari pemerintah, pelaku industri, dan juga masyarakat sebagai konsumen. Sebab tekstil berkelanjutan tidak akan berlanjut jika produk-produknya tak dibeli oleh konsumen.

Fesyen Linear versus Fesyen Sirkuler

Isu fesyen sirkuler beberapa tahun belakangan ini mencuat di dunia mode internasinal. Bahwa perusahaan dengan brand besar harus bertanggung jawab terhadap pencemaran lingkungan. Salah satu bentuk tanggung jawab ini dengan mengubah sistem produksi dari linerar ke dirkuler.

Selama ini, industri fesyen melakukan pendekatan sistem produksi linier, yaitu memproduksi barang fesyen dari sumber daya alam atau bahan baku baru yang dalam prosesnya menghasilkan beragam jenis limbah dari yang terkecil seperti limbah bubuk sampai cairan kimia yang mencemari tanah dan air. Proses produksi fesyen ini akhirnya melahirkan fesyen baru, lalu dilempar ke pasar, ke pertokoan atau mal, dan sampai di tangan konsumen.

Di tangan konsumen, fesyen-fesyen hasil industri belum tentu dipakai sepanjang tahun. Malah bisa jadi tersimpan utuh di balik lemari bersama tumpukan baju lebaran hasil belanja tahun-tahun sebelumnya. Sementara industri kembali memproduksi fesyen baru untuk menyambut mode baru fesyen berikutnya.

Sebaliknya, industri diminta menggalakkan sistem produksi sirkuler atau berputar. Sistem sirkuler akan memanfaatkan produk jadi yang sebelumnya sudah sampai di tangan konsumen. Produk tersebut ditarik kembali untuk diolah dan diproduksi menjadi fesyen baru. Sehingga sistem sirkuler memutus mata rantai eksploitasi material baru, karena bahan bakunya menggunakan fesyen bekas yang diolah kembali menjadi material terbarukan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//